Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Thursday, September 28, 2006

ANAK MAMA DUA!





Seperti biasa kalau aku dan suamiku pulang kerja, Bas dan Van akan menyambut kami di muka pintu dengan teriakan Mama pulang…Papa pulang sambil bertepuk tangan lalu berlari dan memeluk aku dan suamiku secara bergantian. Ini adalah adegan yang selalu aku nantikan setiap hari. Jadi kalau aku sedang tugas keluar kota, hati ini terasa sepi, saat kembali ke hotel tidak ada yang menyambut.

Terakhir aku keluar kota, bulan lalu. Frisch mengabarkanku akan menjemput di Bandara bersama Bas dan Van. Senang luar biasa perasaanku. Penerbangan dengan pesawat dari Bandara Adisutjipto ke Bandara Soekarno-Hatta hanya sekitar 45 menit.

Di pesawat aku duduk bersama dua ibu-ibu atau tepatnya nenek-nenek. Dari pembicaraan mereka, bukan aku nguping tapi terdengar tanpa sengaja. Mereka adalah istri-istri dari pilot perusahaan penerbangan yang aku tumpangi. Tidak sengaja bertemu di pesawat. Mereka bernostalgia tentang kebijakan perusahaan penerbangan. Kelihatannya mereka menyesalkan berkurangnya fasilitas penerbangan yang kini mereka peroleh.

Dalam hati aku berkomentar, pantaslah perusahaan penerbangan ini merugi terus. Dulu mereka menikmati pernerbasngan gratis sampai ke luar negri.Tapi aku tidak mau ambil pusing. Aku tidak ingin harapanku bertemu dengan suami dan anak-anak tergantikan pemikiran mengenai kerugian perusahaan penerbangan ini.

Sesaat aku memjamkan mata, sambil membayangkan celoteh Bas dan Van. Wajah mereka yang jenaka dan kebiasaan mereka yang saling menggoda, membuatku tersenyum. Bas dan Van berjarak tiga tahun. Keseharian mereka seperti kucing dan tikus. Kalau tidak ada akan saling mencari tapi kalau ada akan bersmackdown. Mulanya sih bercanda tapi lama-lama akan menjadi pertengkaran.. Vanessa biar perempuan tapi perempuan yang tangguh. Tidak sedikitpun Van gentar dengan yang lebih besar termasuk pada Bastiaan.

Ini dampak dari kesalahan ajaran ku dan Frisch. Kami sangat menekankan pada Bastiaan, kalau Vanessa itu, adik dan perempuan jadi tidak boleh disakiti. Kami tidak menekankan hal tersebut pada Vanessa, alhasil, Bas kerap menjadi korbannya Vanessa.
Bukan mau membedakan jenis kelamin, biar bagaimanapun Bastiaan jauh lebih besar, sehingga maksud kami, Bas harus mengerti fungsi menjaga.

Yang terjadi, Vanessa sangat ringan tangan. Bukan dalam arti berbenah tapi dalam arti memukul. Mulanya pukulannya tidak terasa sakit tapi lama-kelamaan menyakitkan juga. Lagi-lagi ku akui, ini kesalahanku, menganggap pukulannya tidak sakit. Jadi kalau Bas protes biasanya aku akan mengatakan “Cuma dipukul adik saja masa sakit?”

Suatu ketika aku benar-benar dikejutkan lengkingan tangis Bas. Bergegas aku mendatangi keduanya di ruang tv. Bastiaan sedang menangis sambil memegang kepalanya dengan dua tangan. Vanessa berdiri bersender di dinding.

Yang kulakukan pertama adalah, mendekap Bas. Ini tindakan yang sangat manjur dalam setiap kejadian. Bas balas memelukku. Lalu keluarlah laporannya di sela-sela tangsinya. Setelah kuminta untuk menghentikan tangisnya, kuhapus air matanya dan kuminta Bas menceritakan kejadiannya. Hanya satu kalimat Kepalaku dipuku Van dengan remote!”

Pandanganku beralih ke Vanessa yang menatapku dengan mata besarnya. Geli rasanya melihat Van yang terlihat merasa bersalah. Ku panggil Van mendekat. Tangisnyapun pecah dalam pelukanku.

“Mengapa Van memukul kakak?” tanyaku sambil mencium kepalanya.
“Kakak nakal, Ma” Jawab Vanessa di sela-sela isak tangisnya. Bas memotong
“Kamu yang nakal, kamu yang pukul aku sih!” Seru Bas dari sampingku.
“Enggaaaaak” Jerit Van yang langsung dilengkapi “Kakak ganti tv nya, akukan lagi nonton!”

Aku langsung paham permasalahannya. Jadi Vanessa sedang menonton dan Bas mengganti chanelnya. Tapi aku tetap tidak membenarkan Vanessa memukul Bas.
“Mengapa Vanessa harus memukul? Van bisa bilang pada mamakan?”
“Aku kan….lagi nonton mama, Kakak langsung ganti. Aku jadi marah, mama”. Ujarnya perlahan.

“Jadi sekarangn kalian berdua mau apa?” Tanyaku. Kulihat keduanya bertukar pandang dengan wajah yang belum bersahabat. Dalam hati aku tertawa. Wajah mereka kusut, bibirnya cemberut dengan pandangan mata melirik.
“Sekarang dengarkan mama deh. Anak mama ada berapa?” tanyaku. Diam tidak ada yang menjawab. Kulanjutkan lagi : “Ok. Berarti mama tidak punya anak. Ya sudah mama mau pergi”. Kataku sambil berdiri. Vanessa memegang ujung dasterku. Lalu ku dengar Bas menjawab “ Dua”. Katanya.
“Apanya yang dua?” tanyaku mempertegas.
“Anak mama”.Katanya lagi
“Yang benar,?”
“Benar!” Jawab Bas. Kali ini dengan suara agak keras dan wajahnya sudah mulai ceria. Sementara Vanessa masih duduk dipangkuanku.
”Benar Van, anak mama dua?” tanyaku pada Vanessa. Yang hanya menjawab dengan mengangguk.
“Yang mana anak mama, nak?”tanyaku lagi
“Aku dan kakak Bas”. Jawab Van sambil menunjuk ke arah Bas.
“Nah kalau anak mama dua, mengapa berkelahi? Sudah bosen jadi anak mama? Mamakan selalu bilang. Anak mama ada dua harus selalu saling sayang”
“Dia sih pukul aku” potong Bas. Wajahnya kembali kusut
“Benar, Van?” tanyaku
“Enggak sih!; Jawab Van. Aku malah menjadi bingung!
“Sekarang begini saja. masih mau nonton tv? Kalau ya, silahkan nyalakan lagi dan mama tidak mau dengar ada yang berteriak atau menangis. Kalau masih ada yang berteriak, tvnya di matikan. Sampai seterusnya tidak boleh nonton tv lagi! Mengerti?” tanyaku pada Bas dan Van. Kali ini keduanya menjawab kompak “ Mengerti, mama!”

“Itu baru namanya anak baik. Mama selalu bilang, mama sayang anak baik. Sekarang, dua-dua sayang-sayangan!:” Perintahku pada Bas dan Van. Bas bertindak lebih dulu mendekati adiknya, memeluk dan berkata” Jangan pukul kakak lagi yah. Kakak sayang sama Vanes”. Sementara Vanes yang dipeluk cuma menganggukkan kepalanya.

“Sekarang peluk mama!” Pintaku sambil merentangkan kedua tangan. Bas dan Van sudah tertawa dan keduanya masuk dalam pelukanku. Kudekap erat keduanya, sambil , berdoa dalam hati: “Tuhan, mampukan aku membesarkan keduanya!”

Terdengar informasi dari pramugari, sesaat lagi pesawat akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Lamunanku buyar! Tapi hati ini senang karena ku tahu, ada suami dan kedua anakku yang menjemput. (Icha Koraag, 15 Sept 2006

Wednesday, September 27, 2006

PERTEMUAN DENGAN PIHAK SEKOLAH

Frisch dan extra joss-nya! (Bas adalah extra joss papanya. Melihat dan bercanda dengan Bas selalu menjadi penambah semangat walau lelah sehabis bekerja)


(Lanjutan: Anakku di permalukan!)


Reaksi suamiku yang tidak terima, lantaran Bas di hukum kelihatannya sudah dietahui pihak sekolah. Tadi pagi, sesudah mengantar Bas, suamiku langsung mendatangi kantor guru piket, untuk bertemu dengan guru piket hari Jumat minggu lalu.

Sebelum aku lanjutkan bercerita, baiknya aku jelaskan mengapa aku sebagai ibunya Bas tidak ikut menemui pihak sekolah. Ini hanya dari segi kepraktisan saja. Di rumah aku masih mengurus Vanessa. Jadi supaya efektif, sesaat sesudah mengantar Bas, suamiku langsung menghadap pihak sekolah, supaya persoalan tidak menjadi basi.

Guru piket hari Jumat, seorang ibu guru, ditemani kepala seklah SD keluar dengan membawa buku catatan daftar siswa yang terlambat. Suamiku menyampaikan protes keberatan atas hukuman yang diterima Bas karena terlambat waktu hari Jumat. Bas dihukum dengan cara dikalungkan tulisan ”AKU ANAK MALAS, Kemalasan adalah pangkal kebodohan!”

Hal- hal yang menjadi keberatan suamiku:
1. Bas baru kelas 1 SD. Dengan sendirinya masih bergantung pada orang lain untuk datang ke sekolah. Jadi seharusnya pihak seolah melakukan peneguran pada orang tua.
2. Bas baru pertama kali terlambat
3. Keterlambatan Bas tidak sampai 10 menit tapi harus menerima hukuman lebih dari 4 jam.

Reaksi pertama atau tanggapan guru piket.
1. Ini hukuman bukan baru diterapkan pertama kali
2. Bas terlambat, tapi orang tua tidak melapor
3. Ini hukuman mendidik karena di ambil dari kampenye Tantowi Yahya
Yang mengajak anak supaya terpacu rajin belajar.

Mendengar itu saya jadi tertawa ngakak. Tapi saya tidak menyela dan tetap membiarkan frisch bercerita.
”Lalu kamu bilang apa lagi?”
”Saya tertawa. Lalu saya katakan. Yang lain bukan anak saya. Kami baru pertama berkenalan dengan sekolah ini, Bas baru kelas 1 dan baru bersekolah 2 Bulan. Tidak pernah disosialisasikan jenis hukuman yang diterapkan pihak sekolah. Kami tidak tahu harus bersikap bagaimana kalau anak terlambat. Wong ini anak pertama”. Ujar suamiku.
”lalu, mereka menanggapi bagaimana?” tanyaku
”Kepala seolah yang menjawab. Bapak satu-satunya dari sekian banyak orang tua yang protes. Kami pihak sekolah terus terang senang. Karena berarti bapak punya perhatian pada anak dan mau berhubungan dengan pihak sekolah!” Begitu cerita suamiku.

Lagi-lagi aku tertawa, ini kepala sekolah yang aneh.
”Mereka itu latar belakangnya apa sih. Darimana mereka tahu, itu bentuk hukuman yang mendidik? Emangnya mereka sudah pernah survey?” tanyaku. Nah lu urusan pekerjaan jadi dibawa-bawa.
”Itulah yang saya sampaikan, saya tanya apa pihak sekolah sudah melakukan survey, bahwa penerapan hukuman seperti itu memotivasi anak jadi tidak malas? Bagi saya tidak ada korelasi keterlambatan dengan tulisan ”Aku anak malas!.................... eh lebih bodohnyalagi si guru piket nanya mengapa saya tidak protes sama Tantowi Yahya...........karena itu kampanyenya Tantowi.................

Sampai sini tawaku meledak. Guru piket tersebut rupanya gentar karena ada orang tua murid yang protes. Sehingga tidak mampu berpikir apa-apa. Selain itu pihak sekolah juga tidak tahu berhadapan dengan siapa. Sehingga berani berargumentasi dengan dasar yang tidak jelas.

Aku dan suamiku berlatar belakang komunikasi jurusan jurnalistik. Kami berdua sama-sama pernah bekerja sebagai reporter dan di lembaga survey. Bahkan sampai sekarang aku berkutat dengan data. Jadi kalau berbicara dengan dasar asumsi jelas kami merasa geli. Namun aku yakin, semua itu semata-mata arogansi pihak sekolah yang merasa berhak melakukan atau menerapkan aturan karena merasa sekolah yang lebih tahu. Dan reaksi pertama selalu merasa benar!

Ketika suamiku menghadap, tanpa bermaksud apa-apa hanya karena menggunakan motor, tentunya suamiku selalu mengenakan jacket. Kebetulan jacket tersebut ada lambang sebuah Surat kabar nasional. Menurut cerita suamiku, si guru piket sesumbar punya 10 saudara yang bekerja sebagai wartawan. Mulanya suamiku tidak sadar kemana arah si guru piket berbicara.
Ketika sadar suamiku hanya tertawa dalam hati lalu suamiku mengatakan lebih jauh.

”Niat saya menghadap ke sekolah adalah bentuk perhatian dan tanggung jawab saya sebagai orang tua. Karena itu saya juga meminta perhatian dan tanggung jawab pihak sekolah atas hukuman yang diterima Bas!’
”Tapi pak, tidak ada sedikitpun niat sekolah untuk mempermalukan siswa..
”Terlambat karena anak saya sudah merasa dipermalukan. Setiap persoalan tidak bisa digeneralisir, harus di lihat kasus per kasus. Bas baru kelas 1. Persoalannya akan berbeda jika Bas kelas 5 atau 6 dimana, Bas sudah lebih paham mengenai kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai siswa. Saya mengajukan keberatan karena hukuman ini tidak baik untuk siswa yang belum paham kesalahannya. Orang tua yang harus di tegur! Selain itu apakah proporsional keterlambatan tidak sampai 10 menit dihukum 4 jam?”

Menurut suamiku, pihak sekolah berjanji akan mengevaluasi bentuk hukuman dan mohon masukan dari orang tua kira-kira apa hukuman yang mendidik. Pihak sekolah berterima kasih atas pertemuan hari ini dan berjanji hukuman dengan mengalungkan tulisan seperti itu tidak akan diterapkan pada seluruh siswa kelas 1 dan 2. Dan akan dilihat kembali kesalahan yang bagaimana yang bisa dikenakan hukuman seperti itu. Misalnya tidak membuat PR atau lupa hafalan dll. Dan berapa lama anak menerima hukuman juga akan dipertimbangkan kembali.

Akhirnya aku lega, walau tidak mengikuti secara langsung pertemuan tersebut.
”Padahal masih banyak yang ingin saya sampaikan pada pihak seolah” ujar suamiku
”Apalagi?” tanyaku
” gara-gara hukuman yang tidak seharusnya diterima Bas, anak jadi menghujat orang tua!” Ujarnya sambil menghembuskan nafas.
”Maksud kamu?”
”Reaksi pertama Bas, waktu saya temui dikelas dan mempertanyakan hukuman itu, Bas berkata: Ini bukan kesalahan aku! Dan harus saya akui benar! Apa itu namanya bukan mengujat kita sebagai orang tua? Dan kedua hanya narapidana yang dikalungkan tulisan pada waktu diambil gambar dengan keterangan nama dan pasal KUHP yang dilanggar!” Kata Frisch sambil menerawang jauh.

Aku tidak bisa berkomentar untuk urusan menghujat orang tua karena memang bukan kesalahan Bas. Aku, ibunya yang bersalah. Keterlambatannya dipicu aku yang lupa meletakkan kacamata dan HP sehingga terlambat berangkat karena mencari kedua benda tersebut.

Sedangkan anggapan suamiku yang merasa hanya narapidana yang dikalungkan tulisan aku juga tidak mau berkomentar langsung. Tapi dalam hati aku berkata ”Terlalu dibesar-besarkan!” Untunglah tidak diucapkan pada waktu bertemu dengan pihak sekolah. Namun aku juga yakin, semua itu karena besarnya rasa sayang seorang Frisch pada Bastiaan. Diam-diam suamiku juga mempertanyakan padaku ”Apakah prilakunya bisa disebut over protektive?”

Terlepas dari semua itu, persoalan selesai sampai di sini. 2 hal yang bisa kupelajari dari kejadian ini. Pertama, sebagai orang tua, aku harus lebih sigap mempersiapkan agar Bas tidak terlambat, kedua komunikasi dengan sekolah perlu dibina agar sebagai orang tua tetap bisa mendapatkan informasi perkembangan anak dengan segala aturan yang diberlakukan pihak sekolah. Hmmmm habis bagaimana dong, menjadi orang tua yang punya anak duduk di SD kan pengalaman baru bagiku dan Frisch. Mudah-mudahan kami dapat terus belajar dan belajar.

Monday, September 25, 2006

Kisahku: Rambutku Kering, Aku Tidak Seksi


Kisahku: RAMBUTKU KERING, AKU TIDAK SEKSI


Vanessa sangat senang membasahkan kepalanya. Aku kerap marah karena aku mengkhawatirkan Van masuk angin. Selain itu, Van paling tidak bisa dengan baju atau celana yang basah. Jadi setiap kali Van membasahkan kepalanya, otomatis berarti Van akan ganti baju. Jadi terjawab sudah keherananku jika melihat banyaknya tumpukan baju yang di setrika. Jadi satu ketika, aku mempertanyakan pada Van apa yang dilakukannya.

”Van, mengapa selalu membasahkan rambut?”
’Karena rambutku kering” ujar Vanessa
”Loh, semua orang juga begitu, nak. Rambut basah hanya kalau sesudah mandi. Lama-lama akan kering juga” Ujarku menjelaskan.
”Tapi kalau rambutku kering aku tidak seksi. Kan papa juga selalu basahin rambutnya” Jawab Van dengan lugu. Pertama, aku sungguh terkejut dengan istlah yang digunakan Van. Kedua, sungguh aku tidak menyangka, kebiasaan Frisch membasahkan kepala di tiru Van.

Dua hal tadi memang bersumber dari papanya. Papanya memang tidak tahan dengan panas, sehingga jika cuaca panas, Frisch bisa berkali-kali ke kamar mandi membasahkan rambutnya. Untuk istilah seksi, Frisch pun kerapkali berkomentar saat Van selesai mandi ”Aduh wajahmu seksi sekali kalau rambutmu basah!”

Aku yakin Van tidak paham dengan ucapan papanya tapi papanya lupa, komentar itu sering dilontarkan hingga membekas dalam memori Van. Ujung-ujungnya aku yang ngomel lantaran Van sering membasahi kepala dan berganti baju.

Pernah dalam satu kesempatan berdiskusi dengan pakar psikologi perkembangan anak Dra. Surastuti Nurdadi, M.Si, beliau mengatakan sesuatu yang diingat seorang anak adalah hal yang terus menerus didengar atau dilihat.

Pernah suatu ketika, saya merasa jengkel ketika Bastiaan mempertanyakan mengapa ia, tidak boleh main play station di hari sekolah. Padahal aku sudah mnejelaskan panjang dan lebar alasannya.

”Ma, mengapa aku tidak boleh main play station?” tany Bas
”Karena besok bukan hari libur” Jawabku
”Iya, tapi sekarangkan aku sudah pulang sekolah”
”lalu?”
”Berarti aku boleh main play station” Simpul Bas
”Oh bukan begitu, nak. Hari sekolah, Bas harus belajar dan belajar!” Jawabku
”Aku kan sudah belajar, berati aku boleh main, please?” kali ini dengan suara memelas.
”Tidak nak. Beberapa kali mama dan papa ijinkan Bas bermain PS tapi Bas tidak tepat janji. Bas tidak tidur siang, Bas di suruh mandi selalu menjawah nanti, makan sayur masih protes. Mama dan papa bilang, kalau Bas dengar dan turuti apa yang mama dan papa bilang, maka mama dan papa ijinkan main PS di hari sekolah. Tapi Bas belum bisa, makanya mama dan papa tidak mengijinkan main PS kecuali besok hari libur” Jawabku menjelaskan.
”Apa sih masalahnya?” tanya Bas. Aku terkejut mendengar pertanyaannya. Panjang dan lebar aku menjelaskan lalu tiba-tiba Bas bertanya ”Apa masalahnya?”
”Maksud Bas?” tanyaku heran
”Mama dan papa selalu akhirnya bertanya seperti itu, jadi aku juga tanya?” Dalam hati aku ingin tertawa. Bas tidak tahu dengan apa yang diucapkannya. Dia mengatakan itu, karena ia kerapkali mendengarkan percakapanku dengan papanya dan salah satu kalimat yang mungkin sering di dengarnya adalah pertanyaan ”Jadi apa masalahnya?’

Memang banyak cara yang dilakukan anak dalam proses belajar. Salah satunya adalah lewat proses meniru. Dan pengajar yang utama dan pertama di tiru anak-anak adalah orang-orang terdekat mereka. Bisa jadi orang tua, pembantu, atau orang-orang yang berada satu rumah dan sehari-hari beraktivitas dengan anak tersebut.

Karena kerap ditiru, maka aku merasa perlu berprilaku yang baik agar Bas dan Van meniru yang baik. Namun keterbatasan sebagai manusia yang jauh dari sempurna, seringkali aku dan suami tidak sadar kalau ada peniru di sekeliling kita.

Demikian pula anak-anakku, karena tingkat pemahaman yang terbatas baru sampai pada tahap meniru, maka Bas dan Van tidak menyeleksi yang mana yang boleh/layak di tiru.
Menurut saya di sini ada unsur menghafal. Anak tanpa sadar menghafal apa yang di lihat dan di dengar. Dan itulah yang terjadi pada Bas dan Van. Mereka meniru, baik prilaku, perkataan maupun perbuatan.

Dari dua kejadian yang kualami, aku dan suamiku membuat kesepakatan untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan kata-kata jika bercakap-cakap dengan anak-anak, berprilaku dan bersikap. Karena kami punya 2 peniru kecil yang selalu siap mengejutkan kami dengan hasil tiruan mereka dari gaya bicara, gaya prilaku dan gaya bersikap kami.

Di satu sisi kami percaya hal baik dalam keseharian kami juga akan di tiru, persoalannya kami belum tahu hal baik apa yang akan mereka tiru. Karena itu yang bisa kami lakukan adalah lebih berhati-hati. Dan selalu saling mengingatkan. Memang tidak mudah menjadi orang tua tapi kami tetap selalu bersyukur karena diberi kesempatan menjadi orang tua. (Icha koraag, 25 sept 2006)

Sunday, September 24, 2006

Anaku di Permalukan!




Orang tua mana yang bisa menerima jika anaknya dipermalukan? Jumat, 22 Sept , minggu lalu, sesaat sebelum aku makan siang, HP ku berbunyi dan nampak nama ”Papa Bas” di layar hp ku.
”Halo” Sapaku
”Sedang apa, ma?” tanya suamiku di seberang telephone
“Siap-siap mau makan siang, ada apa?” Ganti aku yang berbalik tanya.
“Saya cuma mau kasih tahu. Bastiaan dipermalukan di sekolah! Ujarnya dengan suara bergetar. Aku paham, suamiku berusaha menahan amarah.
”Sabar pa, cerita dulu dong!”
”Nanti saja di rumah!” dan suamiku mengakhiri pembicaraan.

Kini tinggal aku yang termangu, mana bisa aku konsentrasi bekerja kalau mengingat cerita suamiku tadi. “Bastiaan dipermalukan”. Oleh siapa dan mengapa?” tanyaku dalam hati. Tak sabar rasanya menanti jam pulang kerja.

Saat jam kerja usai, suamiku sudah menjemput. Kami sepakat singgah di warung soto untuk berbicara. Mulailah suamiku bercerita. Yang diceritakan terlebih dahulu bukan persoalan Bas tapi pergumulan suamiku yang tidak terima karena hukuman yang diterima Bas.

Ketika suamiku datang ke sekolah untuk mengantarkan seragam Tae Kwon Do karena setiap jumat Bas mengikut ekskul tersebut. Biasanya suamiku akan melihat Bas yang bersenda gurau dengan kawan-kawannya di lapangan sekolah. Karena di lapangan tidak nampak, suamiku berjalan ke kelas Bas dan disana ia melihat Bas sedang duduk dengan tangan bersidekap di dada.
”Halo Bas, kok tidak ke lapangan?” sapa suamiku
”Aku malu!” Jawab Bas sambil menundukkan kepalanya di meja.
”Malu kenapa Nak?” suamiku menjadi heran. Perlahan Bas melepaskan tangannya dari dada dan nampak sebuah tulisan yang dikalungkan di lehernya ”AKU ANAK MALAS. Kemalasan mengakibatkan kebodohan”

”Reaksi pertama membaca tulisan tersebut, saya membenarkan. Lalu saya katakan pada Bas. Sama seperti yang sering Papa dan mama katakan, kakak tidak boleh malas belajar! Cerita suamiku. Tapi betapa terpukulnya saya, ketika Bas dengan tegas mengatakan: Aku dikalungkan tulisan ini bukan karena aku malas belajar tapi tadi pagi aku terlambat datang ke sekolah!”

Sebelum suamiku melanjutkan ceritanya, aku yang merasa terpukul. Keterlambatan Bastiaan berkaitan dengan aku. Jumat pagi tadi aku ada ”Breakfast Meeting”. Karenanya aku ikut berangkat saat Bas di antar suamiku. Cuma karena aku teledor, aku lupa meletakkan kacamata dan HP sehingga ketika akan berangkat, jadi tertahan untuk mencari dua benda tersebut. Ahirnya dua benda tersebut tidak ketemu dan Bastiaan terlambat.

”Aku menyesal gara-gara aku, Bas dipermalukan! Ujarku penuh penyesalan.
”Itulah! Kemarahan saya atau ketidak terimaan saya Bas dipermalukan karena bukan kesalahan Bas!” Ujar Frisch dengan emosi.
”Iya tapi kan sekolah tidak tahu kalau Bas terlambat karena aku!” kataku lagi.
”Ma, apakah hukuman dengan mengalungkan tulisan semacam itu mendidik? Bas begitu shock, menurut kawan-kawan dan satpam dia tidak keluar kelas saat jam istirahat. Belum lagi menahan rasa karena kawan-kawan yang mengolok-oloknya.” Frisch masih emosi. Lalu dilanjutkan dengan suara bergetar kali ini mehahan tangis.
”Kamu tahu ma, demi anak-anak aku rela bangun sebelum pukul 5 pagi biarpun aku baru dari luar kota. Agar jangan terlambat...apakah sikap seperti ini over protecktive?”
”Entahlah, yang pasti mama menyesal, ini kesalahan mama” kataku dengan perasaan tidak enak.
”Ok. Tapi bukan itu masalahnya. Bas ini baru kelas satu, kalau dia sudah merasa tidak nyaman di sekolah, bagaimana dia mau terus bersekolah? Saya sangat bersyukur Bas tidak pernah mengeluh walau pukul 5 pagi sudah harus bangun. Tapi kalau sekolah memberi hukuman tidak mendidik justru membuat secara kejiwaan Bas terluka, saya merasa sangat sakit, ma!’ Ujar suamiku dengan penekanan kata pada sakit!

Jujur sayapun terluka. Bahkan terluka 3 kali lebih banyak dari yang di rasa Bas dan Frisch. Pertama Ibu mana yang rela anaknya dipermalukan. Kedua aku punya andil atas keterlambatan Bas. Ketiga, betapa pedih ati ini mengetahui kecintaan Frisch pada Bas yang sangat luar biasa dan kini dihadapanku berusaha menahan airmata ketidakrelaan akan anaknya yang dipermalukan.
”lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku pelan
”Saya akan menemui guru piket tersebut atau kepala sekolah untuk memprotes” Jawab Frisch
”Tapi kalau hukuman itu sudah lama diterapkan dan tidak ada yang protes?” tanyaku
”Anak orang bukan urusan saya, tapi Bas tanggung jawab saya. Dan hukuman itu tidak mendidik. 3 hal mengapa saya tidak terma. Pertama, Bas baru kelas satu dan untuk ke sekolah Bas masih bergantung dengan orang lain dalam hal ini orang tuanya. Karena itu tegurlah orang tuanya. Kedua, ini keterlambatan Bas yang pertama. Ketiga, Bas terlambat tidak sampai 5 menit, apakah adil dia dipermaukan 4 jam?

Aku tidak berkomentar atas analisa Frisch karena aku membenarkan. Aku hanya berpesan, untuk menjaga pembicaraan denga pihak seolah tidak emosi dan tetap sopan, karena biar bagaimanapun Bas baru kelas satu, kami masih akan terus berhubungan dengan pihak sekolah selama Bas masih terdaftar sebagai murid.

Frisch mengatakan, justru karena hal tersebut, maka sebagai orang tua kita harus mengemukakan uneg-uneg agar jangan menjadi kenadala di kemudian hari, apalagi sampai mempengaruhi kegiatan belajar Bas di sekolah.

Selesai saling mencurahkan isi hati kamipun bergegas pulang. Seperti biasa saat mendengar suara motor suamiku, Bas dan Van langsung muncul di muka pintu. Tertawa dan bertepuk tangan sambil berkata ”Mama pulang....Papa pulang!” Hatiku sedang sakit sehingga agak sulit memunculkan senyum di wajah. Ku sembunykan wajahku di dada Van. Sementara Bas memeluk pinggangku.

Keduanya mengiring aku kekamar. Van pindah kepelukan papanya, akupun memeluk Bas. Dengan menguatkan hati kucoba memulai pembicaraan dengan Bas.
”Mama dengar dari papa, Kakak tadi di hukum ?”
”Iya. Di suruh pakai kalung tulisan ”Aku Anak Malas............
”Benar kakak malas?” tanyaku
”Eh...aku dikalungkan tulisan itu karena aku terlambat” Jawab Bas lagi
”Bagaimana teman-teman kakak?”
”Ya aku diledek-ledek tapi aku bilang kalau nanti kamu pakai kalung seperti ini, mau tidak aku ledek-ledek? Kalau tidak ya jangan meledek dong. Jadi tidak di ledek lagi.
”Kakak malu?” tanyaku. Kali ini Bas mengangguk. Aku memeluknya.
”Maafin mama kak, gara-gara mama kakak jadi terlambat dan di hukum!” kataku tanpa melepaskan pelukan. Bas hanya tertawa.

Aku tidak tahu apa yang dirasa Bas. Tapi berharap, ini tidak akan terulang dan hukuman yang diterima Bas tidak meninggalkan trauma. Dan aku mendukung rencana Frisch yang akan menemui guru piket dan pihak sekolah untuk memprotes. Hak kami sebagai orang tua untuk menyampiakan sesuatu yang dirasa kurang pada tempatnya.

Ini juga bentuk masukan kami, agar sekolah bisa memberikan sanksi yang lebih mendidik!
Sehingga pengalaman Bas tidak dialami anak lain dan kami turut menjaga kelangsungan proses belajar mengajar yang lebih kondusif. Semoga Bas, menjadi anak terakhir yang dipermalukan!” (Icha Koraag)

Tuesday, September 19, 2006

Ibu Kartini bukan pahlawan!

Bas dengan pakaian Sulut!


Di sela-sela kesibukanku bekerja di sebuah lembaga penelitian sosial dan pasar, aku masih menyempatkan menulis. Baik itu cerpen, puisi atau artikel. Kegiatan menulis yang sudah kumulai sejak kelas tiga SD merupakan tempatku mencurahkan perasaan dan pemikiranku.

Seperti juga malam ini. Aku tengah asyik menulis ketika sulungku mendekat.
“Mama lagi apa?” Anak sulungku bertanya sambil memandangku. Bola matanya yang bulat dan jernih penuh rasa ingin tau.
“Sedang menulis, kakak sudah selesai membuat PR-nya?”
“Sudah. Ini ada surat dari sekolah” Ujarnya sambil mengulurkan undangan berbentuk kupu-kupu yang terbuat karton bekas kemasan air minuman.

“Coba mama baca, undangan apa sih?”
“Kartinian. Di sekolahku ada Kartinian!” Kali ini ia berkata dengan berapi-api dan terburu-buru, mungkin tak sabar ingin menyampaikan informasi. Anak sulungku waktu itu baru mau berusia lima tahun dan masih di TK .
“Kartinian…? Kartinian itu apa? “ Tanyaku. Ia diam sejenak seakan berpikir mencari kata untuk menjelaskan.
“Pokoknya mama baca deh. Mama sama papa datang dan duduk lihat aku Kartinian!” Ujarnya masih dengan nada yang terburu-buru.

“Ok. Tunggu, mama baca dulu yah” Di Undangan itu diinformasikan mengenai perayaan hari Kartini yang akan diisi dengan karnaval, tarian-tarian dan bazaar hasil karya murid-murid TK.
“Iyakan ma. Mama dan papa di undang?”
“Iya, tapi emangnya ada apa sih, sampai mama sama papa harus datang? tanyaku lagi
“Aku mau baca puisi” Jawabnya pelan.
“Baca puisi, kakak sudah bisa baca puisi?” tanyaku sambil menunjukan wajah heran.
“Iya, aku hebat kan, ma?” tanya Bas sambil mengerlingan matanya.
‘Wah, mama harus datang".
“Tapi aku pakai baju apa?”
“Memangnya harus pakai baju apa?”
“Baju daerah. Aku orang apa ma?
“Loh yah orang Indonesia dong.”
“Iya tapi orang apa. Fairuz orang Padang. Inez orang Jawa, aku orang Menado yah?” Geli benar perasaanku melihat ia bertanya.

“Iya, kakak orang Menado, jadi orang Gorontalo juga boleh!” Aku memang dari Menado dan suamiku dari Gorontalo.
“Jadi aku pakai baju apa?”
“Pakai baju anak raja!”
“Mana?”
“Besok pulang kerja mama bawa”
“Ok deh!” jawabnya sambil tersenyum
“Kak, Kartini itu siapa sih?”
“Kartini itu ya ibu Kartini” Jawabnya lalu dilanjutkan dengan bernyanyi
“Ibu kita Kartini, putri sejati. Putri Indonesia harum namanya. Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia…..

Aku ikut bernyanyi bersamanya dan setelah selesai kami sama-sama bertepuk tangan.
“Kakak tahu tidak, ibu Kartini itu seorang pahlawan?”
“Ya tidak dong, ma.
“Kok tidak?”
“Pahlawan itu jagoan kayak Kuga, Batman, Spaiderman dan Kapten Tsubasa. Jagoan itu laki-laki.. Ibu Kartini kan perempuan. Namanya saja Ibu Kartini! Kali ini dengan penekanan pada kata Ibu Kartini.
Waduh…bisa kacau kalau anakku beranggapan pahlawan itu hanya laki-laki.
“Pahlawan memang mirip dengan jagoan tapi tidak selalu laki-laki” Aku terdiam. Aku sedang berpikir bagaimana mencari kalimat sederhana yang mudah dipahami Bas. Aku jadi teringat jagoan perempuan dalam film yang pernah di tontonnya. 

“Jagoan itu laki-laki!” Katanya dengan tegas. Dalam hati aku menyetujui pendapatnya. Memang jagoan itu laki-laki karena kalau perempuan mustinya betina. Aku masih penasaran dengan pendapat anaku.
“Kak, ingat film Tom Rider?”
“Iya!”
“Itukan jagoannya perempuan”. Kulihat anakku berpikir.
“Iya!”
Jadi jagoan tidak harus selalu laki-laki dong?” Anakku diam sambil memainkan pistol-pistolan ditangannya. Ia nampak berpikir seerius.
“Tapi itu kan di film, Ma!”
“Batman, Spaiderman dan Kapten Tsubasha juga film!”
“Iya tapi…
“Mama, jagoan apa bukan?” potongku cepat.
“Iya, mama jagoan Van dan papa jagoan aku!” Pemahamannya agak lumayan, tapi tetap gender.
“Mama bukan jagoan kakak?”
“Mama kan perempuan, jadi jagoannya Van dan Papa jagoan aku!”
“Ibu Kartini Jagoan atau tidak?”
“Itu pahlawan!” Jawabnya
“Jadi pahlawan itu boleh perempuan atau tidak?”

Bastiaan diam sesaat, tampaknya ia berpikir. Akhirnya Bastiaan berkata: “Aku bingung!” Ucapnya dengan wajah yang lucu. Aku langsung memeluknya. Sambil berkata. Pahlawan itu bisa laki-laki dan bisa perempuan. Sama seperti jagoan. Jagoan bisa laki-laki dan juga bisa perempuan. Makanya Pahlawan itu bukan Cuma Ibu Kartini tapi ada juga Tjut Nyak Dien. Dan yang laki-laki ada Pangeran Diponegoro,
“Pangeran?”
“Iya, pangeran. Namanya Pangeran Diponegoro
“Kalau Raja ada atau tidak?”
“Ada tapi dulu disebutnya Sultan. Misalnya Sultan Hasanudin dari Makassar!”
“Pahlawan kita banyak?”
“Banyak, karena Negara kita besar”.
“Aku bisa jadi pahlawan tidak?”
“Bisa kalau kakak selalu berbuat baik dan membela yang lemah. Misalnya jagain Van. Bukan malah gangguin.”.
“Kalau aku jagain Van, aku pahlawan?”
“Ya, pahlawan Mama dan Papa!” Ucapku sambil mencium kepalanya.

Tidak mudah menjelaskan suatu konsep yang abstrak untuk anak-anak seusia anakku. Tapi aku selalu mencoba dan terus mencoba. Aku tidak ingin memaksaan suatu pemahaman, aku ingin anakku memahami hidup sebagimana adanya. .(Icha Koraag 18 April 2005).



Note: Aku menyiapkan pakaian daerah untuk Kartinian, Bas!

Wednesday, September 13, 2006

Itukan dosa ya, ma ?



Kalimat di atas adalah kalimat yang akhir-akhir ini sering banget diucapkan si Suredut. Aku bingung menjawabnya. 

Dulu jaman aku masih siaran dengan Mba Sinto dan Mba Nuki (Psikolog perkembangan anak, Dra Sinto adelar M.Sc dan Surastuti Nurdadi M.Si) gampang konsultasinya. 

Masalahnya bagaimana aku tahu, apa yang dimaksud dosa sama Suredut?

 Ketika aku pulang kerja, Suredut bercerita, kalau siang tadi, ia ditendang kakinya sama Vito teman mainnya yang umurnya 2 tahun.
 " Itukan dosa ya, ma?" 
"Itu nakal" kataku meralat. 

Bagiku lebih mudah menjelaskan konsep nakal daripada konsep dosa. Eh si Suredut jawab: " Ih mama gak ngerti sih. itu dosa!" ujarnya lagi. Aku mencoba memahaminya. Kupeluk lalu ku duduki Suredut di pangkuanku. 

"Dosa itu apa sih, dut?" tanyaku sambil mencium ubun-ubunnya. Spontan Suredut mendongak dan langsung menatap mataku " Dosa itu ya dosa. Pokoknya itu dosa!" Dan ia meluncur dari pangkuanku meninggalkan aku yang masih dipenuhi dengan tanya dalam hati, "Kira-kira apa yang dimaksud Suredut dengan dosa?" 

Eh Suredut cuma nama panggilan loh. Nama lengkapnya Vanessa Elleanoor Monoarfa.

Menurutku dosa adalah istilah absurd yang tidak sepantasnya digunakan pada anak-anak balita. Menjelaskan konsep nakal masih jauh lebih mudah. Bukan aku tidak mengaitkan dengan pendidikan moral atau agama, tapi rasanya masih terlalu pagi bagi anak balita untuk mengenal konsep dosa.

Seberapa kemampuan anak balita dalam mengenal kosa kata? tentu baru sedikit dan yang baru sedikit itu, aku tak mau memperkenalkan konsep dosa. Biarlah diusainya yang masih balita, Suredut mengenal lebih banyak konsep postif dan bahagia.

Tuesday, September 12, 2006

Salam untuk Ibu Guru Mama



Ini adalah masalah yang hampir tiap kali terjadi jika aku harus meninggalkan rumah. Mood Vanessa tidak bisa di tebak. Kadang melepaskanku berangkat kerja dengan lambaian tangan dan senyum ceria. 

Kadangkala dengan rengekkan yang memilukan. Hari ini hari Selasa, itu artinya Van tidak ke sekolah. Karena Van sekolahnya hanya 3 kali seminggu, Senin, Rabu dan Jumat. Maklum Van baru 3 tahun dan masih di Kelompok Bermain

Jadi ketika Van bangun tidur, hal pertama yang kulakukan adalah memeluk dan menciumnya. Lalu mulai bersenandung dengan menghafal nama-nama hari.
”Senin, Selasa,
Rabu, Kamis,
Jumat, Sabtu, Minggu
Itu nama-nama hari.

Vanes sekolah
Senin, Rabu
Juga hari Jumat
Tidak lupa berenang.

Setiap hari Jumat, Vanessa ada kegiatan olahraga berenang dan Bastiaan Tae won Do. Jadi setiap Jumat, kami selalu mengharuskan sarapan dengan makanan padat seperti nasi goreng dan telur atau roti isi telur, agar bisa memenuhi kebutuhan energi anak-anak sampai siang.

”Ini hari apa mama?” Tanya Van sambil memilin-milin ujung rambutku
”Selasa” Jawabku
”Aku sekolah?”
”Tidak dong, Van libur!” Jawabku
” Mama?”
”Mama kerja” Jawabku. Maka mulailah rengekannya.
”Mama tidak usah kerja”. Ujar Van dengan suara yang mulai mau menangis.
”Ok. Mama mau tanya dulu, mengapa mama tidak boleh kerja?” tanyaku.
”Aku mau sama mama”. Jawab Van smbil menyembunyikan wajahnya di dadaku
”Loh, sekarang Van kan sama mama”. Ujarku sambil mendekap dan mencium ubun-ubunnya.
”Tapi mama jangan kerja”. Kata Van lagi
”Ya tidak begitu dong, Van. Mama kan harus kerja.
Sekarang dengar mama. Waktu sekolah, Van harus seolah karena kalau tidak masuk maka Ibu guru Sari dan Ibu guru Indri akan tanya, kemana Van, kok tidak sekolah?
Begitu juga mama, kalau mama tidak kerja nanti ibu guru mama, Ibu Yanti juga akan tanya kemana mama, kok tidak kerja? Nanti mama bisa kena marah. Terus mama tidak dapat uang, kita tidak bisa beli susu dan tidak bisa main di Funcity.” Aku diam sejenak dn memperhatikan reaksi Vanessa. Dalam hati aku berpikir, Mungkin Vanessa tidak mengerti dengan apa yang aku ucapkan. Tapi aku harus mengatakan apa adanya.

:”Kalau di Funcity, aku boleh naik mobil balap?” tanya Van antusias.
”Tentu boleh tapi harus hati-hati”. Ujarku dengan wajah serius. Wajah Van terlihat lebih ceria.
”Kakak Bas ikut?” tanyanya lagi. Inilah yang kusuka dari Bas dan Van. Mereka akan saling berbagi. Walau dalam kesempatan tertentu mereka juga bertengkar.
”Ikut dong, anak mama kan dua. Kakak Bas dan Vanes!” Jawabku
”Kakak Vanes!” Van meralata ucapanku
”Oh ya kakak Bas dan kakak Vanes”. Ulangku cepat. Lalu aku melanjutkan lagi: ”Jadi sekarang kita mandi, terus kakak Vanes makan sama mba, mama kerja, papa kerja sore nanti kita sama-sama lagi. Ok?” tanyaku sambil memandang bulat matanya. Van mengangguk lalu aku menggendongnya dan membawa ke kamar mandi.

Jujur, kadang aku jengkel juga kalau mood si Vanessa tidak bagus. Ia akan menjerit-jerit dengan suara tangis yang menyayat, seakan habis disakiti sambil mengatakan:
”Mama jangan kerja.....mama jangan kerja...aku mau sama mama!” Mulanya aku sangat terguncang melihat reaksi Van, rasa curiga langsung memenuhi pikiranku. ”Jangan-jangan mba di rumah kerap menyakiti Van.”

Aku larut dalam kesedihan Van. Kutimang, kupeluk dan kunyanyikan lagu yang menghibur hatinya. Berulang kali Frisch mengingatkan waktu. Aku tidak peduli, aku tidak mau Van diliputi rasa takut. Hampir satu jam aku mengalihkan perhatianya sampai Van sudah bermain dengan kawannya lalu aku ringan melangkah pergi.

Tangisan anak-anakku adalah pemberat langkah kaki ini. Karenanya aku selalu membuat suasana ceria agar mereka melepaskakanku dengan sukacita. Lama-kelamaan, aku mengenali ini hanya manjanya si Vanessa saja. Mulai dari bertutur halus sampai membentak pernah aku lakukan. Tidak merubah pola Vanessa dalam mencegahku pergi.

Akhirnya kutemui juga cara menaklukan Vanessa yaitu dengan bertutur halus dan bercerita. Mengalihkan pemikiran Van pada hal-hal yang disukai. Aku sadar, memang segala sesuatu memerlukan proses. Ketika anakku baru Bastiaan, aku juga mengalami hal yang sama. Mulai dari pergi sembunyi-sembunyi saat Bas tidak melihat sampai harus kutulikan telinga agar tak dengar suara tangisnya. Tapi Bas berbeda dengan Vanes. Dan memang walau mereka terlahir dari rahimku, keduanya mempunyai sifat yang berbeda. Aku harus menerima dan menghargai perbedaan itu.

Ini memang salah satu problema ibu bekerja. Tapi aku tidak mau menjadikan kendala dalam berkarir. Aku percaya, dengan proses waktu, anak-anakku akan mengerti. Mengapa mamanya mempunyai rutinitas bekerja. Aku sangat yakin kelak mereka paham apa yang dilakukan mamanya demi kebaikan mereka.

Setelai usai mandi dan rapi berpakaian, Van sudah bermain diteras. Kali ini Van melambaikan tangan dan teriakannya yang garing ”Salam buat ibu guru mama ya!” mengiringi keberangkatanku.
Anakku, engkau selalu ada dalam tarikan nafasku. Terima kasih Tuhan, engkau menjadikan aku, ibu dan istri yang berbahagia! (Icha Koraag. 12 September 2006)

Monday, September 11, 2006

Pinsil dan Remote tv



Aku baru usai mandi ketika kulihat suamiku duduk di tepi tempat tidur sedang menginterogasi Bastiaan dan Vanessa. Wajahnya serius, begitu juga wajah kedua anakku. Aku mendekati mereka, sungguh aku ingin tertawa ngakak. Tapi waktunya tidak pas. Dengan menahan tawa dan rasa geli aku duduk di samping suami.

”Ada apa ini?” tanyaku. Bas dan Van langsung tersenyum. Keduanya memang mempunyai wajah jenaka. Tapi aku berusaha menjaga wibawa papanya, terpaksalah senyumnya di tahan dulu. Senyumpun langsung hilang dari wajah Bas dan Van.

”Ada apa Bas?” tanyaku perlahan.
“Aku tidak tidur siang, mama”. Jawab Bas
”Mengapa?”
“Aku main Play Station” Jawab Bas
“Ini hari apa?” tanyaku lagi
“Senin!”
“Besok hari apa?”
”Selasa”
”Kamu sekolah atau tidak?”
”Sekolah”
”Sudah belajar atau belum?”
”Belum”
”Kalau kamu seharian main play station lalu tidak tidur, kapan belajarnya?”
”Sekarang”.
”Kamu sudah makan?”
”Sudah”.
”Sekarang ambil, tasmu, keluarkan agenda!” Perintahku Bas bergegas ke meja belajar sedangan Van masih berdiri.
”Dan kamu Vanessa, tidur siang atau tidak?” tanyaku
”Tidur!” Jawabnya dengan melirik papanya
”Sudah makan apa belum?” tanyaku lagi
”Sudah” Kali ini Vanessa menatapku
”Jadi sekarang mau apa?” tanyaku lagi
”Mau main, tapi papa tu, gangguin aja!: kali ini Vanessa agak bersungut-sungut. Bibirnya maju dan matanya dikecilkan, melirik ke arah papanya. Yang dilirik, kulihat membelalakkan matanya.
”Papa gangguin kamu?” tanya Frisch. Kali ini Vanessa memperagakan kekesalannya.
“Iya sih. Tanganku di tarik-tarik, begini ni” Ujar Vanessa sambil memegang tangannya sendiri.
“Habis kamu bawa lari remote tvnya, papa kan perlu” Ujar Frisch.
“Tidak ada!’ kali ini Vanessa tertawa lalu berlari sambil membawa tas kresek yang pastinya berisi remote tv.

Aku dan Frisch bertukar pandang lalu tertawa. Bastiaan masuk dengan membawa tas sekolah dan buku agenda sekolah.
”Baca isi agendamu” perintah Frisch.
“Satu, pakai baju olah raga, dua bawa buku Arif edisis September, tiga, bawa buku sesuai jadual”. Baca Bas kuat-kuat.
“Sekarang baca, mata pelajaran untuk besok” Lanjut Frisch lagi.
”PPKN, Olahraga, PLKJ, Bahas Indonesia” Baca Bas lagi.
“Sekarang kamu masukan buku cetak dan buku tulisnya, lalu kembali ke sini” perintah Frisch lagi.

Ketika Bas sudah kembali ke meja belajar, kembali Frisch berujar.
“Sungguh tidak mudah menjadi orang tua”
“Mengapa?” tanyaku
“Rasa lelah seharian belum lagi berkurang, sudah harus berurusan dengan pelajaran anak”.
”Tugas ortu tidak kayak tugas kantor. Nine to five that’s all and clear. Jadi ortu 24 jam!” kataku santai
“Iya tapi lama-lama bisa stress juga loh”
“Ya enggak lah. wong yang jadi ortukan bukan cuma kita” Jawabku sambil tersenyum. Ku lanjutan lagi. “Ortu kita sukses loh, anaknya lebih banyak dan mampu menemani anak-anak bahkan mengantarkan sampai berumah tangga. Kita ini, anak cuma dua. Jadi easy going aja. biarkan semua mengalir seperti air. Sekarang memang kita berada pada masa menabur benih dan merawat. Nantikan ada masa menuai. La.....”kalimatku belum berhenti ketika pintu kamar terbuka lalu muncul Van yang berlari di kejar Bas.

Van langsung melompat ke tempat tidur dan sembunyi dibelakangku. Frisch langsung menangkap Bastiaan. Bastiaan dengan wajah kusut berkata: ”Aduh papa, si Vanessa bandel banget. pinsilku di ambil” lapor Bas, masih dengan ekspresi kesal.

Van dipunggungku menyembunyikan wajah dan badannya. ”Ayo Van, kembalikan. Kakak itu mau belajar” kataku seraya duduk sehingga Vanessa terlihat jelas.vanessa bukannya duduk, ia malah menarik bantal dan menutup wajahnya.

’Bas ayo kita cari anak bandel!” Ajak Frisch dan melepaskan Bas dari pelukannya. Aku hanya bisa menyingkir karena selanjutnya sudah tahu. Perang bantal akan di mulai. Jerit dan tawa silih berganti, sampai kulihat ketiganya duduk kelelahan dengan wajah tertawa-tawa.

”Cukup, waktunya belajar!” Ujarku tenang.
”Tapi pensilku ma?” tanya Bas
”Makanya beli dong”. Jawabku sambil mengedipkan mata ke Frisch. Ini bahasa mungkin hanya kami berdua yang paham. Frisch kembali merangkul Bastiaan dan berkata: ”Yuk kita beli pensil” ajak Frisch
”Di mana?” tanya Bas
”Di tukang jual pensil dong” jawab Frisch.
“Pa, mama ikut ya. Mama juga mau beli remote tv” ujarku santai.
“Aku jual pensil dan remote tv, mau beli?” terdengar suara Vanessa. Kontan, Aku, Frisch dan Bas tertawa ngakak. Van pun ikut tertawa.
”Jadi ini penjualnya?” tanya Bas di sela-sela tawanya.
’Iya” jawab Van masih dengan tertawa.
”Berapa harganya?” tanya Frisch
”Dua ribu” jawab Van.
”Mahal amat, seribu aja yah?” tawar Frisch lalu Frisch mengulurkan tangannya seolah-olah memberikan uang dan Vanessa mengambil lalu menyerahkan pensil.
”Kembalinya dong!’ Tawar Frisch. Kali ini Van yang mengulurkan tangan setelah merogoh ke dalam tas kreseknya. Frisch langsung mengambil pensil dan mengajak Bas ke luar.
”Mama, beli remote?” tanya Van yang datang mendekatiku.
”Berapa harganya?”
”Dua ribu” jawab Van.
”Ok, mama bayar tapi sekarang cium mama dulu!” Ujarku sambil membentangkan kedua tangan. Vanessa datang masuk dalam pelukanku. Dan akhirnya persoalan pensil dan remote selesai, aku dapat ciuman lama dari Van. Ah hari yang menyenangkan! (Icha Koraag, 12 September 2006)

Sunday, September 10, 2006

PAGI HARI BERSAMA BAS



Hai, jagoan.
Setiap pagi, ritual selalu sama. Pukul 05.00 bangun mempersiapkan air mandi anak-anak dan sarapan buat semua. 15 menit kemudian, membangunkan  kamu, Bastiaan. Aku tahu buka mata jam 5.15 buat anak seumur kamu bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi aku sangat suka cara Papa,  membangunkanmu.

Papa akan mencium-cium sampai Bas merangkul wajah Papa lalu, Papa akan berkata “ Ayo, bangun jagoan. Kita mandi dan pergi ke sekolah!” Biasanya kamu akan menjawab “Aku masih mengantuk Papa”. Papa kembali akan membalas: ”Papa juga tapi Papa sudah bangun, masa Papa harus memandikan anak tetangga?” Biasanya Bas akan tertawa walau ku tahu matanya belum terbuka.

Lalu Papa akan menggendong sambil menggerutu : ”Waduh beratnya jagoanku, makan apa tadi malam?” Bas, kamu sambil tertawa berkata: ”Salahnya Papa, kalau kasih makan aku banyak-banyak!” Dan tak lama kalian berdua  sudah di kamar mandi. Kalau Mama terlampau larut malam tidurnya, maka ritual tadi  Mama dengar dan  Mama lihat saat Mama masih terbaring. Kalau tidak, pasti  Mama dengar saat Mama menyiapkan seragam kamu, Bas!

Bila Mama masih bergolek karena ngantuk, biasanya  Mama akan melompat turun saat peluit ceret air berbunyi. Mama harus segera menyiapkan segelas susu hangat buat kamu. Ya, susu itu seperti bahan bakar yang menggerakkanmu.  Ketika kamu, sudah rapi dengan seragam dan duduk sambil menikmati segelas susu hangat biasanya Mama akan memelukmu, karena kamu masih kedinginan, Nak.

Dan seperti orang bodoh, Mama  segera memelukmu  sambil bertanya” Apakah ini anak Mama?” Pertanyaan tolol tapi selalu Mama tanyakan dan Mama percaya setiap orang tua pasti pernah bertanya seperti itu.

Biasanya kamu menjawab sambil merangkul leherku: ”Ya, aku anak Mama!”. Lalu kulanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipelajari semalam. Cara ini agak lumayan untuk merefresh pelajaran kamu.

 Tanya jawab itu masih terus berlangsung sambil Mama selesai memakaikan kaos kaki dan sepatu. Mama tahu, seharusnya kamu sudah bisa mengenakan kaos kaki dan sepatu sendiri. Dan memang Bas sudah bisa, tapi Mama masih ingin melakukannya untukmu, Nak. Mungkin ini bentuk permintaan maaf ku karena hanya bisa 4-5 jam dalam sehari bersammu.
”Nanti siang, aku makan apa?” tanyamu.
”Maunya makan apa?” Balas Mama bertanya
”Mie goreng?”
”Tunggu....” aku menyentuh keningku dengan ujung jari sambil berpikir. Kamu menatapku dan menanti. Lalu aku tersenyum dan berata : ” Ok. Mie goreng dengan telur tapi nanti malam makan nasi dengan sayur!”  Kamu tersenyum lalu memelukku. Ah, Bas. Mama sangat mencintaimu.
”Apakah boleh es krim?” tanyamu lagi.
”Kalau sudah tidak batuk, tentu boleh!” jawabku. Mama memang menyediakan es krim ukuran 1 liter. Dan itu masuk dalam menu makan sehari-hari jika kamu dan Van tidak batuk atau pilek. Hal ini  Mama lakukan karena Mama tidak membiasakan anak-anak Mama jajan.

Jagoan,
Kamu tahu, pa yang dikonsumsi anak-anak Mama setiap hari Mama yang menentukan. Mama tidak melarang kamu dan adik  mengkonsumsi mie instan tapi Mama mengaturnya agar tidak berlebihan. Karena kedua anak Mama  masih berada dalam usia pertumbuhan karenanya apa yang kalian konsumsi masih menjadi perhatian Mama. Sebagai orang tua selain sebagai kewajiban, pengaturan makan kalian juga bentuk tanggung jawab Mama untuk pertumbuhan kamu dan adik.

Ok, Jagoan
Lain waktu Mama akan menulis lagi.
Penuh Cinta untukmu, sumber semangat hidup Mama.