Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Wednesday, September 27, 2006

PERTEMUAN DENGAN PIHAK SEKOLAH

Frisch dan extra joss-nya! (Bas adalah extra joss papanya. Melihat dan bercanda dengan Bas selalu menjadi penambah semangat walau lelah sehabis bekerja)


(Lanjutan: Anakku di permalukan!)


Reaksi suamiku yang tidak terima, lantaran Bas di hukum kelihatannya sudah dietahui pihak sekolah. Tadi pagi, sesudah mengantar Bas, suamiku langsung mendatangi kantor guru piket, untuk bertemu dengan guru piket hari Jumat minggu lalu.

Sebelum aku lanjutkan bercerita, baiknya aku jelaskan mengapa aku sebagai ibunya Bas tidak ikut menemui pihak sekolah. Ini hanya dari segi kepraktisan saja. Di rumah aku masih mengurus Vanessa. Jadi supaya efektif, sesaat sesudah mengantar Bas, suamiku langsung menghadap pihak sekolah, supaya persoalan tidak menjadi basi.

Guru piket hari Jumat, seorang ibu guru, ditemani kepala seklah SD keluar dengan membawa buku catatan daftar siswa yang terlambat. Suamiku menyampaikan protes keberatan atas hukuman yang diterima Bas karena terlambat waktu hari Jumat. Bas dihukum dengan cara dikalungkan tulisan ”AKU ANAK MALAS, Kemalasan adalah pangkal kebodohan!”

Hal- hal yang menjadi keberatan suamiku:
1. Bas baru kelas 1 SD. Dengan sendirinya masih bergantung pada orang lain untuk datang ke sekolah. Jadi seharusnya pihak seolah melakukan peneguran pada orang tua.
2. Bas baru pertama kali terlambat
3. Keterlambatan Bas tidak sampai 10 menit tapi harus menerima hukuman lebih dari 4 jam.

Reaksi pertama atau tanggapan guru piket.
1. Ini hukuman bukan baru diterapkan pertama kali
2. Bas terlambat, tapi orang tua tidak melapor
3. Ini hukuman mendidik karena di ambil dari kampenye Tantowi Yahya
Yang mengajak anak supaya terpacu rajin belajar.

Mendengar itu saya jadi tertawa ngakak. Tapi saya tidak menyela dan tetap membiarkan frisch bercerita.
”Lalu kamu bilang apa lagi?”
”Saya tertawa. Lalu saya katakan. Yang lain bukan anak saya. Kami baru pertama berkenalan dengan sekolah ini, Bas baru kelas 1 dan baru bersekolah 2 Bulan. Tidak pernah disosialisasikan jenis hukuman yang diterapkan pihak sekolah. Kami tidak tahu harus bersikap bagaimana kalau anak terlambat. Wong ini anak pertama”. Ujar suamiku.
”lalu, mereka menanggapi bagaimana?” tanyaku
”Kepala seolah yang menjawab. Bapak satu-satunya dari sekian banyak orang tua yang protes. Kami pihak sekolah terus terang senang. Karena berarti bapak punya perhatian pada anak dan mau berhubungan dengan pihak sekolah!” Begitu cerita suamiku.

Lagi-lagi aku tertawa, ini kepala sekolah yang aneh.
”Mereka itu latar belakangnya apa sih. Darimana mereka tahu, itu bentuk hukuman yang mendidik? Emangnya mereka sudah pernah survey?” tanyaku. Nah lu urusan pekerjaan jadi dibawa-bawa.
”Itulah yang saya sampaikan, saya tanya apa pihak sekolah sudah melakukan survey, bahwa penerapan hukuman seperti itu memotivasi anak jadi tidak malas? Bagi saya tidak ada korelasi keterlambatan dengan tulisan ”Aku anak malas!.................... eh lebih bodohnyalagi si guru piket nanya mengapa saya tidak protes sama Tantowi Yahya...........karena itu kampanyenya Tantowi.................

Sampai sini tawaku meledak. Guru piket tersebut rupanya gentar karena ada orang tua murid yang protes. Sehingga tidak mampu berpikir apa-apa. Selain itu pihak sekolah juga tidak tahu berhadapan dengan siapa. Sehingga berani berargumentasi dengan dasar yang tidak jelas.

Aku dan suamiku berlatar belakang komunikasi jurusan jurnalistik. Kami berdua sama-sama pernah bekerja sebagai reporter dan di lembaga survey. Bahkan sampai sekarang aku berkutat dengan data. Jadi kalau berbicara dengan dasar asumsi jelas kami merasa geli. Namun aku yakin, semua itu semata-mata arogansi pihak sekolah yang merasa berhak melakukan atau menerapkan aturan karena merasa sekolah yang lebih tahu. Dan reaksi pertama selalu merasa benar!

Ketika suamiku menghadap, tanpa bermaksud apa-apa hanya karena menggunakan motor, tentunya suamiku selalu mengenakan jacket. Kebetulan jacket tersebut ada lambang sebuah Surat kabar nasional. Menurut cerita suamiku, si guru piket sesumbar punya 10 saudara yang bekerja sebagai wartawan. Mulanya suamiku tidak sadar kemana arah si guru piket berbicara.
Ketika sadar suamiku hanya tertawa dalam hati lalu suamiku mengatakan lebih jauh.

”Niat saya menghadap ke sekolah adalah bentuk perhatian dan tanggung jawab saya sebagai orang tua. Karena itu saya juga meminta perhatian dan tanggung jawab pihak sekolah atas hukuman yang diterima Bas!’
”Tapi pak, tidak ada sedikitpun niat sekolah untuk mempermalukan siswa..
”Terlambat karena anak saya sudah merasa dipermalukan. Setiap persoalan tidak bisa digeneralisir, harus di lihat kasus per kasus. Bas baru kelas 1. Persoalannya akan berbeda jika Bas kelas 5 atau 6 dimana, Bas sudah lebih paham mengenai kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai siswa. Saya mengajukan keberatan karena hukuman ini tidak baik untuk siswa yang belum paham kesalahannya. Orang tua yang harus di tegur! Selain itu apakah proporsional keterlambatan tidak sampai 10 menit dihukum 4 jam?”

Menurut suamiku, pihak sekolah berjanji akan mengevaluasi bentuk hukuman dan mohon masukan dari orang tua kira-kira apa hukuman yang mendidik. Pihak sekolah berterima kasih atas pertemuan hari ini dan berjanji hukuman dengan mengalungkan tulisan seperti itu tidak akan diterapkan pada seluruh siswa kelas 1 dan 2. Dan akan dilihat kembali kesalahan yang bagaimana yang bisa dikenakan hukuman seperti itu. Misalnya tidak membuat PR atau lupa hafalan dll. Dan berapa lama anak menerima hukuman juga akan dipertimbangkan kembali.

Akhirnya aku lega, walau tidak mengikuti secara langsung pertemuan tersebut.
”Padahal masih banyak yang ingin saya sampaikan pada pihak seolah” ujar suamiku
”Apalagi?” tanyaku
” gara-gara hukuman yang tidak seharusnya diterima Bas, anak jadi menghujat orang tua!” Ujarnya sambil menghembuskan nafas.
”Maksud kamu?”
”Reaksi pertama Bas, waktu saya temui dikelas dan mempertanyakan hukuman itu, Bas berkata: Ini bukan kesalahan aku! Dan harus saya akui benar! Apa itu namanya bukan mengujat kita sebagai orang tua? Dan kedua hanya narapidana yang dikalungkan tulisan pada waktu diambil gambar dengan keterangan nama dan pasal KUHP yang dilanggar!” Kata Frisch sambil menerawang jauh.

Aku tidak bisa berkomentar untuk urusan menghujat orang tua karena memang bukan kesalahan Bas. Aku, ibunya yang bersalah. Keterlambatannya dipicu aku yang lupa meletakkan kacamata dan HP sehingga terlambat berangkat karena mencari kedua benda tersebut.

Sedangkan anggapan suamiku yang merasa hanya narapidana yang dikalungkan tulisan aku juga tidak mau berkomentar langsung. Tapi dalam hati aku berkata ”Terlalu dibesar-besarkan!” Untunglah tidak diucapkan pada waktu bertemu dengan pihak sekolah. Namun aku juga yakin, semua itu karena besarnya rasa sayang seorang Frisch pada Bastiaan. Diam-diam suamiku juga mempertanyakan padaku ”Apakah prilakunya bisa disebut over protektive?”

Terlepas dari semua itu, persoalan selesai sampai di sini. 2 hal yang bisa kupelajari dari kejadian ini. Pertama, sebagai orang tua, aku harus lebih sigap mempersiapkan agar Bas tidak terlambat, kedua komunikasi dengan sekolah perlu dibina agar sebagai orang tua tetap bisa mendapatkan informasi perkembangan anak dengan segala aturan yang diberlakukan pihak sekolah. Hmmmm habis bagaimana dong, menjadi orang tua yang punya anak duduk di SD kan pengalaman baru bagiku dan Frisch. Mudah-mudahan kami dapat terus belajar dan belajar.

No comments: