Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Sunday, July 01, 2007

VANESSA KE DOKTER GIGI!

Minggu lalu aku membawa Vanessa ke dokter gigi. Kegemarannya makan permen dan coklat serta minum susu pada waktu tidur menyebabkan gigi Van rusak. Seharian dibuatnya aku tak bisa melakukan apa-apa karena obat yang kuberikan tak meringankan sakitnya. Setiap kali kutanya, "Apa yang sakit cantik?". Dengan setengah merengek Van menunjukan pipi kanannya sambil membuka mulut.

Aku memang melihat dua gigi graham bawah yang berlubang. Ku sentuh perlahan, Van makin mengaduh. "Sakitnya seperti apa?" tanya papanya. "Sakitnya pindah-pindah!' keluh Van sambil meringis. Aku menduga pasti sakitnya sangat menggigit dan cenut-cenut. Aku memberikan obat pereda rasa nyeri tapi tidak membantu.

Dengan manjanya Van mengatakan, "Kalau sakit bergini, enaknya digendong!" Aku tergelak-gelak dan ku katakan "Tidak ada kaitannya kaki dengan gigi". Soalnya berat badan Van suah cukup lumayan dan aku tak mampu lagi menggendongnya.

Jadi ku bujuk untuk berpelukan saja. Kami berbaring di tempat tidur dan berpelukan. Aku mengusap-ngusap punggungnya dan membisikan cerita-cerita, agar Van terlupa dengan sakitnya. Sesekali papanya menggoda dan membuatnya tertawa. Aku dan papanya membujuk dan mengatakan akan membawanya ke dokter gigi untuk disembuhkan. Untunglah Van anak yang berani jadi ia menyetujui ajakan ke dokter gigi. Akhirnya dengan masih tersedu-sedu Van tertidur.

Bertiga kami ke RS sakit. Jadual dokter gigi untuk anak-anak ada pada hari Sabtu. Sejak kemarin Bas menginap di rumah adik papanya. Jadi aku dan pasangan leluasa membawa Van ke dokter gigi.

Ini adalah kali pertama Van berkunjung ke dokter gigi. Aku agak khawatir karena menurut dugaanku, Van tidak takut karena Van tidak tahu akan di apakan saat di dokter gigi. Kami sempat menunggu karena pasien cukup banyak. Ketika nama Vanessa di panggil, Van dengan sigap menggandengkku masuk. Papanya menjauh karena memang takut dengan peralatan kedokteran khususnya dokter gigi.

Van dengan penuh rasa ingin tahu langsung naik ke kursi dan memperhatikan dengan serius peralatan kedokteran gigi di sekitarnya. Kursi besar berlengan dan diatasnya ada semacam lengan besi yang berisi peralatan serta lampu. Di sisi kiri Van ada gelas berisi air dan wadah untuk membuang air sisa kumur-kumur.

Melihat keberanian Van, aku jadi teringat beberapa tahun lalu ketika membawa kakaknya, Bas ke dokter gigi. Keberanian keduanya tak jauh berbeda. Aku tak menemukan kesulitan apa-apa membawa kedua anakku ke dokter gigi. Bahkan dokter gigi Bas dulu, seorang ibu yang mempunyai 3 anak semuanya perempuan. Jadi bu dokternya sangat menyukai Bas. Kebetulan bu dokter sudah pernah bertemu dengan Bas beberapa kali saat menemani sepupunya ke dokter yang sama.

Dari dua dokter gigi yang berbeda, aku menemukan kesamaan. Kedua dokter yang kebetulan dua-duanya perempuan, sangat ramah dan telaten saat menghadapi pasien anak-anak. Dokter gigi Bas bahkan memberikan Bas kacamata untuk dikenakan agar tak silau ketika lampu dinyalakan. Aku tersenyum geli karena Bas bergaya ala model, dengan tangan diletakkan dipinggang walau mulutnya membuka saat lampu dinyalakan.

Sedangkan Vanessa lain lagi. Van menceritakan sendiri apa yang dirasakan dan minta bu dokter menghilangkan sakitnya. Bahkan Van menambahkan tadi malam sudah berdoa minta Tuhan sembuhkan tapi belum sembuhnya. Bu dokter tersenyum dan menjawab dengan bahasa yang mudah dipahami Van.

Aku terbiasa bernyanyi saat menggosokkan gigi kedua anakku. Jadi suka kusenandungkan kuman-kuman yang gendut dan berwarna-warni itu harus pergi dari gigi. Saat Van mengatakan yang gendut warna orens dan hijau tak mau pergi, bu dokter agak bingung. Dengan cepat ku jelaskan. Bu dokter tertawa geli.

Saat pemeriksaan dilakukan, ditemukan beberapa gigi berlubang yang harus di tambal. Bersamaan alat bor bekerja pada gigi Van, papanya masuk. Papanya langsung keluar karena merasa linu dan ngeri. Aku sempat was-was takut Van akan berontak. Benar saja wajah Van berubah dan terdengar keluhan Van.

Bu dokter mengatakan kalau merasa sakit jangan bergerak tapi angkat tangan. Van bagaikan orang ditodong langsung mengangkat kedua tangannya ke atas. Bu dokter menghentikan dan membiarkan Van berkumur-kumur. lalu Bu dokter kembali bertanya, apakah bisa dilanjutkan? Van mengangguk dan meletakkan kembali kepalanya pada sandaran kursi.

Pada proses pengobatannya kembali Van merasa sakit. Akhirnya dari 3 gigi yang harus ditambal tapi baru dua, Van sudah minta dihentikan. Aku mengiyakan dan berjanji pada dokter untuk kembali secepatnya. Yang penting dua gigi yang menyebabkan Van merasa sakit sudah diatasi.

Bu dokter berpesan, agar sesudah minum susu harus kumur-kumur dengan air putih. Berhenti makan permen atau coklat sampai giginya sembuh dan kalau sudah sembuh makan permen atau coklat tidak boleh banyak-banyak serta harus tetap rajin menggosok gigi sesudah makan dan sebelum tidur.

Van memang baru berusia 4 tahun tapi ia menerima nasehat dokter dengan senang dan hal itu diterapkannya di rumah. Dengan kesadarannya sendiri Van tidak meminta permen atau coklat. Sesudah makan ia mengajakku gosok gigi dan sesudah minum susu walau tangeh malam, Van mau bangun untuk berkumur-kumur dengan iar putih.

Kini gigi Van sudah sembuh dan cerianya sudah kembali. Rumahku kembali ramai dengan suara centilnya. Vanessaku yang lucu memang sangat gemar bernyanyi. Suara yang riang selalu menjadi pendorong semangat hidupku. Walau kalau sedang rewel atau nakal aku kesal juga dibuatnya. Tapi terlepas dari semua itu ke dokter gigi bersama Van menjadi pengalaman yang menyenangkan. Anakku sudah mampu menyampaikan apa yang di rasakannya. Langkah awal bagiku untuk meneruskan keberaniannya mengeluarkan pendapatnya. (Icha Koraag,30 Juni 2007)

Tuesday, May 01, 2007

PUISI PERTAMA BAS & TROPHY PERTAMA VAN

Orang tua mana yang tak kan bangga menerima karya pertama dan piala pertama anaknya. Perasaan bahagia itulah yang kini tengah melingkupi aku dan suamiku, terutama aku. Aku ibunya! Soalnya aku tak bisa mengatas namakan perasaan suamiku. Walau aku yakin, suamiku juga sama bangga dan gembiranya seperti aku.

Minggu lalu Van menunjukkan piala pertamanya atas prestasi juara II lomba matematika dan Bas menunjukkan karya pertamanya berupa sebuah puisi. Sebelumnya Bas kerap pulang sekolah dengaa membawa gambar-gambar karyanya. Aku senang. Tapi karya puisinya menimbulkan perasaan yang berbeda padaku. Pokoknya perasaanku campur aduk, agak sulit menggambarkannya.

Aku tengah memasak ketika kedua anakku pulang sekolah. Bas berteriak memanggilku demikian juga Van dengan suara gembira. Tergesa-gesa aku meninggalkan dapur dan menyongsong keduanya.. Van masih sibuk melepas sepatu karena kedua tangannya memegang sebuah trophy.

“Halo, ada apa ini?” tanyaku sambil berlutut membantu melepas sepatu Van.
“Van dapat piala” ujar Bas sambil memelukku dari belakang.
“Iya, ini piala nya” Ujar Van sambil mengacungkan piala ke wajahku.
“Wow, piala apa itu?”
“Aku juara I love math “ujar Van
“Hebat kan ma?’ Tanya Bas
“Oh yah, itu hebat. Wah anak mama hebat betul!”ujarku lalu memluk dan mencium Van, kemudian memperlakukan sama pada Bas.
“Siapa yang kasih Van?” tanyaku lagi
“Ibu Sari, terus aku di cium” Jawab Van
“Siapa lagi yang dapat piala?” tanyaku
“Justin, dia nomor satu!” jawab Van.
“Coba mama lihat” pintaku.

Kemudian Van memberikan trophy itu. Ada perasaan yang menggedor-gedor dadaku. Ini prestasi pertama Van. Jujur, aku tak mentargetkan mereka harus menjadi juara, aku hanya memotivasi dan mendorong kedua anakku untuk menjadi yang terbaik. Kalau hasil akhirnya sebuah penghargaan itu kuanggap sebagai nilai lebih.

Sebenarnya beberapa hari sebelumnya, aku sudah mendengar informasi dari sekolah mengenai lomba ini. Waktu itu suamiku mengatakan, Van pasti juara. Tapi aku tak terlalu menggubris keyakinan suamiku. Aku cuma tahu, Van memang sudah mengenal angka, warna dan bentuk dengan baik. Tapi aku tak tahu matematika untuk “play group” seperti apa. Namun demikian, prestasi Van tetap saja sebuah kejutan manis buatku.

Tanpa setahuku, Bas memperhatikan sikapku terhadap Van. Lalu ia mendekatiku.
“Aku juga punya piala kan ma?” tanyanya. Aku tersentak dan langsung memeluk Bas. Tak ada sedikitpun keinginan memberikan perlakukan yang berbeda pada kedua anakku.
“Yah, bahkan Bas punya dua piala” kataku. Keduanya diperoleh Bas ketika masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Salah satunya sebagai juara II lomba Paduan Suara antar TK th 2005.
“Ma, aku buat puisi untuk mama loh!” tiba-tiba Bas mengejutkanku dengan pernyataannya.

Jujur, pernyataan ini lebih mengaduk-aduk perasaanku. Karena aku adalah orang yang gemar merangkai kata dan tak pernah membayangkan ada diantara anakku yang mengikuti jejakku. Terlalu pagi memang, menganggap Bas mewarisi minatku dalam merangkai kata. Namun berharap tentu tak ada salahnya.

“Maksud Bas?” tanyaku dengan penasaran
“Aku buat puisi untuk mama!” Ujarnya lagi.
“Mana?” tanyaku
“Masih di ibu guru, nanti kalau dikembalikan aku kasih lihat mama!” ujarnya dengan mata berbinar.

Rasanya aku ingin berteriak kegirangan tapi hanya air mata yang nyaris tumpah karena rasa haru. Suamiku tahu perasaanku, ia menggodaku sambil berkata berkata “Senang tuh, anaknya bikin puisi!”
“Oh jelas. Jelas mama senang banget!” kataku dengan tegas sambil tertawa. Aku tak perlu menyembunyikan rasa bahagia dan bangga itu.

Saat itu juga juga puji syukur dan terima kasih kunaikkan dalam doa kepada Dia yang memberikan kebahagiaan ini. Tuhan maha baik! Sungguh membahagiakan! Ingin rasanya kebahagiaan ini kuteriakan kepada dunia. Ini anak-anakku. Aku bangga dan sangat mencintai mereka.

Beberapa hari kemudian, saat pulang sekolah, Bas membawa puisi karyanya. Di tulis tangan di atas selembar karton biru dihiasi berbagai ornamen buatan tangan. Aku tak ingin menangis tapi rasa haru itu membuat anak sungai di mataku mengalir tak terasa, inilah karya Bas.

PUISI UNTUK MAMA

Kau sungguh cantik kau selalu menemaniku
Aku selalu menyayangimu
Adikku juga menyayangimu

Mamaku kau menyayangiku
Teman-temanku menyayangimu
Kau kembali dengan cepat
Kau selalu mengajakku jalan-jalan

Frisch Bastiaan Calvarie Monoarfa
Kelas I B
SD Lemuel II

Ketika kutuliskan puisi ini dan mengetik namanya dengan nama kesehariannya Bastiaan, Bas meralatnya dan menuliskan lengkap seperti yang tertera di atas. Ku biarkan Bas melakukan hal itu karena aku percaya itu juga menunjukkan kebanggaan Bas atas nama yang orang tuanya berikan.

Oh yah, kalimat pertama dalam puisi Bas, kupikir adalah ungkapan biasa yang dinyatakan setiap anak, begitu juga kalimat-kalimat selanjutnya. Namun pada kalimat “Kau selalu pulang cepat!” cukup menyesakkan dadaku. Pernyataan itu menunjukkan komitmenku untuk berusaha cepat pulang setelah bertugas di luar kota. Kalimat itu membuat aku tahu, Bas meyakini janjiku karena aku menepatinya.

Itulah yang membuat mengapa puisi itu sangat mengaduk-aduk perasaanku. Aku tahu, aku menuntut Bas menjadi “dewasa” melebihi usianya. Bila aku akan bertugas keluar kota, serangkaian pesan dan harapan selalu ku sampaikan padanya. Kadang ada perasaan bersalah yang sedikit mengusik hati ini. Tapi aku mencoba tegar dan meyakini, apa yang kulakukan adalah demi memberikan yang terbaik bagi kedua anakku.

Membaca puisi Bas, aku tahu harapanku terkabul. Aku tahu Bas memahami mengapa aku harus sering-sering pergi meninggalkannya. Keterbukaanku pada Bas adalah bagian dalam menjadikan Bas memahami tugasku sebagai orang tua dan tugas Bas sebagai anak.

Perjalananku sebagai orang tua masih panjang. Kadang aku meragukan kemampuanku dalam mendampingi kedua anakku. Mampukah aku? Sebagai manusia biasa sungguh aku memiliki kemampuan yang terbatas tapi aku percaya dengan mengandalkan kuasa dan kekuatanNya, aku takkan gagal. Kalaupun aku gagal, aku tahu Tuhan punya rencana lain untuk hidupku, hidup kedua anakku juga hidup keluargaku.

Lagi-lagi hanya berpasrah dan bersyukur yang menjadi kekuatanku dalam membimbing dan membesarkan kedua anakku. Semoga hari-hari mendatang mereka akan terus mengukir prestasi yang bermanfaat bagi banyak orang di dalam mengisi kehidupan. Karena bagiku jauh lebih berarti menjadi orang yang berharga bagi kepentingan banyak orang ketimbang berprestasi bagi diri sendiri.

Bas, Van, mama bangga pada kalian.!

Jakarta, 30 April 2007

Wednesday, February 28, 2007

UNGKAPKAN RASA KESAL!

Kepalaku nyaris sakit karena laporan Bas dan Van secara bergantian mengenai kelakuan mereka. Artinya Bas akan melaporkan atau mengadukan prilaku Van dan sebaliknya Van pun akan mengadukan prilaku Bas. Padahal bukan sekali dua kali aku menekankan bahwa mama paling tidak suka dengan anak pengaduan.

Maksudku, aku tak ingin kedua anakku selalu mencari penyelesaian lewat orang ketiga walau orang ketiga itu adalah aku, mamanya. Karena aku menginginkan mereka bel;ajar menyelesaikan persoalan yang mereka timbulkan sendiri. Aku ingin mereka mengambil inisiatif dan menerapkan aturan yang timbul dalam permainan yang sedang mereka mainkan.

Dan inilah hari-hari yang kulalui dengan kedua anakku Bas dan Van. Pada keduanya aku lebih banyak menerapkan aturan umum. Misalnya, bagaimana bersikap yang baik walau hati sedang kesal. Bas sempat memprotesku .

“Itu namanya berdusta dong kalau lagi kesal tapi pura-pura tidak kesal.!” Ujar Bas
“Bukan berdusta, kita tidak perlu menunjukkan kekesalan kita, dengan menghindar, misalnya!” jawabku
“Darimana orang lain tahu kalau kita sedang kesal?” tanya Bas lagi
“Apa perlu orang lain tahu kalau Bas sedang kesal?” ujarku balik bertanya
“Yah tidak perlu sih!” jawabnya
“Nah, gampangkan!” ujarku
“Kalau kita kesal dengan orang itu?” Tanya Bas penasaran
“Kesal dengan orang itu atau karena perbuatannya?”
“Perbuatannya!” jawab Bas.
“Kalau perbuatannya membuat Bas kesal, katakana saja pada orang itu. Katakan Bas tidak suka dengan perbuatannya karena apa” kataku
“Karena perbuatan itu tidak betul!” kata Bas lagi
“Misalnya?”
“Van suka main curang!”
“Bukan curang, Van belum sepandai Bas, jadi ada aturan mainan yang belum dipahami Van. Tugas Bas mengajar Van sampai mengerti, sehingga Van tidak bermain curang.” Ujarku panjang lebar
“Tapi aku suka kesal karena Van tidak mau mendengar kata-kataku!” ujar Bas
“Kalau Bas bicaranya setengah berteriak, pasti Van tidak mau dengar. Tapi kalau Bas bicara baik, pasti Van mau dengar. Kalau Van tetap tidak mau dengar, baru Bas bilang sama mama!’ jawabku
“Ya, ma!” jawab Bas
“Nah sekarang masih mau main sama Van?” tanyaku
“Iya” Jawab Bas.
“Mari sekarang peluk mama!:” ujarku sambil mengembangkan kedua tanganku. Bas masuk dalam peluikanku. “Terima kasihku Tuhan, kau percayakan Bastiaan dalam pengasuhanku!” Doaku dalam hati.

Memang bukan hal mudah bagi Bas untuk bermain dengan Van, jarak usia tiga tahun membuat kemampuan mereka tidak berimbang. Tapi aku percaya Bas mampu menjadi kakak yang baik. Cuma memang aku harus banyak berbicara dan mengajarkan Van tentang aturan main dan aturan kedisiplinan. Kadangkala Van sangat yakin ia selalu dimenangkan lantaran tahu lebih kecil dari Bas. Ada tahapan lain dimana aku merasa Van lebih matang dari usianya, tapi ada juga kemampuannya yang tetap belum berimbang dengan kemampuan Bas.

Di sela-sela aku mengetik di komputer, Bas dan Van berulang-ulang menginterupsiku untuk menanyakan King dan Queen, atau antara As dan Joker, mana yang menang. Waktu banjir yang lalu, cuaca membuatku tak mengizinkan mereka bermain sepeda di luar rumah. Sebagai gantinya aku mengajari mereka main kartu dan itu tadi hasilnya.

Bersama Bas dan Van, membuat aku semakin banyak belajar memahami tumbuh kembang mereka. Bukan semata pertumbuhan dan perkembang fisik tapi juga pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan mereka. Mudah-mudahan aku belum terlambat mengukir masa kecil yang menyenangkan untuk mereka. Aku tak berharap mereka mengenangku sebagai ibu yang baik, aku ingin mereka mengenang masa yang menyenangkan bersamaku.

Karena masa itu tak akan pernah terulang. Dan bila aku melakukan kesalahan, tidak akan pernah bisa diperbaiki. Bahkan hanya meninggalkan penyesalan. Dan sebelum itu terjadi, aku berusaha tidak terjadi agar penyesalan dikemudian hari tak pernah ada. (Icha Koraag, 20 Februari 2007)

MELIHAT MOTIVASI ANAK

Hari ini aku menjemput Van di sekolah. Jam pulang sekolah Van dan Bas berjarak sekitar satu jam, Van selesai belajar pukul 10.00 dan Bas pukul 11.00. Untuk kepraktisan aku memilih sekaligus menunggu Bas. 

Seisi kelas Van membentuk barisan dan berjalan beriringan keluar kelas. Sampai ke halaman utama sekolah. Satu persatu murid di serahkan pada yang menjemput.

Setelah menerima Van, aku menggiring Van ke kantin sekolah untuk menunggu Bas. Van dengan cerewetnya mulai melaporkan kejadian di kelas.
“Ma, buku menggambarku dirobek!” Cerita Van sambil meminum teh manis yang ku bawa dari rumah.
“Sama siapa?” tanyaku heran
“Sama Justin” Jawab Van lagi
“Loh mengapa begitu? Ibu guru bilang apa?” tanyaku terkejut
“Ya ibu guru marah. Kata ibu guru, Justin tidak boleh begitu!’ Jawab Van
“Justin di pukul?” tanyaku ingin tahu
“Tidak sih, Cuma kata ibu guru Justin harus minta maaf sama aku” jawab Van
“Memang Van bikin apa sama Justin?” tanyaku
“Aku tidak bikin apa-apa, Justin memang nakal!” Vonis Van dengan penekanan pada kata Nakal.

“Besok mama tanya sama ibu guru yah!” ujarku. Van hanya mengangguk.
Merobek buku gambar adalah masalah kecil tapi bukan itu inti permasalahannya. Perbuatan merusak barang baik milik sendiri atau milik orang lain adalah perbuatan yang tidak baik. Perbuatan inilah yang harus mendapat perhatian. Sebagai orang tua, perlu melihat apa motivasi yang dilakukan si anak.

Aku jadi ingat, satu masa Bas pernah menjadi anak yang merusak. Bas kerap memukul-mukulkan mainnanya ke lantai hingga pecah. Akhirnya aku dan Frisch hanya memberikan mainan yang terbuat dari karet atau plastik sehingga tidak bisa pecah. Bukan harga barang yang kukhawatirkan tapi kekhwatiran Bas akan terluka karena pecahan barang tersebut.

Maka aku dan Frisch melakukan observasi, untuk melihat apa yang menyebabkan Bas merusak mainannya. Ternyata mulanya, Bas asik mendengar bunyi yang di timbulkan dari mainan yang dipukul-pukul ke lantai. Ia tertawa senang tapi makin lama ia memukulnya makin tak beraturan.

Frisch berinisiatif memberikan ember plastik mainan dan sendok plastik. Lalu Frisch juga membuatkan tambur dari kaleng biscuit yang di tutup dengan plastik dan diikat dengan kuat. Untuk pemukulnya Frisch membuatnya dari sendok plastik yang ujungnya di ikatkan gumpalan kain lalu di ikat dengan karet.

Maka terciptalah satu set perkusi buatan Frisch yang masih dilengkapi dengan panci kecil untuk memanaskan susu dan kotak-kotak susu. Kami tertawa tergelak-gelak ketika alat perkusi mulai di mainkan. Dan yang membuat kami senang, Bas bukan merusak tapi ia bereksperimen dengan mainannya untuk mendapatkan bunyi-bunyian.

Lain haknya dengan Vanessa, Van tidak melewati tahapan ini. Mungkin karena dengan sendirinya saat Van bisa berinteraksi dengan oarng lain, ada Bas sebagai kakaknya sekaligus teman mainnya. Pernah juga Van merobek buku atau mencoret buku Bas tapi itu bukan karena ingin merusak, sebaliknya karena Van ingin turut belajar.

Setelah aku memberikan buku menggambar, buku mewarnai dan crayon, Van tidak lagi mengganggu Bas. Van menikmati kegiatannya sendiri.

Aku percaya bila seorang anak merusak barang milik sendiri atau barang orang lain, ada hal lain yang menyebabkannya. Karena itu aku dan suamiku selalu merasa perlu lebih dulu melihat latar belakang si anak hingga motivasinya bisa di ketahui dan pada akhirnya bisa di carikan cara mengatasinya sehingga perbuatan merusak si anak bisa di minimalkan
.
Bagiku dan suami menjadi orang tua adalah hal baru. Setiap hari ada pelajaran baru yang kami pelajari. Mulai dari memahami peran kami sebagai penasehat maupun peran kami sebagai pelindung. Informasi dari orang tua, media ataupun berbagi pengalaman dari sesama kawan yang lebih dulu menjadi orang tua merupakan tambahan ilmu yang membuka wawasan kami.

Anak ibarat kertas putih, apa yang di tuliskan di atas kertas itu yang akan terjadi pada si anak. Siapa yang berhak menuliskan catatan di kertas itu adalah anak itu sendiri artinya ajaran, didikan dan pengalaman keseharian yang diterima anak dari orang-orang dilingkungan si anak akan terekam dan tercatat dalam kertas tersebut yang akan di aplikasikan si anak dalam prilakunya kelak.

Karena itu aku percaya yang akan di sampaikan pada si anak baik itu, peringatan, ajaran, anjuran, atau contoh perlu dilakukan dengan hati-hati karena anak mempunyai tahapan dalam petumbuhan dan perkembangannya sehingga kemampuan merekam di anak dalam tiap tahapan pertumbuhan dan perkembangannya pun tidak sama.

Aku menghindari, jangan sampai anak-anakku merekam hal benar dengan kemampuan yang terbatas hingga dipahami salah karena akan berdampak kurang baik dalam aktivitas selanjutnya. (Icha Koraag, 21 Feb 2007)

Thursday, February 15, 2007

MAIN PLAY STATION

Jemari kecil anaku menari lincah di atas stick Play Stasion.
Matanya penuh konsentrasi ke pesawat televisi
Jari-jarinya memencet tombol kiri kanan dan atas bawah
Sesekali badannya ikut bergoyang.

Kalau jagoannya kalah, ia berseru kesal, Accccch, teriaknya!
Lalu ia berbalik dan memandangku
Apa? Tanyaku heran
”Mama bisa tidak?” tanyanya

”Bisa apa?” tanyaku
”Main PS?” jawabnya
”Ya, bisa dong! Jawabku lagi
”Ayo main, lawan aku?” tantangnya

Siapa takut! Seruku sambil maju dan duduk mendekat.
Satu stick lagi di aktifkan dan aku memegang satu

Di layar tivi, dua jagoan siap bertarung
Aku yang pakai baju biru, kata anakku
Itu artinya jagoanku yang memakai baju merah.
Anakku belum kenal mamanya!

Tak lama, kami berdua sudah tenggelam dalam pertarungan
Walau hanya di Play station namun cukup mengundang emosi
Beberapa kali kubiarkan aku kalah
Strategi ini perlu untuk menumbuhkan rasa percaya diri anakku

Permainan usai dengan score 5-3 untuk kemenangan Bas.
Anakku datang mendekat lalu memelukku
”Terima kasih ma, sudah ditemani” ujarnya senang
”Terima kasih juga karena mengajak mama bermain” jawabku

”Aku tahu mama mengalah” tiba-tiba ia berkata demikian
terkejut? Pasti. Aku hanya melongo.
’Jangan takut ma, aku sudah siap kalah! Ujarnya lagi sambil tertawa
Tinggal aku yang tersipu malu, anakku sudah mengerti!

ANAKKU MENJADI PEMBANGKANG!

Dalam tumbuh kembang balita, ada satu tahapan di mana balita kita akan selalu mengatakan tidak. Aku dan suamiku sempat dibuat kesal dengan situasi semacam ini. Terjadi pada saat Bas berumur sekitar tiga tahunan. Dan kini terulang lagi pada adiknya, Vanessa.

Jika aku berkata yang berkesan meminta Bas melakukan sesuatu, Bas selalu menjawab tidak mau!
”Bas, sekarang kita makan yah!” ajakku saat tiba waktunya untuk makan
”Tidak mau!” jawab Bas
” Loh mengapa tidak mau? Memang Bas tidak lapar?” tanyaku heran,
” Pokoknya tidak mau!” tegas Bas

Mulanya aku berpikir, apa makananya yang tidak disukai atau kegiatan makannya yang tidak menyenangkan Bas. Aku harus mencari strategi lain karena tidak mungkin aku memenuhi keinginan Bas untuk tidak mau makan.

Aku sempat bertukar pengalaman dengan sesama kawan yang mempunyai anak seusia Bas. Ternyata mereka menghadapi problem yang sama. Si anak bukan saja menolak makan tapi juga menolak untuk mandi. Bahkan seorang temanku sampai mengunakan kalimat terbalik untuk mengatasinya, misalnya mengajak makan maka ia akan berkata ”Adik tidak mau makan kan?” Menurut temanku, cara itu agak lumayan karena si anak tidak jadi menjawab.

Aku mencoba strategi dengan melakuan penawaran pada Bas.
”Bas, kalau Bas makan, habis makan, boleh makan ice cream!” bujukku
”Tidak mau!” jawab Bas dengan tidak menolehkan wajahnya dari pesawat tv.
”Kalau tidak makan, kan bisa sakit loh” ujarku lagi
”Aku tidak mau makan!” jawab Bas acuh.

Aku mulai jengkel. Ku matikan pesawat tv dan duduk di hadapan Bas.
”Mengapa tidak mau makan? Ini makanan kesukaan Bas” bujukku pelan walau menahan kesal. Bas tidak menjawab hanya matanya menjadi suram. Ada air mata yang akan keluar di sudut matanya. Aku bertahan untuk tidak jatuh kasihan. Walau sebetulnya perasaanku campur aduk.

Ku peluk Bas dan ku dudukkan di pangkuanku lalu aku mengajaknya berdoa makan. Dengan suara terisak-isak Bas mengikutiku. Usai berdoa ku suapkan sesendok makanan ke mulutnya. Bas tidak menolak. Maka ku nyalakan kembali pesawat televisi. Mendung diwajah Bas pun berganti cerah.

Aku mencari informasi seputar pertumbuhan dan perkembangan balita dari buku-buku dan catatan parenting yang ku miliki. Aku sempat lebih dari lima tahun menjadi host acara Pesona Buah Hati yaitu sebuah program konsultasi pertumbuhan dan perkembangan balita di radio Pesona FM dengan menghadirkan psikolog perkembangan anak.

Dan aku menemukan apa yang ku cari. Dalam catatanku tertulis ”Pada usia antara 2 sampai 4 tahun ada tahapan dimana anak akan bersikap tidak kooperatif. Masa ini dikenal dengan istilah negativistik. Dimana suatu masa balita yang mulai mengenal konsep ke”aku”an, berusaha menunjukan keberadaanya dengan bersikap negatif yaitu selalu menolak.

Aha, kini aku paham, bukan maksud anak membangkang ketika menjawab ”Tidak mau!” Tapi bagian dari proses pertumbuhan dan perkebangan si anak. Aku mencoba lebih bersabar menghadapi Bas. Karena sebenarnya walau jawaban Bas ”tidak mau”, Bas tetap melakukan. Misalnya sewaktu Bas menjawab tidak mau saat ku ajak makan, kenyataannya Bas tidak menolak saat kusuapkan makanan ke mulutnya.

Aku jadi memahami, saatnya Bas makan ia tidak menolak karena siklus tubuhnya memerlukan makan. Tapi untuk menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya, Bas akan menjawab ”tidak mau!” Itu adalah masa yang memang harus di lalui dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.

Sebagai orang tua, aku mencoba memahami dan bersikap hati-hati. Karena jika aku tidak hati-hati, pertumbuhan dan perkembangan anakpun bisa menjadi salah. Ketika anak menjawab ”tidak mau” dan kita mengikuti walau dalam situasi yang seharusnya tidak kita ikuti, kemungkinan besar anak memang akan tumbuh menjadi anak yang selalu membangkang.

Agar hal semacam itu bisa dihindari, sebagai orang tua perlu bersikap hati-hati. Saat anak masih kecil, dimana perawatan dan perhatian orang tua secara penuh sangat diperlukan, kita boleh beranggapan sebagai orang tua lebih tahu aan kebutuhan anaknya. Karena itu kita bisa bertindak dengan sesekali mengabaikan jawaban penolakan anak pada saat-saat tertentu.

Sekarang aku sedang menghadapi hal yang sama pada Van. Cuma bedanya, Van memiliki kemampuan bicara yang baik jadi selalu kami berdebat. Van dengan cerewetnya akan mengatakan banyak hal untuk mendukung penolakannya.

Misalnya: ”Loh kok makan lagi, tadikan sudah makan” padahal aku akan memberinya makan malam. Memang tadi sudah tapi tadi itu kan makan siang. Van tidak menyerah sampai di situ. Van akan melihat makan yang kusajikan di piring dan Van akan protes lagi. Jika di piring adanya ayam goreng dan sayur buncis, Van akan bilang tidak mau karena ia mau telur. Tapi jika di piring tersaji telur, ia akan bilang mau sayur bening dan wortel.

Biasanya, papanya cuma tertawa dan berkata ”Cerewetnya siapa yang di tiru?” Aku pura-pura tidak dengar. Kalau Van banyak membantah dengan kata-kata, aku mengikuti dengan kata-kta juga. Mulailah kami saling adu bicara,
”Oh Van mau telur, bilang dong. Jadikan mama belanjanya telur. Sekarang kita makan ayam goreng dulu, besok mama masak telur. Ok?” ujarku santai
”Tapi aku mau telurnya sekarang. Aku tidak mau ayam goreng!’ ujar Van sambil menutup mulut dengan tangan.

Sambil menahan kesal, aku mengusap dada dan berkata: ”Tuhanku, beri aku kesabaran seluas samudra!” Van diam dan akupun diam. Tak lama, ku mulai lagi mendekati Van.
”Van besok kita belanja yuk” ajakku
”Kemana?” tanya Van antusias
”Enaknya kemana?”
”Giant saja!” jawab Van.
”Ok. Jangan lupa ingatkan mama, untuk beli telur!” ujarku santai
”Ok” jawab Van
”Sekarang kita makan, ok?” tanyaku
”Ok!” jawab Van. Lalu melipat tangan dan berdoa: ”Tuhan berkati makananku, biar menjadi berkat dan tubuhku menjadi sehat. Terima kasih Tuhan. Amin!”
Aku tersenyum, acara makanpun berjalan mulus. 
(Icha Koraag, 17 Januari 2007)

Sunday, January 21, 2007

HIBURAN MALAM

Pemirsa televisi sangat dimanjakan dengan program-program hiburan di stasiun televisi swasta. Aku pernah mengamati, Jak TV, O Chanel, Global TV, dan Trans 7 memutar film pada pukul 19.00. Trans TV memutar film pukul 21.00 dan 23.00. Entah memang karena direncanakan (Trans 7 dan Trasn TV kini bersaudara) atau hanya kebetulan, masyarakat di manjakan 3 film berturut-turut. Mulai pukul 19.00 dan berakhir sekitar pukul 01.00.

Aku termasuk yang merasa senang. Karena aku sudah jarang sekali punya kesempatan nonton film di bioskop. Persoalannya pada pukul 19.00 adalah waktunya anak-anak belajar. Pastinya pesawat televisi tidak dinyalakan. Usai belajar dilanjutkan makan malam. Jika pada pukul 21.00 mereka belum ingin tidur (terutama kalau anak-anak tidur siangnya kelamaan) maka masih berkesempatan menonton tv kalau filmnya cocok. Kalau tidak, aku atau papanya akan menemani mereka nonton film dari DVD.

Pukul 22.00 adalah batas waktu yang aku dan suami tetapkan sebagai jam malam anak-anak untuk tidur. Bila waktunya tiba, kami mulai mengkondisikan kamar untuk tidur. Anak-anak minum susu, gosok gigi dan naik ke posisi masing-masing.

Namun semalam situasinya menjadi tak seperti biasanya, manakala anak-anak masih segar alias belum mengantuk. Van di sebelahku masih bersenandung kecil. Bas masih memainkan selimut dan boneka anak anjing. Tempat tidur kami spring bed, sehingga jika ada yang bergerak, yang lain akan merasakan goyangannya. Kami terbiasa menemani hingga mereka tertidur, baru kami pindah kamar.

Jadi aku memperingati Bas agar jangn banyak bergerak. Tiba-tiba Bas berkata.

”Tadi aku di ajari di sekolah, kalau bernyanyi sendiri di sebut...

“Yogja!” potong papanya

“Bukan!’ Jawab Bas spontan

”Habis apa dong” tanyaku

”Solo” kata Bas

”Oh mama tahu, kalau berdua pasti Bandung yah?” Ujarku sambil tersenyum

”Bukan tapi Duo, bertiga Trio” kata Bas

”Kalau berempat?” tanya papanya

”Belum di ajarkan!” jawab Bas

”Kuartet” kataku

”kuartet?” tanya Bas menegaskan

”Iya kalau berlima, Kuintet. Berenam sixtet!” kali ini aku menerangkan dengan serius.

”Kalau bertujuh?” tanya Van

”Kuntet” seru papanya yang disambung tawaku. Bas dan Van ikut tertawa.

”Berdelapan?” tanya Bas lagi

”Kampret!” jawab papanya

”Sembilan!” tanya Van

”Kejepret! Kali ini Bas yang menjawab diiringi gelak tawa aku, papanya dan Van

”Bersepuluh?” tanyaku masih dengan tertawa.

”Pret-pret-pret!” Jawab Van, yang membuat aku dan papanya juga Bas semakin terpingkal-pingkal.

Sekitar lima menit kami tergelak-gelak. Bas dan Van secara berbalasan mengulang-ulang satu sampai sepuluh. Aku dan papanya sangat geli. Puas tertawa akhirnya kelelahan juga. Masih sesekali diselingi tawa, akhirnya kedua anakku tertidur juga.

Walau tak bisa menonton hiburan malam di televisi, bercengkrama dengan suami dan anak-anak juga sudah menyenangkan. Belum tentu keluarga lain punya hiburan malam yang sama, aku sangat menikmati hiburan malam ala keluargaku. (Icha Koraag, 17 Januari 2007)

BELAJAR BERJALAN

Belajar berjalan pada balita adalah salah satu proses dalam tumbuh kembangnya. Ketika anak mulai merayap atau merangkak, maka selanjutnya ia akan mulai belajar memanfaatkan kedua kakinya.

Dua hal yang di perlukan si anak dalam memulai belajar berjaan adalah rasa percaya diri dan kemampuan fisik. Pada usia tersebut anak belum mengenal rasa takut karena anak belum tahu konsep bahaya atau konsep celaka.

Dulu ketika aku mendampingi kedua anakku belajar berjalan, sungguh menyenangkan walau sangat melelahkan. Dari tahapan merangkak anak-anak mulai merambat (Berjalan sambil berpegangan/bertumpu) pada sesuatu, misalnya kursi atau meja. Lama kelamaan ketika dalam eksplorasi si anak sanggup menjaga keseimbangan tubuhnya, ia akan sadar kalau ia bisa menggunakan kedua kakinya untuk berpindah (Berjalan).

Namun sebelum si anak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, ia sudah sangat ingin melangkah, biasanya ortu akan memegang kedua tangan si anak dari belakang dan membiarkan anak melangkah. Ini banyak dilakukan para orang tua. Padahal ini adalah cara yang keliru.

Dengan posisi tangan ke atas (karena dipegang orang besar) anak akan mengayunkan tubuhnya seiring langkah kakinya. Kerap kali orang yang memegang tangan anaknya sukar mengetahui arah gerakan si anak dan menjadi penyebab anak terkilir pada lengan atau ketiak.

Kalau anda ingin mengajar anak berjaan dengan cara seperti itu, maka langkah yang harus anda ambil adalah dengan memegang bagian samping tubuh si anak dengan kedua tangan yang penuh. Memang mau tidak mau posisi kita (Ortu) menjadi membungkuk. Karenanya kukatakan mengajar anak berjalan menyenangkan tapi sangat melelahkan.

Saat si anak sudah bisa berjalan, kita akan dihadapi kerepotran lain. Biasanya anak sudah tidak mau di gendong. Setiap digendong, si anak akan meluruskan keduan kaki atau membuang badannya ke bawah. Jadi kalau anak sudah mulai berjalan, siap-siaplah menjadi pengawas yang tidak boleh kehilangan pandangan atas si anak. Karena si penjelajah kecil ini akan berjalan ke sana kemari tanpa mempertimbangkan faktor bahaya.

Pada masa inilh banyak terjadi kecelakaan, misalnya anak terjatuh. Biasanya sesaat si anak akan takut berjalan. Sebagai ortu kita harus memulai lagi dari awal dengan memberikan atau menumbuhkan rasa percaya diri pada si anak, jatuh memang sakit tapi dengan hati-hati jatuh bisa dihindari.

Demikian juga kehidupan yang kita lalui. Kadang kita terjatuh tapi apakah lantas kita takut menjalani kehidupan? Belajarlah dari balita yang belajar berjalan. Jatuh sekali dua kali adalah hal biasasa. Takut? Memang ada tapi tidak menjadi penghalang untuk mencoba berjalan kembali bahkan kelak berlari kalau perlu.

Dalam aktivitas kehidupan, ada kalanya kita terjatuh. Tapi itu bukan akhir segalanya. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Bangkit! Mulailah berjalan perlahan dan lebih hati-hati. Yakinkah diri, anda bisa maka anda pasti bisa! (Icha Koraag, 10 Januari 2007)

Tuesday, January 16, 2007

ANAK-ANAK KEBANGGAAN ORANG TUA

Berada di sekolah Bas dan Van, selalu kumanfaatkan untuk bersosialisasi dengan orang tua dari teman-teman Bas dan Van. Ada juga teman-teman Bas dan Van yang hanya diantara Mbaknya. Bukan aku mau menyombong atau GR-gede rasa. Hampir semua termasuk ibu guru Van semua memuji Bas sebagai kakak yang sangat perhatian pada adiknya dan Van yang sangat mandiri.

Mendengar pujian mereka jelas aku senang. Sungguh di luar dugaanku adalah pujian untuk Bas sebagai kakak yang sangat perhatian dengan Van. Padahal, kalau di rumah mereka berdua persis Tom & Jerry. Sejenak berteman tapi kemudian sudah bertengkar. Mulai dari bertengkar mulut sampai akhirnya saling memukul.

Eh di sekolah, Bas dan Van di puji sebagai kakak dan adik yang paling kompak. Sampai ada seorang ibu yang berkomentar "Pasti di rumah rukun terus yah, bu!" Aku hanya senyum-senyum. Eh ada lagi yang bertanya,

"Apa sih yang diterapkan di rumah?" tanya mama Nico
"Aku tidak punya resep khusus, cuma membiasakan mereka menyelesaikan persoalan sendiri, sebelum aku atau papanya turun tangan" Jawabku.
"Tapi suka berantem juga, bu?" tanya mama Justin
"Ya, namanya anak, pasti adalah berantemnya. Van itu jauh lebih keras sebetulnya dibanding Bas. Bas selalu mengalah. Mungkin merasa sebagai kakak" Jawabku lagi.
"Senang ya, bu kalau anaknya selalu rukun!" Tambah Mama Chaca.
"Puji Tuhan!" Jawabku.

Dari jauh ku lihat Bas datang mendekati kelas Van. Saat Bas jam istirahat bertepatan dengan jam bubar kelas Van. Di muka kelas Van, Bas menunggu. Di sekolah ini, dinding kelas sangat tinggi, sehingga jangankan murid, aku saja agak kesulitan kalau mau melihat ke dalam kelas.

Menurut pihak sekolah ini strategi menjaga konsentrasi belajar anak. Dengan dinding kelas yang tinggi baik murid yang di dalam kelas atau orang di luar kelas tidak bisa saling melihat. Ku lihat Van keluar, langsung di peluk Bas. Bas langsung menggandeng dan mengantarnya ke hadapanku.
"Van, pulang dan istirahat yah. Kakak masih sekolah!" Ujar Bas pada Van. Van mengangguk sambil sibuk membuka botol minum. Ada rasa bangga di dadaku, melihat Bas dan Van begitu perhatian dan rukun. Berdasarkan pengamatanku di rumah, Bas memang sangat melindungi Van, walau sesekali suka kesal juga apalagi kalau sedang main Play Station dan diganggu Van.

Tapi sejak papanya mengajarkan Van bermain PS, kini keduanya bisa bermain dengan rukun. Aku jadi teringat pesan seorang psikolog anak. Jika anda mempunyai anak lebih dari satu dengan jarak umur yang tidak jauh berbeda, biasakanlah memberikan satu jenis permainan. Latihlah dan ajarkan anak bermain bersama. Selain menimbulkan rasa kebersamaan karena bermain bersama, anak juga dilatih untuk bertenggang rasa dan mengalah.

Ternyata aku berhasil menerapkan pesan tersebut. Sebelumnya aku agak membedakan mainan mereka. Dengan pertimbangan kalau masing-masing punya mainan tidak akan saling mengganggu. Kenyataannya kedua anakku lebih suka bermain dengan orang ketimbang dengan mainan. Jadi walau ada lego atau PS sekalipun, namun jika ada orang lain Bas dan Van akan melibatkan orang lain.

Dan kini, walau baru setitik kecil, aku mulai menuai hasil. Bas dan Van menunjukan prilaku yang baik dan menyenangkanku. Sebagai orang tua tentu aku sangat bersyukur. Aku bertekad untuk terus melatih disiplin dan pengenalan akan aturan agar prilaku kedua anakku kelak sungguh-sungguh bisa menjadi kebanggaan dan panutan banyak orang.
Bas, Van, mama bangga pada kalian. (Icha Koraag, 16 januari 2007)

Wednesday, January 10, 2007

SORY YAH, AKU TIDAK TERIMA COWOK!

Memperhatikan tumbuh kembang anak adalah kewajiban setiap orang tua. Aku termasuk orang yang suka mengamati pertumbuhan dan perkembangan anak-anakku. Walau aku tidak mencatat setiap pertumbuhan dan perkembangan Bas dan Van.

Aku mencatat beberapa persamaan tumbuh kembang antara Bas dan Van:
Gigi pertama tumbuh di usia 5 bulan.
Keduanya mengucapkan kata pertama ”Papa”.
Bisa berjalan pertama kali pada usia 13 bulan.

Sampai saat ini, aku mencatat dengan baik dalam memoriku setiap pertumbuhan dan perkembangan anak-anakku. Mungkin suatu saat akan ku tuangkan dalam tulisan. Karena pastinya suatu saat daya memori ini akan berkurang seiring bertambahnya usia.

Aku jadi teringat ketika sedang asyik-asyiknya menikmati kebersamaan dengan anak pertama. Waktu itu Bas berumur sekitar delapan atau sembilan bulan. Wajahnya yang sangat menggemasan (kalau gak percaya lihat di blogku) namun bukan wajahnya yang mengejutkan aku tapi panggilannya.

Aku tengah bermain ciluk ba, ketika kudengar suamiku memanggil. Bas ada dalam boxnya sehingga aku bisa meninggalkan Bas dan menghampiri suamiku yang minta tolong diambilkan sesuatu. Setelah menolong suamiku, aku segera kembali menghampiri Bas. Aku terkejut karena ketika Bas kupanggil, ia menoleh dan berkata ”Icha”. Aku tertawa dan senang. Bas menyebut namaku!

Ku panggil suamiku dan memberitahunya lalu meminta Bas mengulang kata ”Icha”. Bas paham yang kami minta, kembali ia mengucapkan dengan benar. Ketika kami tertawa tergelak-gelak karena ia berkata Icha, aku mengangkat dan menciumnya. Bas senang buktinya ia tertawa dan berulang-ulang berkata Icha.....Icha.

Beberapa hari Bas senang mengucapkan kata Icha. Karena setiap ia berkata Icha, aku dan suamiku merespon dengan tertawa atau menciumnya. Mungkin Bas tahu dengan berkata Icha, ia membuat kami senang dan Baspun nampaknya senang kalau kami senang, sehingga kata Icha menjadi ucapannya berulang-ulang.

Persoalannya menjadi lain, ketika lama-lama kelamaan Bas mengucapkan kata itu sebagai panggilan buatku. Di barat anak memanggil ortu dengan namanya adalah hal biasa. Bagiku tidak demikian, perasaan sebagai ibu terusik. Dan ku pikir di Indonesia belum lah umum, anak memanggil ortu dengan namanya.

Hal pertama yang kulakukan adalah berdiskusi dengan suami. Ini harus di luruskan karena suamiku yang menyebut atau memanggilku demikian. Walau kami membahaskan mama atau papa saat berbicara dengan Bas ternyata itu tidak cukup. Kami juga harus membiasakan menyebut mama dan papa saat membahasakan diri masing-masing ketika bercakap-cakap walau tidak melibatkan Bas. Ya, Bastiaan sudah bisa mendengar.

Satu pelajaran lagi ku dapat dari anak-anak. Jangan menyepelekan mereka! Kami lupa kalau Bas sudah mendengar dan otomatis dalam masa pertumbuhannya ia akan belajar meniru apa yang di dengarnya. Dan Bas mendengar ketika papanya menyebut ”Icha”, aku menjawab. Kamipun membuat kesepakatan untuk membiasakan menyebut diri dan pasangan dengan mama atau papa. Bukan memanggil dengan nama masing-masing.

Setiap kali Bas menyebut Icha, aku dan papanya membetulkan dengan menyebut ”mama”. Lama kelamaan tak terdengar lagi Bas menyebut kata ”Icha”, Kecuali Bas di tanya, siapa mamanya? Lain halnya dengan Van, belajar dari pengalaman bersama Bas, kami menerapkan berbicara normal pada Van. Usia Van belum genap dua tahun ketika Van sudah bisa berbicara dengan sempurna termasuk penyebutan huruf R.

Masalah timbul ketika Van mulai menyukai menonton film di TV atau mendengar lagu di radio, pengucapan cepat kadang sampai di telinga Van tidak sama seperti yang diucapkan di TV akibatnya yang keluar dari mulut Van akan sama dengan yang di dengar telinganya. Seperti kata ”vampir”, Van mendengarnya ”sampir”, maka Van akan berkata sampir untuk menyebut vampir.

Perlu waktu dan kesabaran untuk meralat ucapan atau lafal yang salah. Seperti saat ini Van sedang berlatih menghafal menghitung angka dalam bahasa Inggris. Untuk angka tujuh dalam bahasa Inggris Seven, Van mengucapkannya ve (dengan e eperti dalam kata meja) ven (dengan e seperti pada kata kentang). Bastiaan yang selalu tertawa geli jika mendengar Van berhitung dalam bahasa Inggris. Bas senang sekali meminta Van mengulangi. Setiap Van mengulang maka setiap itu pula Bas terpingal-pingkal.

Aku dan papanya harus berulang-ulang dengan kesabaran yang besar dalam membantu Van menyebut kata vampir dan seven secara benar. Sekarang Van sudah bisa mengucapkan dengan baik dan benar. Namun harus aku akui, kadang-kadang bahasa yang digunakan Van agak terlalu tinggi untuk usianya yang baru tiga setengah tahun.

Saat teman sebayanya masih berbicara terbata-bata, aku sudah bisa berdiskusi dengan Van tentang kisah Tom & Jerry dengan bahasa yang baik. Termasuk penyebutan cewek untuk perempuan dan cowok untuk laki-laki.

Van paling senang membagi aku, papanya dan Bas dalam penggolongan cewek dan cowok. Van akan berkata, ”Aku dan mama, kamu (Maksudnya Bas) dan papa, karena kami cewek-cewek dan kamu cowok-cowok!” Atau dia akan berkata: ”Karena aku dan mama cewek-cewek, maka boleh cantik-cantik”. Biasanya ini digunakan Vanessa kalau dia ingin ikut menggunakan alat kosmetikku.

Suatu hari saat kami akan pergi, usai menyisir rambut dan menggunakan minyak wangi, Vanessa mendekati papanya dan berkata
”Pa, aku cantik gak?” tanyanya dengan genit
”Wah cantik sekali!’ Jawab papanya
”Aku juga sudah wangi loh!” kata Van lagi
”Coba papa cium” pinta papanya.

Namun sungguh, papanya di buat terkejut. Juga aku yang mendengar ketikan Van berkata “Sory yah, aku tidak terima cowok!”. Tak lama ku dengar papanya dan Van sudah tergelak-gelak sambil memeluk dan mencium Van.
”Siapa yang ajar, bicara seperti itu?” tanya papanya
”Aku sendiri dong!” jawab Van masih dengan tertawa.

Saat itu aku yang berdiri di dekat pintu dan melihat ke arah papanya, kam ihanya bertukar pandang, aku mengangakat bahu dan tersenyum. Aku pun tidak tahu darimana perempuan kecil yang belum lagi berusia 4 tahun ini, belajar berkata demikian. Namun yang pasti, aku semakin yakin, perbendaharaan kata dan kalimat Vanessa memang semakin banyak. (Icha Koraag, 10 Januarai 2007)

BAHASA BULAN


”Bahasa bulan” adalah istilah aku dan keluargaku untuk menyebut bahasa yang kerap di lafalkan main-main, namun terkadang menjadi serius karena terbawa saat anak bertambah besar. Seperti Mimi untuk minum, mamam untuk makan atau atit untuk sakit atau cayang, cedih untuk sayang dan sedih dan lain-lain.

Perhatikan ucapan berikut: ”Halo cayang, cudah banun. Ade mau mimi cucu?” kadang terdengar dari mulut ortu yang mendapati anaknya sudah bangun tidur. Inipun pernah saya gunakan berkomuniasi dengan Bas dan Van waktu mereka bayi. Seiring bertambahnya usia Bas dan Van, aku dan papanya membiasakan dengan pengucapan yang benar.

Kedua anakku. Bas dan Van mempunyai kemampuan bicara yang baik. Walau Van lebih baik sedikit dari Bastiaan dalam pengucapan kata. Bas sempat menggunakan kata ”Mimi” untuk mengartikan minum air putih. Tapi Van langsung berkata ”Minum”. Van bisa di bilang tidak menggunakan bahasa bulan.

Mulanya memang terdengar lucu saat Bas atau Van mengucapkan sesuatu dengan tidak sempurna. Misalnya ”Ma, mimi cucu!”. jika itu di ucapkan anak usia di bawah dua tahun mungkin mulanya terdengar lucu dan memang pantas diucapkan anak seusia itu. Baik bagi kita karena memahami apa yang dimaksud anak. Tapi bukan berarti seterusnya kita boleh menggunakan kata sesuai pengucapan si anak dalam berkomunikasi dengan anak.

Jika Bas atau Van berkata :”Mimi cucu” Aku sebagai orang dewasa di sekitarnya dan sering berdekatan dengan mereka, mengulang dan mempertegas dengan berkata ”Minum susu”. Dan aku ulangi terus menerus ”Adik mau minum susu?” ”Ini susu, nah adik minum yah!”

Walau anak mengucapkan mimi, sebagai orang tua kita harus melatihnya untuk mengucapkan minum. Karena apa yang mulanya nampak lucu tapi kelak akan bermasalah. Tahu-tahu kita dihadapkan persoalan, ”Loh kok anakku tidak berbicara dengan benar?” Bagaimana anak akan menirukan yang benar jika kita malah menggunakan kata atau pengucapan si anak dalam berkomunikasi dengan anak.

Kecenderungan orang dewasa dalam berbicara dengan bayi atau balita, selalu berusaha mengucapkan.melafalkan seperti ucapan bayi/balita. Padahal kalau kita mau sedikit menggunakan logika, bayi atau balita akan melafalkan tidak sempurna karena organ-organ bicara mereka belum tumbuh sempurna. Seharusnya sebagai orang dewasa kita mengucapkan dan melafalkan dengan baik dan benar, sehingga si bayi atau balita tahu mana yang benar.

Keseringan kita mengucapkan dengan versi balita akan membuat balita bepikir, ia sudah benar dalam mengucapkannya. Dalam satu perbincanganku dengan pakar psikologi perkembangan anak , Dra. Surastuti Nurdadi, M.Si atau biasa di sapa Mba Nuki, beliau mengatakan ”Ala bisa karena biasa, anak terbiasa mengucapkan salah maka bisa menjadi seterusnya salah!”

Ini berlaku bukan hanya untuk pengucapan kata, ini juga berlaku untuk pemahaman nilai-nilai sosial dan aturan kedisiplinan. Ketika kita tidak konsisten menerapkan aturan, maka anak akan belajar seperti apa yang tercontoh. Proses pembelajaran sederhana yang paling mudah adalah dengan model mencontoh.

Nah kalau sejak dini, anak terbiasa menggunakan istilah-istilah yang hanya dipahami di sekitar lingkungannya, maka dapat ditebak kelak anak akan bermasalah di lingkup yang lebih luas. Bukan sekali dua kali kasus anak-anak enggan sekolah lantaran di ejek karena ketika berbicara masih menggunakan ”bahasa bulan”. Kita punya andil menjadikan anak tersebut bahan ejekkan.

Sebelum terlambat jika anda sedang mempersiapkan kehamilan, sedang hamil atau bahkan sudah punya bayi, mari gunakan bahasa yang pengucapan benar agar kelak si kecil tak bermasalah dalam berkomunikasi di luar rumah. Jangan salahkan lingkungan yang tidak ramah tapi pastikan anda mempersiapkan anak-anak yang tangguh dan siap bersaing. (Icha Koraag, 9 Januari 2007)

Thursday, January 04, 2007

DOA & HARAPANKU AYO...KAMU PASTI BISA!



Kalimat judul di atas pasti sudah sering anda dengar. Bahkan mungkin anda sendiri sering mengatakan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Coba perhatikan, kalimat yang terdiri dari empat suku kata di atas sangat sederhana tapi makna yang dikandungnya sungguh luar biasa

Kalau anda pernah mengucapkan kalimat ”Ayo, kamu pasti bisa!”, siapapun orang yang anda tuju, pasti anda menyayangi orang tersebut. Tidak mungkin anda mengucapkan atau menyerukan kalimat itu pada lawan atau saingan anda.

Ya, karena rasa sayang mampu membuat kita menginginkan orang yang kita sayangi mendapatkan yang terbaik. Ini baru hari ke empat di tahun 2007. Aku percaya anda pasti sudah melakukan refleksi kehidupan tahun lalu dan menyusun rencana tahun ini.

Coba anda intip catatan anda, apa yang anda rencanakan dengan orang-orang yang anda sayangi. Setiap kita menyusun rencana kadang kita lupa menyertakan orang-orang yang kita sayangi dalam rencana kita. Memang tidak salah tapi juga tidak ada salahnya kalau anda menyertaan orang-orang yang anda sayangi dalam rencana anda.

Demikian juga denganku. Aku menyusun beberapa rencana, diantaranya untuk anak-anakku. Menyangkut urusan anak-anak dan keluarga maka mereka perlu aku libatkan. Pertama-tama aku bicara dengan suami mengenai rencana kelurga kami. Percaya atau tidak, berdiskusi dalam penyusunan rencana bisa menjadi sangat mengasyikan kalau kita mau menyamakan persepsi.

Liburan ahir tahun kemarin, aku menyususun beberapa rencana baik untuk keluarga maupun untuk pribadi. Untuk perencanaan pribadi aku juga melibatkan suamiku karena aku memerlukan dorongan dan pengertian dia dalam mewujudkan rencana pribadiku. Demikian juga diriku diperlukan untuk mewujudkan rencana pribadi suamiku. Pengertian dan toleransi adalah dua hal yang kami jadikan kunci tahun ini untuk mewujudkan rencana.

Yang berikutnya menyangkut rencana dan target adalah untuk Bas dan Van. Dari hasil pertemuan dengan wali kelas Bas saat pengambilan raport mid semester. Bas mendapat hasil yang cukup memuaskan. Namun catatan yang diberikan untuk kami sebagai orang tuanya adalah melatih konsentrasi. Bastiaan masih kesulitan dalam hal berkonsentrasi.

Kami sangat menyadari, Bastiaan agak sulit jika mengerjaan dua hal secara bersamaan. Misalnya makan sambil menonton televisi. Memang dari opini beberapa pakar psikologi yang ku baca, sangat tidak disarankan makan sambil menonton tv. Maka rencana untuk Bastiaan adalah membiasakan makan tanpa menonton tv.

Secara keseluruhan raportnya baik, artinya Bastiaan sudah mengikuti pelajaran dengan baik. Walaupun untuk ketrampilan Sempoa, aku dan papanya harus membimbingnya dalam berlatih juga pengucapan dalam bahasa Inggris.

Sedangkan Vanessa, hampir semua di nilai bagus. Baik pengucapan bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris, memberi salam, berdoa, berkawan, berbagi, bercerita, berhitung, mengenal warna semua nyaris sempurna. Terus terang kadang-kadang aku merasa Vanessa jauh lebih tua dari usianya. Tutur kalimat yang digunakan dalam percakapan sehari-har juga melebihi kemampuan anak se usianya. Untuk itu aku dan papanya bersyukur, Cuma kadang-kadang kami merasa kehilangan balita kami.

Untuk Vanessa kami merencanakan mendaftarkan pada sebuah sanggar menari. Kebetulan tak jauh dari rumah di buka sebuah sanggar tari. Berlatihnya seminggu dua kali setiap Rabu dan Sabtu. Karena ku tahu Vanessa atau barangkali anak perempuan seusianya memang senang menari dan bernyanyi maka aku mencoba memfaslitasinya.

Aku dan Frisch sepakat menggunakan kalimat ”Ayo kamu pasti bisa!” sebagai kalimat pendorong semangat tahun 2007. Kami sepakat akan menggunaan kalimat tersebut dalam setiap kesempatan di sepanjang tahun, bukan sekedar memotivasi Bas dan Van, berharap itu juga bisa memotivasi aku dan keluargaku untuk mengisi target tahun 2007.

Dalam salah satu artikel mengenai parenting yang kubaca, memberi pujian positif bagi anak sangat berarti dan menanamkan kesadaran dalam diri anak mengenai kemampuan dirinya. Jika sering-sering diberikan pujian positif selain memacu rasa percaya diri, anak juga menjadi lebih menghargai sesama.

Sebagai orang tua kita pasti selalu ingin yang terbaik bagi keluarga kita khususnya anak-anak kita. Sebagai orang tua, aku tidak ingin menjadikan Bastiaan dan Vanessa menjadi anak yang super tapi aku hanya ingin Bastiaan dan Vanessa menjadi anak yang supel. Beda tipis R dan L (Super dan Supel). Yang tahu kemampuan diri, berbahagia, sehat menghormati orang tua, takut akan hukum Tuhan dan bisa menjadi panutan. Semoga! ( Icha Koraag, 4 Januari 2007)