Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Monday, September 04, 2006

Julia

Anakku, Bas dan Van bersama Julia


Suatu sore, enam tahun yang lalu, aku menerima telephone. Ternyata dari salah seorang kakakku yang memintanya aku datang ke rumahnya karena ada yang hendak dibicarakannnya. Waktu itu kondisiku sedang hamil dan sudah cuti karena tinggal menghitung hari. Lepas magrib dengan menggunakan angkot, aku diantar suamiku menuju rumah kakaku di kawasan bintaro.

Perjalanan hanya sekitar 45 menit, tapi buatku lama banget, soalnya terasa panas. Rambutku dan baju disekitar leher dan ketiak sudah basah. Sepanjang perjalanan suamiku terus menerus mengipasi. Orang-orang di angkot kayaknya paham dengan perasaanku. Mereka sesekali melihat dan tersenyum, aku balas tersenyum tanpa komentar tapi terus menerus mengusap muka dengan sapu tangan.

Ketika sampai di sana kulihat kakakku sedang di teras. Wajah cerah dan penuh senyum. Aku jadi penasaran. Setelah mengucap salam selamat malam, pertanyaanku terpaksa di tahan dulu karena aku ingin buang air kecil. Kembali dari kamar mandi, di atas meja tamu sudah tersedia air es. Tanpa dipersilahan aku langsung meminumnya.
”Bagaimana keadaan kamu?” tanya kakakku.
”Yah begini ini, kegerahan melulu!” jawabku.

Kulihat suamiku sudah duduk di depan televisi. Maka aku menanyakan alasanku dipanggil.
”Aku punya kejutan, lihat deh di kamar!” kata kakakku sambil menunjuk ke arah kamar tidurnya. Dengan usaha yang lumayan membawa perut gendut aku berdiri dan masuk ke kamarnya. Ketika pintu kamar terbuka aku mencium bau yang tidak asing. Ku langkahkan kaki ke tempat tidur, spontan aku berteriak: ”Ya ampun! Astaga, kak....suaraku terhenti karena kakakku sudah merangkul pundakku.

Di tempat tidur kakakku terbaring bayi merah terbungkus lampin dan nampak tertidur lelap.
Oh yah kakakku mempunya dua orang anak yang sudah dewasa. Laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya sudah bekerja. Kakakku sendiri bekerja di sebuah BUMN bagian pengendalian anggaran. Karena dia memang berpendidikan ekonomi. Mulailah kakakku bercerita Siang tadi di kantor ia dihubungi seorang nenek, Mba Mulyo namanya. Si Mbah ini tetangga kakakku di rumahnya yang lama. Si Mbah menanyakan apakah kakakku mau mengadopsi anak? Soalnya anak ini tidak dikehendaki orang tuanya lantaran terlahir sebagai anak tujuh dari ayah yang cuma tukang angkut sampah dan ibu yang menjadi babu cuci. Kakakku tidak berpikir dua kali langsung mengiyakan.

Bayi itu yang kini ada di tempat tidur kakakku. ”Lahirnya kemarin, maksudku ngundang kamu ke sini, kamukan sudah cuti. Tolong tinggal di sini sampai aku dapat orang yang bisa mengurus bayi ini selama aku bekerja. Anggap saja kamu latihan, sampai nanti anakmu lahir!” Ada perasaan senang, aneh dan entah apa lagi yang bercampur dalam hatiku. Suamiku yang turut mendengar cerita kakakku, setuju-setuju saja aku sementara tinggal dan merawat bayi ini.

Maka diberi nama bayi perempuan ini seperti nama ibu dari suami kakakku. Kami memanggilnya Julia karena dilahirkan bulan Juli. Mungkin bawaan bayi dalam kandunganku, aku langsung jatuh cinta pada bayi yang beratnya hanya 2100 gr. Dua hari aku mengurusnya, ada perasaan resah yang ingin kusampaikan pada kakakku.

