Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Thursday, September 28, 2006

ANAK MAMA DUA!





Seperti biasa kalau aku dan suamiku pulang kerja, Bas dan Van akan menyambut kami di muka pintu dengan teriakan Mama pulang…Papa pulang sambil bertepuk tangan lalu berlari dan memeluk aku dan suamiku secara bergantian. Ini adalah adegan yang selalu aku nantikan setiap hari. Jadi kalau aku sedang tugas keluar kota, hati ini terasa sepi, saat kembali ke hotel tidak ada yang menyambut.

Terakhir aku keluar kota, bulan lalu. Frisch mengabarkanku akan menjemput di Bandara bersama Bas dan Van. Senang luar biasa perasaanku. Penerbangan dengan pesawat dari Bandara Adisutjipto ke Bandara Soekarno-Hatta hanya sekitar 45 menit.

Di pesawat aku duduk bersama dua ibu-ibu atau tepatnya nenek-nenek. Dari pembicaraan mereka, bukan aku nguping tapi terdengar tanpa sengaja. Mereka adalah istri-istri dari pilot perusahaan penerbangan yang aku tumpangi. Tidak sengaja bertemu di pesawat. Mereka bernostalgia tentang kebijakan perusahaan penerbangan. Kelihatannya mereka menyesalkan berkurangnya fasilitas penerbangan yang kini mereka peroleh.

Dalam hati aku berkomentar, pantaslah perusahaan penerbangan ini merugi terus. Dulu mereka menikmati pernerbasngan gratis sampai ke luar negri.Tapi aku tidak mau ambil pusing. Aku tidak ingin harapanku bertemu dengan suami dan anak-anak tergantikan pemikiran mengenai kerugian perusahaan penerbangan ini.

Sesaat aku memjamkan mata, sambil membayangkan celoteh Bas dan Van. Wajah mereka yang jenaka dan kebiasaan mereka yang saling menggoda, membuatku tersenyum. Bas dan Van berjarak tiga tahun. Keseharian mereka seperti kucing dan tikus. Kalau tidak ada akan saling mencari tapi kalau ada akan bersmackdown. Mulanya sih bercanda tapi lama-lama akan menjadi pertengkaran.. Vanessa biar perempuan tapi perempuan yang tangguh. Tidak sedikitpun Van gentar dengan yang lebih besar termasuk pada Bastiaan.

Ini dampak dari kesalahan ajaran ku dan Frisch. Kami sangat menekankan pada Bastiaan, kalau Vanessa itu, adik dan perempuan jadi tidak boleh disakiti. Kami tidak menekankan hal tersebut pada Vanessa, alhasil, Bas kerap menjadi korbannya Vanessa.
Bukan mau membedakan jenis kelamin, biar bagaimanapun Bastiaan jauh lebih besar, sehingga maksud kami, Bas harus mengerti fungsi menjaga.

Yang terjadi, Vanessa sangat ringan tangan. Bukan dalam arti berbenah tapi dalam arti memukul. Mulanya pukulannya tidak terasa sakit tapi lama-kelamaan menyakitkan juga. Lagi-lagi ku akui, ini kesalahanku, menganggap pukulannya tidak sakit. Jadi kalau Bas protes biasanya aku akan mengatakan “Cuma dipukul adik saja masa sakit?”

Suatu ketika aku benar-benar dikejutkan lengkingan tangis Bas. Bergegas aku mendatangi keduanya di ruang tv. Bastiaan sedang menangis sambil memegang kepalanya dengan dua tangan. Vanessa berdiri bersender di dinding.

Yang kulakukan pertama adalah, mendekap Bas. Ini tindakan yang sangat manjur dalam setiap kejadian. Bas balas memelukku. Lalu keluarlah laporannya di sela-sela tangsinya. Setelah kuminta untuk menghentikan tangisnya, kuhapus air matanya dan kuminta Bas menceritakan kejadiannya. Hanya satu kalimat Kepalaku dipuku Van dengan remote!”

Pandanganku beralih ke Vanessa yang menatapku dengan mata besarnya. Geli rasanya melihat Van yang terlihat merasa bersalah. Ku panggil Van mendekat. Tangisnyapun pecah dalam pelukanku.

“Mengapa Van memukul kakak?” tanyaku sambil mencium kepalanya.
“Kakak nakal, Ma” Jawab Vanessa di sela-sela isak tangisnya. Bas memotong
“Kamu yang nakal, kamu yang pukul aku sih!” Seru Bas dari sampingku.
“Enggaaaaak” Jerit Van yang langsung dilengkapi “Kakak ganti tv nya, akukan lagi nonton!”

Aku langsung paham permasalahannya. Jadi Vanessa sedang menonton dan Bas mengganti chanelnya. Tapi aku tetap tidak membenarkan Vanessa memukul Bas.
“Mengapa Vanessa harus memukul? Van bisa bilang pada mamakan?”
“Aku kan….lagi nonton mama, Kakak langsung ganti. Aku jadi marah, mama”. Ujarnya perlahan.

“Jadi sekarangn kalian berdua mau apa?” Tanyaku. Kulihat keduanya bertukar pandang dengan wajah yang belum bersahabat. Dalam hati aku tertawa. Wajah mereka kusut, bibirnya cemberut dengan pandangan mata melirik.
“Sekarang dengarkan mama deh. Anak mama ada berapa?” tanyaku. Diam tidak ada yang menjawab. Kulanjutkan lagi : “Ok. Berarti mama tidak punya anak. Ya sudah mama mau pergi”. Kataku sambil berdiri. Vanessa memegang ujung dasterku. Lalu ku dengar Bas menjawab “ Dua”. Katanya.
“Apanya yang dua?” tanyaku mempertegas.
“Anak mama”.Katanya lagi
“Yang benar,?”
“Benar!” Jawab Bas. Kali ini dengan suara agak keras dan wajahnya sudah mulai ceria. Sementara Vanessa masih duduk dipangkuanku.
”Benar Van, anak mama dua?” tanyaku pada Vanessa. Yang hanya menjawab dengan mengangguk.
“Yang mana anak mama, nak?”tanyaku lagi
“Aku dan kakak Bas”. Jawab Van sambil menunjuk ke arah Bas.
“Nah kalau anak mama dua, mengapa berkelahi? Sudah bosen jadi anak mama? Mamakan selalu bilang. Anak mama ada dua harus selalu saling sayang”
“Dia sih pukul aku” potong Bas. Wajahnya kembali kusut
“Benar, Van?” tanyaku
“Enggak sih!; Jawab Van. Aku malah menjadi bingung!
“Sekarang begini saja. masih mau nonton tv? Kalau ya, silahkan nyalakan lagi dan mama tidak mau dengar ada yang berteriak atau menangis. Kalau masih ada yang berteriak, tvnya di matikan. Sampai seterusnya tidak boleh nonton tv lagi! Mengerti?” tanyaku pada Bas dan Van. Kali ini keduanya menjawab kompak “ Mengerti, mama!”

“Itu baru namanya anak baik. Mama selalu bilang, mama sayang anak baik. Sekarang, dua-dua sayang-sayangan!:” Perintahku pada Bas dan Van. Bas bertindak lebih dulu mendekati adiknya, memeluk dan berkata” Jangan pukul kakak lagi yah. Kakak sayang sama Vanes”. Sementara Vanes yang dipeluk cuma menganggukkan kepalanya.

“Sekarang peluk mama!” Pintaku sambil merentangkan kedua tangan. Bas dan Van sudah tertawa dan keduanya masuk dalam pelukanku. Kudekap erat keduanya, sambil , berdoa dalam hati: “Tuhan, mampukan aku membesarkan keduanya!”

Terdengar informasi dari pramugari, sesaat lagi pesawat akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Lamunanku buyar! Tapi hati ini senang karena ku tahu, ada suami dan kedua anakku yang menjemput. (Icha Koraag, 15 Sept 2006

No comments: