Bas dengan pakaian Sulut! |
Di sela-sela kesibukanku bekerja di sebuah lembaga penelitian sosial dan pasar, aku masih menyempatkan menulis. Baik itu cerpen, puisi atau artikel. Kegiatan menulis yang sudah kumulai sejak kelas tiga SD merupakan tempatku mencurahkan perasaan dan pemikiranku.
Seperti juga malam ini. Aku tengah asyik menulis ketika sulungku mendekat.
“Mama lagi apa?” Anak sulungku bertanya sambil memandangku. Bola matanya yang bulat dan jernih penuh rasa ingin tau.
“Sedang menulis, kakak sudah selesai membuat PR-nya?”
“Sudah. Ini ada surat dari sekolah” Ujarnya sambil mengulurkan undangan berbentuk kupu-kupu yang terbuat karton bekas kemasan air minuman.
“Coba mama baca, undangan apa sih?”
“Kartinian. Di sekolahku ada Kartinian!” Kali ini ia berkata dengan berapi-api dan terburu-buru, mungkin tak sabar ingin menyampaikan informasi. Anak sulungku waktu itu baru mau berusia lima tahun dan masih di TK .
“Kartinian…? Kartinian itu apa? “ Tanyaku. Ia diam sejenak seakan berpikir mencari kata untuk menjelaskan.
“Pokoknya mama baca deh. Mama sama papa datang dan duduk lihat aku Kartinian!” Ujarnya masih dengan nada yang terburu-buru.
“Ok. Tunggu, mama baca dulu yah” Di Undangan itu diinformasikan mengenai perayaan hari Kartini yang akan diisi dengan karnaval, tarian-tarian dan bazaar hasil karya murid-murid TK.
“Iyakan ma. Mama dan papa di undang?”
“Iya, tapi emangnya ada apa sih, sampai mama sama papa harus datang? tanyaku lagi
“Aku mau baca puisi” Jawabnya pelan.
“Baca puisi, kakak sudah bisa baca puisi?” tanyaku sambil menunjukan wajah heran.
“Iya, aku hebat kan, ma?” tanya Bas sambil mengerlingan matanya.
‘Wah, mama harus datang".
“Tapi aku pakai baju apa?”
“Memangnya harus pakai baju apa?”
“Baju daerah. Aku orang apa ma?
“Loh yah orang Indonesia dong.”
“Iya tapi orang apa. Fairuz orang Padang. Inez orang Jawa, aku orang Menado yah?” Geli benar perasaanku melihat ia bertanya.
“Iya, kakak orang Menado, jadi orang Gorontalo juga boleh!” Aku memang dari Menado dan suamiku dari Gorontalo.
“Jadi aku pakai baju apa?”
“Pakai baju anak raja!”
“Mana?”
“Besok pulang kerja mama bawa”
“Ok deh!” jawabnya sambil tersenyum
“Kak, Kartini itu siapa sih?”
“Kartini itu ya ibu Kartini” Jawabnya lalu dilanjutkan dengan bernyanyi
“Ibu kita Kartini, putri sejati. Putri Indonesia harum namanya. Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia…..
Aku ikut bernyanyi bersamanya dan setelah selesai kami sama-sama bertepuk tangan.
“Kakak tahu tidak, ibu Kartini itu seorang pahlawan?”
“Ya tidak dong, ma.
“Kok tidak?”
“Pahlawan itu jagoan kayak Kuga, Batman, Spaiderman dan Kapten Tsubasa. Jagoan itu laki-laki.. Ibu Kartini kan perempuan. Namanya saja Ibu Kartini! Kali ini dengan penekanan pada kata Ibu Kartini.
Waduh…bisa kacau kalau anakku beranggapan pahlawan itu hanya laki-laki.
“Pahlawan memang mirip dengan jagoan tapi tidak selalu laki-laki” Aku terdiam. Aku sedang berpikir bagaimana mencari kalimat sederhana yang mudah dipahami Bas. Aku jadi teringat jagoan perempuan dalam film yang pernah di tontonnya.
“Jagoan itu laki-laki!” Katanya dengan tegas. Dalam hati aku menyetujui pendapatnya. Memang jagoan itu laki-laki karena kalau perempuan mustinya betina. Aku masih penasaran dengan pendapat anaku.
“Kak, ingat film Tom Rider?”
“Iya!”
“Itukan jagoannya perempuan”. Kulihat anakku berpikir.
“Iya!”
Jadi jagoan tidak harus selalu laki-laki dong?” Anakku diam sambil memainkan pistol-pistolan ditangannya. Ia nampak berpikir seerius.
“Tapi itu kan di film, Ma!”
“Batman, Spaiderman dan Kapten Tsubasha juga film!”
“Iya tapi…
“Mama, jagoan apa bukan?” potongku cepat.
“Iya, mama jagoan Van dan papa jagoan aku!” Pemahamannya agak lumayan, tapi tetap gender.
“Mama bukan jagoan kakak?”
“Mama kan perempuan, jadi jagoannya Van dan Papa jagoan aku!”
“Ibu Kartini Jagoan atau tidak?”
“Itu pahlawan!” Jawabnya
“Jadi pahlawan itu boleh perempuan atau tidak?”
Bastiaan diam sesaat, tampaknya ia berpikir. Akhirnya Bastiaan berkata: “Aku bingung!” Ucapnya dengan wajah yang lucu. Aku langsung memeluknya. Sambil berkata. Pahlawan itu bisa laki-laki dan bisa perempuan. Sama seperti jagoan. Jagoan bisa laki-laki dan juga bisa perempuan. Makanya Pahlawan itu bukan Cuma Ibu Kartini tapi ada juga Tjut Nyak Dien. Dan yang laki-laki ada Pangeran Diponegoro,
“Pangeran?”
“Iya, pangeran. Namanya Pangeran Diponegoro
“Kalau Raja ada atau tidak?”
“Ada tapi dulu disebutnya Sultan. Misalnya Sultan Hasanudin dari Makassar!”
“Pahlawan kita banyak?”
“Banyak, karena Negara kita besar”.
“Aku bisa jadi pahlawan tidak?”
“Bisa kalau kakak selalu berbuat baik dan membela yang lemah. Misalnya jagain Van. Bukan malah gangguin.”.
“Kalau aku jagain Van, aku pahlawan?”
“Ya, pahlawan Mama dan Papa!” Ucapku sambil mencium kepalanya.
Tidak mudah menjelaskan suatu konsep yang abstrak untuk anak-anak seusia anakku. Tapi aku selalu mencoba dan terus mencoba. Aku tidak ingin memaksaan suatu pemahaman, aku ingin anakku memahami hidup sebagimana adanya. .(Icha Koraag 18 April 2005).
Note: Aku menyiapkan pakaian daerah untuk Kartinian, Bas!
No comments:
Post a Comment