Kelihatannya bayi ini tidak normal, tapi aku tidak tahu apanya. Yang kutahu bayi ini sering sekali tersedak jika minum susu dari botol atau dari sendok. Tapi kakakku menepis keresahanku dengan mengatakan, namanya juga bayi umur tiga hari. Ternyata ada benarnya juga, setelah seminggu, Julia mulai jarang tersedak tapi tetap saja gampang muntah.

Sepuluh hari pertama aku merawatnya. Lalu aku pulang untuk mempersiapkan masa persalinanku. Menurut perkiraan dokter sekitar awal Agustus. Ternyata aku yang dari awal sudah tahu harus melahirkan dengan operasi karena tali pusat bayi menutupi jalan lahir, melahirkan tanggal 27 Juli. Artinya berjarak pas 2 minggu dari kelahiran Julia.

Karena seumur dengan anaku, aku dan kakakku membesar anak-anak bersama-sama. Mula-mula aku jga memberi Julia ASIku, tapi entah mengapa hanya sebulan saja lalu Julia mulai menolak. Jika dipaksa ia akan muntah. Julia malah mau menyusu ASI pada adikku yang padahal ASI nya sudah berkurang karena anaknya sudah berumur 2 tahun lebih.

Pokoknya kami berusaha memberi Julia ASI semaksimal mungkin sampai akhirnya Julia yang tidak mau dan kami tukar dengan susu formula. Demikian juga jadual imunisasi yang disamakan. Agar aku dan kakakku bisa izin cuti bergantian.

Kini Julia sudah berusia 6 tahun dan duduk dikelas satu SD. Memang ia cacat. Kaki dan tangannya tidak bisa berfungsi optimal. Jalanya pincang, tangan kannnya tak mampu menggenggam. Ketika usia dua tahun kemi pernah membawanya ke dokter syaraf. Ternyata ada kerusakan syaraf di otak kirinya. Sehingga tidak bisa dilakukan apa-apa untuk cacat di tangan dan kakai kanannya. Kemampuannya pun sangat terbatas. Ia bisa menyimak ajaran disekolah tapi agak lambat. Kami pernah mengkonsultasiannya ke psikolog dan hasilnya Julia tidak perlu dimaksukkan ke Sekolah Luar Biasa.

Beberapa kenalan kami yang mengetahui Julia hanya anak angkat dan cacat mengomentarai ”Kok mau-maunya adopsi anak cacat!” Mereka lupa, sesungguhnya Tuhan sedang melatih kami untuk mencintai dan mengasihi sesama tanpa melihat asal dan usul. Biarpun Julia cacat, ia sempat mengisap ASIku. Julia kini saudara sesusu dengan anakku Bas. Dan Julia pun tumbuh bersama layaknya keponakan-keponakan kami yang lain.

Bagaimana kehidupan Julia kelak, kami hanya memasrahkan ke Tuhan. Kalau Tuhan sudah memilih kami untuk memelihara Julia, maka kami percaya Tuhan juga yang akan menggenapi semua rencana. Merawat dan mengasuh anak dengan kebutuhan khusus memang memerlukan penanganan yang lebih besar. Terutama dalam hal kasih. Karena hanya dengan dasar kasih, anak-anak dengan kebutuhan khusus bisa mengetahui apakah ia diingnkan atau tidak. Anak-anak dengan kebutuhan khusus tidak berpikir dengan logika karena kemampuan mereka yang terbatas. Hanya kasih yang bisa mereka berikan dan mereka gunakan sebagai standar diinginkan atau tidak.

Karena itu kami yakin, hanya dengan hati yang penuh kasih kami bisa merawat dan mengasuh Julia. Sekaligus menggenapi ajaran Tuhan untuk mengasihi sesama manusia. Lewat Julia kami ditempa untuk memahami arti kasih yang sesungguhnya. Pada akhirnya stereotipe di masyarakat bahwa anak cacat akibat dosa orang tuanya bisa kita enyahkan. Orang tua yang mempunyai anak-anak cacat harusnya berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan. Karena Tuhan menganuegerhkan orang tua seperti itu kasih yang melimpah. (Icha Koraag . 4 Sept 2006)

No comments: