Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Sunday, January 21, 2007

HIBURAN MALAM

Pemirsa televisi sangat dimanjakan dengan program-program hiburan di stasiun televisi swasta. Aku pernah mengamati, Jak TV, O Chanel, Global TV, dan Trans 7 memutar film pada pukul 19.00. Trans TV memutar film pukul 21.00 dan 23.00. Entah memang karena direncanakan (Trans 7 dan Trasn TV kini bersaudara) atau hanya kebetulan, masyarakat di manjakan 3 film berturut-turut. Mulai pukul 19.00 dan berakhir sekitar pukul 01.00.

Aku termasuk yang merasa senang. Karena aku sudah jarang sekali punya kesempatan nonton film di bioskop. Persoalannya pada pukul 19.00 adalah waktunya anak-anak belajar. Pastinya pesawat televisi tidak dinyalakan. Usai belajar dilanjutkan makan malam. Jika pada pukul 21.00 mereka belum ingin tidur (terutama kalau anak-anak tidur siangnya kelamaan) maka masih berkesempatan menonton tv kalau filmnya cocok. Kalau tidak, aku atau papanya akan menemani mereka nonton film dari DVD.

Pukul 22.00 adalah batas waktu yang aku dan suami tetapkan sebagai jam malam anak-anak untuk tidur. Bila waktunya tiba, kami mulai mengkondisikan kamar untuk tidur. Anak-anak minum susu, gosok gigi dan naik ke posisi masing-masing.

Namun semalam situasinya menjadi tak seperti biasanya, manakala anak-anak masih segar alias belum mengantuk. Van di sebelahku masih bersenandung kecil. Bas masih memainkan selimut dan boneka anak anjing. Tempat tidur kami spring bed, sehingga jika ada yang bergerak, yang lain akan merasakan goyangannya. Kami terbiasa menemani hingga mereka tertidur, baru kami pindah kamar.

Jadi aku memperingati Bas agar jangn banyak bergerak. Tiba-tiba Bas berkata.

”Tadi aku di ajari di sekolah, kalau bernyanyi sendiri di sebut...

“Yogja!” potong papanya

“Bukan!’ Jawab Bas spontan

”Habis apa dong” tanyaku

”Solo” kata Bas

”Oh mama tahu, kalau berdua pasti Bandung yah?” Ujarku sambil tersenyum

”Bukan tapi Duo, bertiga Trio” kata Bas

”Kalau berempat?” tanya papanya

”Belum di ajarkan!” jawab Bas

”Kuartet” kataku

”kuartet?” tanya Bas menegaskan

”Iya kalau berlima, Kuintet. Berenam sixtet!” kali ini aku menerangkan dengan serius.

”Kalau bertujuh?” tanya Van

”Kuntet” seru papanya yang disambung tawaku. Bas dan Van ikut tertawa.

”Berdelapan?” tanya Bas lagi

”Kampret!” jawab papanya

”Sembilan!” tanya Van

”Kejepret! Kali ini Bas yang menjawab diiringi gelak tawa aku, papanya dan Van

”Bersepuluh?” tanyaku masih dengan tertawa.

”Pret-pret-pret!” Jawab Van, yang membuat aku dan papanya juga Bas semakin terpingkal-pingkal.

Sekitar lima menit kami tergelak-gelak. Bas dan Van secara berbalasan mengulang-ulang satu sampai sepuluh. Aku dan papanya sangat geli. Puas tertawa akhirnya kelelahan juga. Masih sesekali diselingi tawa, akhirnya kedua anakku tertidur juga.

Walau tak bisa menonton hiburan malam di televisi, bercengkrama dengan suami dan anak-anak juga sudah menyenangkan. Belum tentu keluarga lain punya hiburan malam yang sama, aku sangat menikmati hiburan malam ala keluargaku. (Icha Koraag, 17 Januari 2007)

BELAJAR BERJALAN

Belajar berjalan pada balita adalah salah satu proses dalam tumbuh kembangnya. Ketika anak mulai merayap atau merangkak, maka selanjutnya ia akan mulai belajar memanfaatkan kedua kakinya.

Dua hal yang di perlukan si anak dalam memulai belajar berjaan adalah rasa percaya diri dan kemampuan fisik. Pada usia tersebut anak belum mengenal rasa takut karena anak belum tahu konsep bahaya atau konsep celaka.

Dulu ketika aku mendampingi kedua anakku belajar berjalan, sungguh menyenangkan walau sangat melelahkan. Dari tahapan merangkak anak-anak mulai merambat (Berjalan sambil berpegangan/bertumpu) pada sesuatu, misalnya kursi atau meja. Lama kelamaan ketika dalam eksplorasi si anak sanggup menjaga keseimbangan tubuhnya, ia akan sadar kalau ia bisa menggunakan kedua kakinya untuk berpindah (Berjalan).

Namun sebelum si anak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, ia sudah sangat ingin melangkah, biasanya ortu akan memegang kedua tangan si anak dari belakang dan membiarkan anak melangkah. Ini banyak dilakukan para orang tua. Padahal ini adalah cara yang keliru.

Dengan posisi tangan ke atas (karena dipegang orang besar) anak akan mengayunkan tubuhnya seiring langkah kakinya. Kerap kali orang yang memegang tangan anaknya sukar mengetahui arah gerakan si anak dan menjadi penyebab anak terkilir pada lengan atau ketiak.

Kalau anda ingin mengajar anak berjaan dengan cara seperti itu, maka langkah yang harus anda ambil adalah dengan memegang bagian samping tubuh si anak dengan kedua tangan yang penuh. Memang mau tidak mau posisi kita (Ortu) menjadi membungkuk. Karenanya kukatakan mengajar anak berjalan menyenangkan tapi sangat melelahkan.

Saat si anak sudah bisa berjalan, kita akan dihadapi kerepotran lain. Biasanya anak sudah tidak mau di gendong. Setiap digendong, si anak akan meluruskan keduan kaki atau membuang badannya ke bawah. Jadi kalau anak sudah mulai berjalan, siap-siaplah menjadi pengawas yang tidak boleh kehilangan pandangan atas si anak. Karena si penjelajah kecil ini akan berjalan ke sana kemari tanpa mempertimbangkan faktor bahaya.

Pada masa inilh banyak terjadi kecelakaan, misalnya anak terjatuh. Biasanya sesaat si anak akan takut berjalan. Sebagai ortu kita harus memulai lagi dari awal dengan memberikan atau menumbuhkan rasa percaya diri pada si anak, jatuh memang sakit tapi dengan hati-hati jatuh bisa dihindari.

Demikian juga kehidupan yang kita lalui. Kadang kita terjatuh tapi apakah lantas kita takut menjalani kehidupan? Belajarlah dari balita yang belajar berjalan. Jatuh sekali dua kali adalah hal biasasa. Takut? Memang ada tapi tidak menjadi penghalang untuk mencoba berjalan kembali bahkan kelak berlari kalau perlu.

Dalam aktivitas kehidupan, ada kalanya kita terjatuh. Tapi itu bukan akhir segalanya. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Bangkit! Mulailah berjalan perlahan dan lebih hati-hati. Yakinkah diri, anda bisa maka anda pasti bisa! (Icha Koraag, 10 Januari 2007)

Tuesday, January 16, 2007

ANAK-ANAK KEBANGGAAN ORANG TUA

Berada di sekolah Bas dan Van, selalu kumanfaatkan untuk bersosialisasi dengan orang tua dari teman-teman Bas dan Van. Ada juga teman-teman Bas dan Van yang hanya diantara Mbaknya. Bukan aku mau menyombong atau GR-gede rasa. Hampir semua termasuk ibu guru Van semua memuji Bas sebagai kakak yang sangat perhatian pada adiknya dan Van yang sangat mandiri.

Mendengar pujian mereka jelas aku senang. Sungguh di luar dugaanku adalah pujian untuk Bas sebagai kakak yang sangat perhatian dengan Van. Padahal, kalau di rumah mereka berdua persis Tom & Jerry. Sejenak berteman tapi kemudian sudah bertengkar. Mulai dari bertengkar mulut sampai akhirnya saling memukul.

Eh di sekolah, Bas dan Van di puji sebagai kakak dan adik yang paling kompak. Sampai ada seorang ibu yang berkomentar "Pasti di rumah rukun terus yah, bu!" Aku hanya senyum-senyum. Eh ada lagi yang bertanya,

"Apa sih yang diterapkan di rumah?" tanya mama Nico
"Aku tidak punya resep khusus, cuma membiasakan mereka menyelesaikan persoalan sendiri, sebelum aku atau papanya turun tangan" Jawabku.
"Tapi suka berantem juga, bu?" tanya mama Justin
"Ya, namanya anak, pasti adalah berantemnya. Van itu jauh lebih keras sebetulnya dibanding Bas. Bas selalu mengalah. Mungkin merasa sebagai kakak" Jawabku lagi.
"Senang ya, bu kalau anaknya selalu rukun!" Tambah Mama Chaca.
"Puji Tuhan!" Jawabku.

Dari jauh ku lihat Bas datang mendekati kelas Van. Saat Bas jam istirahat bertepatan dengan jam bubar kelas Van. Di muka kelas Van, Bas menunggu. Di sekolah ini, dinding kelas sangat tinggi, sehingga jangankan murid, aku saja agak kesulitan kalau mau melihat ke dalam kelas.

Menurut pihak sekolah ini strategi menjaga konsentrasi belajar anak. Dengan dinding kelas yang tinggi baik murid yang di dalam kelas atau orang di luar kelas tidak bisa saling melihat. Ku lihat Van keluar, langsung di peluk Bas. Bas langsung menggandeng dan mengantarnya ke hadapanku.
"Van, pulang dan istirahat yah. Kakak masih sekolah!" Ujar Bas pada Van. Van mengangguk sambil sibuk membuka botol minum. Ada rasa bangga di dadaku, melihat Bas dan Van begitu perhatian dan rukun. Berdasarkan pengamatanku di rumah, Bas memang sangat melindungi Van, walau sesekali suka kesal juga apalagi kalau sedang main Play Station dan diganggu Van.

Tapi sejak papanya mengajarkan Van bermain PS, kini keduanya bisa bermain dengan rukun. Aku jadi teringat pesan seorang psikolog anak. Jika anda mempunyai anak lebih dari satu dengan jarak umur yang tidak jauh berbeda, biasakanlah memberikan satu jenis permainan. Latihlah dan ajarkan anak bermain bersama. Selain menimbulkan rasa kebersamaan karena bermain bersama, anak juga dilatih untuk bertenggang rasa dan mengalah.

Ternyata aku berhasil menerapkan pesan tersebut. Sebelumnya aku agak membedakan mainan mereka. Dengan pertimbangan kalau masing-masing punya mainan tidak akan saling mengganggu. Kenyataannya kedua anakku lebih suka bermain dengan orang ketimbang dengan mainan. Jadi walau ada lego atau PS sekalipun, namun jika ada orang lain Bas dan Van akan melibatkan orang lain.

Dan kini, walau baru setitik kecil, aku mulai menuai hasil. Bas dan Van menunjukan prilaku yang baik dan menyenangkanku. Sebagai orang tua tentu aku sangat bersyukur. Aku bertekad untuk terus melatih disiplin dan pengenalan akan aturan agar prilaku kedua anakku kelak sungguh-sungguh bisa menjadi kebanggaan dan panutan banyak orang.
Bas, Van, mama bangga pada kalian. (Icha Koraag, 16 januari 2007)

Wednesday, January 10, 2007

SORY YAH, AKU TIDAK TERIMA COWOK!

Memperhatikan tumbuh kembang anak adalah kewajiban setiap orang tua. Aku termasuk orang yang suka mengamati pertumbuhan dan perkembangan anak-anakku. Walau aku tidak mencatat setiap pertumbuhan dan perkembangan Bas dan Van.

Aku mencatat beberapa persamaan tumbuh kembang antara Bas dan Van:
Gigi pertama tumbuh di usia 5 bulan.
Keduanya mengucapkan kata pertama ”Papa”.
Bisa berjalan pertama kali pada usia 13 bulan.

Sampai saat ini, aku mencatat dengan baik dalam memoriku setiap pertumbuhan dan perkembangan anak-anakku. Mungkin suatu saat akan ku tuangkan dalam tulisan. Karena pastinya suatu saat daya memori ini akan berkurang seiring bertambahnya usia.

Aku jadi teringat ketika sedang asyik-asyiknya menikmati kebersamaan dengan anak pertama. Waktu itu Bas berumur sekitar delapan atau sembilan bulan. Wajahnya yang sangat menggemasan (kalau gak percaya lihat di blogku) namun bukan wajahnya yang mengejutkan aku tapi panggilannya.

Aku tengah bermain ciluk ba, ketika kudengar suamiku memanggil. Bas ada dalam boxnya sehingga aku bisa meninggalkan Bas dan menghampiri suamiku yang minta tolong diambilkan sesuatu. Setelah menolong suamiku, aku segera kembali menghampiri Bas. Aku terkejut karena ketika Bas kupanggil, ia menoleh dan berkata ”Icha”. Aku tertawa dan senang. Bas menyebut namaku!

Ku panggil suamiku dan memberitahunya lalu meminta Bas mengulang kata ”Icha”. Bas paham yang kami minta, kembali ia mengucapkan dengan benar. Ketika kami tertawa tergelak-gelak karena ia berkata Icha, aku mengangkat dan menciumnya. Bas senang buktinya ia tertawa dan berulang-ulang berkata Icha.....Icha.

Beberapa hari Bas senang mengucapkan kata Icha. Karena setiap ia berkata Icha, aku dan suamiku merespon dengan tertawa atau menciumnya. Mungkin Bas tahu dengan berkata Icha, ia membuat kami senang dan Baspun nampaknya senang kalau kami senang, sehingga kata Icha menjadi ucapannya berulang-ulang.

Persoalannya menjadi lain, ketika lama-lama kelamaan Bas mengucapkan kata itu sebagai panggilan buatku. Di barat anak memanggil ortu dengan namanya adalah hal biasa. Bagiku tidak demikian, perasaan sebagai ibu terusik. Dan ku pikir di Indonesia belum lah umum, anak memanggil ortu dengan namanya.

Hal pertama yang kulakukan adalah berdiskusi dengan suami. Ini harus di luruskan karena suamiku yang menyebut atau memanggilku demikian. Walau kami membahaskan mama atau papa saat berbicara dengan Bas ternyata itu tidak cukup. Kami juga harus membiasakan menyebut mama dan papa saat membahasakan diri masing-masing ketika bercakap-cakap walau tidak melibatkan Bas. Ya, Bastiaan sudah bisa mendengar.

Satu pelajaran lagi ku dapat dari anak-anak. Jangan menyepelekan mereka! Kami lupa kalau Bas sudah mendengar dan otomatis dalam masa pertumbuhannya ia akan belajar meniru apa yang di dengarnya. Dan Bas mendengar ketika papanya menyebut ”Icha”, aku menjawab. Kamipun membuat kesepakatan untuk membiasakan menyebut diri dan pasangan dengan mama atau papa. Bukan memanggil dengan nama masing-masing.

Setiap kali Bas menyebut Icha, aku dan papanya membetulkan dengan menyebut ”mama”. Lama kelamaan tak terdengar lagi Bas menyebut kata ”Icha”, Kecuali Bas di tanya, siapa mamanya? Lain halnya dengan Van, belajar dari pengalaman bersama Bas, kami menerapkan berbicara normal pada Van. Usia Van belum genap dua tahun ketika Van sudah bisa berbicara dengan sempurna termasuk penyebutan huruf R.

Masalah timbul ketika Van mulai menyukai menonton film di TV atau mendengar lagu di radio, pengucapan cepat kadang sampai di telinga Van tidak sama seperti yang diucapkan di TV akibatnya yang keluar dari mulut Van akan sama dengan yang di dengar telinganya. Seperti kata ”vampir”, Van mendengarnya ”sampir”, maka Van akan berkata sampir untuk menyebut vampir.

Perlu waktu dan kesabaran untuk meralat ucapan atau lafal yang salah. Seperti saat ini Van sedang berlatih menghafal menghitung angka dalam bahasa Inggris. Untuk angka tujuh dalam bahasa Inggris Seven, Van mengucapkannya ve (dengan e eperti dalam kata meja) ven (dengan e seperti pada kata kentang). Bastiaan yang selalu tertawa geli jika mendengar Van berhitung dalam bahasa Inggris. Bas senang sekali meminta Van mengulangi. Setiap Van mengulang maka setiap itu pula Bas terpingal-pingkal.

Aku dan papanya harus berulang-ulang dengan kesabaran yang besar dalam membantu Van menyebut kata vampir dan seven secara benar. Sekarang Van sudah bisa mengucapkan dengan baik dan benar. Namun harus aku akui, kadang-kadang bahasa yang digunakan Van agak terlalu tinggi untuk usianya yang baru tiga setengah tahun.

Saat teman sebayanya masih berbicara terbata-bata, aku sudah bisa berdiskusi dengan Van tentang kisah Tom & Jerry dengan bahasa yang baik. Termasuk penyebutan cewek untuk perempuan dan cowok untuk laki-laki.

Van paling senang membagi aku, papanya dan Bas dalam penggolongan cewek dan cowok. Van akan berkata, ”Aku dan mama, kamu (Maksudnya Bas) dan papa, karena kami cewek-cewek dan kamu cowok-cowok!” Atau dia akan berkata: ”Karena aku dan mama cewek-cewek, maka boleh cantik-cantik”. Biasanya ini digunakan Vanessa kalau dia ingin ikut menggunakan alat kosmetikku.

Suatu hari saat kami akan pergi, usai menyisir rambut dan menggunakan minyak wangi, Vanessa mendekati papanya dan berkata
”Pa, aku cantik gak?” tanyanya dengan genit
”Wah cantik sekali!’ Jawab papanya
”Aku juga sudah wangi loh!” kata Van lagi
”Coba papa cium” pinta papanya.

Namun sungguh, papanya di buat terkejut. Juga aku yang mendengar ketikan Van berkata “Sory yah, aku tidak terima cowok!”. Tak lama ku dengar papanya dan Van sudah tergelak-gelak sambil memeluk dan mencium Van.
”Siapa yang ajar, bicara seperti itu?” tanya papanya
”Aku sendiri dong!” jawab Van masih dengan tertawa.

Saat itu aku yang berdiri di dekat pintu dan melihat ke arah papanya, kam ihanya bertukar pandang, aku mengangakat bahu dan tersenyum. Aku pun tidak tahu darimana perempuan kecil yang belum lagi berusia 4 tahun ini, belajar berkata demikian. Namun yang pasti, aku semakin yakin, perbendaharaan kata dan kalimat Vanessa memang semakin banyak. (Icha Koraag, 10 Januarai 2007)

BAHASA BULAN


”Bahasa bulan” adalah istilah aku dan keluargaku untuk menyebut bahasa yang kerap di lafalkan main-main, namun terkadang menjadi serius karena terbawa saat anak bertambah besar. Seperti Mimi untuk minum, mamam untuk makan atau atit untuk sakit atau cayang, cedih untuk sayang dan sedih dan lain-lain.

Perhatikan ucapan berikut: ”Halo cayang, cudah banun. Ade mau mimi cucu?” kadang terdengar dari mulut ortu yang mendapati anaknya sudah bangun tidur. Inipun pernah saya gunakan berkomuniasi dengan Bas dan Van waktu mereka bayi. Seiring bertambahnya usia Bas dan Van, aku dan papanya membiasakan dengan pengucapan yang benar.

Kedua anakku. Bas dan Van mempunyai kemampuan bicara yang baik. Walau Van lebih baik sedikit dari Bastiaan dalam pengucapan kata. Bas sempat menggunakan kata ”Mimi” untuk mengartikan minum air putih. Tapi Van langsung berkata ”Minum”. Van bisa di bilang tidak menggunakan bahasa bulan.

Mulanya memang terdengar lucu saat Bas atau Van mengucapkan sesuatu dengan tidak sempurna. Misalnya ”Ma, mimi cucu!”. jika itu di ucapkan anak usia di bawah dua tahun mungkin mulanya terdengar lucu dan memang pantas diucapkan anak seusia itu. Baik bagi kita karena memahami apa yang dimaksud anak. Tapi bukan berarti seterusnya kita boleh menggunakan kata sesuai pengucapan si anak dalam berkomunikasi dengan anak.

Jika Bas atau Van berkata :”Mimi cucu” Aku sebagai orang dewasa di sekitarnya dan sering berdekatan dengan mereka, mengulang dan mempertegas dengan berkata ”Minum susu”. Dan aku ulangi terus menerus ”Adik mau minum susu?” ”Ini susu, nah adik minum yah!”

Walau anak mengucapkan mimi, sebagai orang tua kita harus melatihnya untuk mengucapkan minum. Karena apa yang mulanya nampak lucu tapi kelak akan bermasalah. Tahu-tahu kita dihadapkan persoalan, ”Loh kok anakku tidak berbicara dengan benar?” Bagaimana anak akan menirukan yang benar jika kita malah menggunakan kata atau pengucapan si anak dalam berkomunikasi dengan anak.

Kecenderungan orang dewasa dalam berbicara dengan bayi atau balita, selalu berusaha mengucapkan.melafalkan seperti ucapan bayi/balita. Padahal kalau kita mau sedikit menggunakan logika, bayi atau balita akan melafalkan tidak sempurna karena organ-organ bicara mereka belum tumbuh sempurna. Seharusnya sebagai orang dewasa kita mengucapkan dan melafalkan dengan baik dan benar, sehingga si bayi atau balita tahu mana yang benar.

Keseringan kita mengucapkan dengan versi balita akan membuat balita bepikir, ia sudah benar dalam mengucapkannya. Dalam satu perbincanganku dengan pakar psikologi perkembangan anak , Dra. Surastuti Nurdadi, M.Si atau biasa di sapa Mba Nuki, beliau mengatakan ”Ala bisa karena biasa, anak terbiasa mengucapkan salah maka bisa menjadi seterusnya salah!”

Ini berlaku bukan hanya untuk pengucapan kata, ini juga berlaku untuk pemahaman nilai-nilai sosial dan aturan kedisiplinan. Ketika kita tidak konsisten menerapkan aturan, maka anak akan belajar seperti apa yang tercontoh. Proses pembelajaran sederhana yang paling mudah adalah dengan model mencontoh.

Nah kalau sejak dini, anak terbiasa menggunakan istilah-istilah yang hanya dipahami di sekitar lingkungannya, maka dapat ditebak kelak anak akan bermasalah di lingkup yang lebih luas. Bukan sekali dua kali kasus anak-anak enggan sekolah lantaran di ejek karena ketika berbicara masih menggunakan ”bahasa bulan”. Kita punya andil menjadikan anak tersebut bahan ejekkan.

Sebelum terlambat jika anda sedang mempersiapkan kehamilan, sedang hamil atau bahkan sudah punya bayi, mari gunakan bahasa yang pengucapan benar agar kelak si kecil tak bermasalah dalam berkomunikasi di luar rumah. Jangan salahkan lingkungan yang tidak ramah tapi pastikan anda mempersiapkan anak-anak yang tangguh dan siap bersaing. (Icha Koraag, 9 Januari 2007)

Thursday, January 04, 2007

DOA & HARAPANKU AYO...KAMU PASTI BISA!



Kalimat judul di atas pasti sudah sering anda dengar. Bahkan mungkin anda sendiri sering mengatakan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Coba perhatikan, kalimat yang terdiri dari empat suku kata di atas sangat sederhana tapi makna yang dikandungnya sungguh luar biasa

Kalau anda pernah mengucapkan kalimat ”Ayo, kamu pasti bisa!”, siapapun orang yang anda tuju, pasti anda menyayangi orang tersebut. Tidak mungkin anda mengucapkan atau menyerukan kalimat itu pada lawan atau saingan anda.

Ya, karena rasa sayang mampu membuat kita menginginkan orang yang kita sayangi mendapatkan yang terbaik. Ini baru hari ke empat di tahun 2007. Aku percaya anda pasti sudah melakukan refleksi kehidupan tahun lalu dan menyusun rencana tahun ini.

Coba anda intip catatan anda, apa yang anda rencanakan dengan orang-orang yang anda sayangi. Setiap kita menyusun rencana kadang kita lupa menyertakan orang-orang yang kita sayangi dalam rencana kita. Memang tidak salah tapi juga tidak ada salahnya kalau anda menyertaan orang-orang yang anda sayangi dalam rencana anda.

Demikian juga denganku. Aku menyusun beberapa rencana, diantaranya untuk anak-anakku. Menyangkut urusan anak-anak dan keluarga maka mereka perlu aku libatkan. Pertama-tama aku bicara dengan suami mengenai rencana kelurga kami. Percaya atau tidak, berdiskusi dalam penyusunan rencana bisa menjadi sangat mengasyikan kalau kita mau menyamakan persepsi.

Liburan ahir tahun kemarin, aku menyususun beberapa rencana baik untuk keluarga maupun untuk pribadi. Untuk perencanaan pribadi aku juga melibatkan suamiku karena aku memerlukan dorongan dan pengertian dia dalam mewujudkan rencana pribadiku. Demikian juga diriku diperlukan untuk mewujudkan rencana pribadi suamiku. Pengertian dan toleransi adalah dua hal yang kami jadikan kunci tahun ini untuk mewujudkan rencana.

Yang berikutnya menyangkut rencana dan target adalah untuk Bas dan Van. Dari hasil pertemuan dengan wali kelas Bas saat pengambilan raport mid semester. Bas mendapat hasil yang cukup memuaskan. Namun catatan yang diberikan untuk kami sebagai orang tuanya adalah melatih konsentrasi. Bastiaan masih kesulitan dalam hal berkonsentrasi.

Kami sangat menyadari, Bastiaan agak sulit jika mengerjaan dua hal secara bersamaan. Misalnya makan sambil menonton televisi. Memang dari opini beberapa pakar psikologi yang ku baca, sangat tidak disarankan makan sambil menonton tv. Maka rencana untuk Bastiaan adalah membiasakan makan tanpa menonton tv.

Secara keseluruhan raportnya baik, artinya Bastiaan sudah mengikuti pelajaran dengan baik. Walaupun untuk ketrampilan Sempoa, aku dan papanya harus membimbingnya dalam berlatih juga pengucapan dalam bahasa Inggris.

Sedangkan Vanessa, hampir semua di nilai bagus. Baik pengucapan bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris, memberi salam, berdoa, berkawan, berbagi, bercerita, berhitung, mengenal warna semua nyaris sempurna. Terus terang kadang-kadang aku merasa Vanessa jauh lebih tua dari usianya. Tutur kalimat yang digunakan dalam percakapan sehari-har juga melebihi kemampuan anak se usianya. Untuk itu aku dan papanya bersyukur, Cuma kadang-kadang kami merasa kehilangan balita kami.

Untuk Vanessa kami merencanakan mendaftarkan pada sebuah sanggar menari. Kebetulan tak jauh dari rumah di buka sebuah sanggar tari. Berlatihnya seminggu dua kali setiap Rabu dan Sabtu. Karena ku tahu Vanessa atau barangkali anak perempuan seusianya memang senang menari dan bernyanyi maka aku mencoba memfaslitasinya.

Aku dan Frisch sepakat menggunakan kalimat ”Ayo kamu pasti bisa!” sebagai kalimat pendorong semangat tahun 2007. Kami sepakat akan menggunaan kalimat tersebut dalam setiap kesempatan di sepanjang tahun, bukan sekedar memotivasi Bas dan Van, berharap itu juga bisa memotivasi aku dan keluargaku untuk mengisi target tahun 2007.

Dalam salah satu artikel mengenai parenting yang kubaca, memberi pujian positif bagi anak sangat berarti dan menanamkan kesadaran dalam diri anak mengenai kemampuan dirinya. Jika sering-sering diberikan pujian positif selain memacu rasa percaya diri, anak juga menjadi lebih menghargai sesama.

Sebagai orang tua kita pasti selalu ingin yang terbaik bagi keluarga kita khususnya anak-anak kita. Sebagai orang tua, aku tidak ingin menjadikan Bastiaan dan Vanessa menjadi anak yang super tapi aku hanya ingin Bastiaan dan Vanessa menjadi anak yang supel. Beda tipis R dan L (Super dan Supel). Yang tahu kemampuan diri, berbahagia, sehat menghormati orang tua, takut akan hukum Tuhan dan bisa menjadi panutan. Semoga! ( Icha Koraag, 4 Januari 2007)