Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Thursday, December 14, 2006

MUSIK KLASIK DAN BELAIAN SANG AYAH!


Dari banyak informasi yang kudapat, mengenalkan musik dan lagu sejak dini adalah sebuah usaha yang baik untuk mengoptimalkan fungsi otak anak. Orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya cerdas?

Sejak mengetahui ada sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam rahimku, aku dan suami kerap mencari dan membeli CD atau cassete musik klasik. Sebetulnya jauh lebih telaten suamiku dibanding diriku. Saat sudah lelah sepulang kerja, sehabis mandi dan makan biasanya aku sudah berbaring di tempat tidur.

Aku hamil anak pertama di usia yang sudah tidak muda lagi. Bahkan bisa dikatakan rawan, karena itu aku dan suami berusaha mengikuti semua ajaran yang baik dari pengalaman teman-teman atau petunjuk buku atau anjuran dokter. Soalnya kami menanti sudah 3 tahun. Di banding orang lain memang waktu penantian kami relatif belum terlampau lama. Namun demikian kami eksra hati-hati dalam menjaga kehamilan ini.

Mengetahui aku hamil tentu saja terasa sebagai sebuah mujizat. Rasanya, perasaan ini akan sama dengan perasaan para perempuan yang menjadi istri dan mengharapkan jadi ibu lalu tiba-tiba tahu, dirinya hamil. Sulit bagiku mengunkapkan secara persis apa yang kurasa.

Bila aku berbaring, suamiku akan mengkondisikan kamar senyaman mungkin. Dengan lampu kamar yang dibuat temaram dan keharuman aromateraphy, ia memutarkan musik klasik. Dan itu menjadi ritualku selama hamil saat menjelang tidur.

Aku sampai bisa menandakan gerakan-gerakan janin dalam rahimku jika sampai pada nada musik tertentu. Pada bagian-bagian tertentu gerakannya menjadi lebih banyak dan keras. Tapi pada bagian lain tenang bagai tak ada apa-apa. Mulanya aku berpikir hanya perasaanku.

Tapi lama-lama kami saling mengenal kebiasaan itu dan aku akan meminta suamiku untuk mengusap bagian-bagian dimana terasa dan nampak gerakan si janin dari luar perutku. Dengan minyak beraroma cendana, suamiku akan mengusap hingga akhirnya aku tertidur. Di samping menina bobokan aku, mungkin belaiannyapun terasa sampai ke janin.

Dan ini menjadi masalah ketika, suatu ketika suamiku bertugas keluar kota. Memang hanya dua malam tapi menjadi dua malam yang terasa sangat panjang. Aku ditemani adiku, mempersiapkan kamar seperti biasa di siapkan suamiku. Memutarkan musik yang sama. Minyak aromateraphy yang sama. Yang berbeda, aku mengusap sendiri permukaan perutku.

Alhasil sampai mendekati tengah malam, janin dalam rahimku terus bergerak tak mau diam. Ada kalanya terasa kalau si janin kesal, janin itu memposisikan yang sulit sehingga dengan posisi tidur miring, aku tak dapat bangun atau berbalik karena kalau aku berbalik, terasa sangat menusuk di bagian pinggang.

Aku berdoa, setengah menangis:
Tuhan, beritahu apa yang membuat janinku marah?

Kali ini, aku mengusap perutku sambil berbicara. Sambil mengusap permukaan perutku, diantara sedu dan sedan menahan airmata. Ku coba bersenandung menina bobokannya. Perlahan dalam senandungku kukatakan aku lelah. Besok aku harus bekerja karenanya kamu harus tidur supaya besok bisa menemaniku ke kantor.

Gerakannya masih terasa ketika telephone berbunyi. Ku lirik jam dinding, menunjukkan pukul 01.10. Ternyata suamiku yang menelephone hanya untuk bercerita tak bisa tidur karena memikirkanku.Aha..ini rupanya yang membuat janin dalam kandunganku tak mau tidur.

Setengah kesal, kuceritakan ”nakalnya” si janin. Ku minta suamiku berbicara dengan janin dalam rahimku. Kutempelkan sejenak telephone di perutku. Mungkin sekitar satu-dua menit. Lalu kukatakan pada suamiku agar berdoa dan jangan memikirkan kami. Usai menelephone, mataku sudah semakin berat. Tapi kali ini perutku terasa lapar.

Dengan menguatkan dan memaksakan diri, kubuat segelas susu coklat hangat. Mudah-mudahan cukup mengenyangkan. Dalam kondisi seperti ini, diantara ngantuk dan lapar maka aku memilih tidur untuk memuaskan rasa ngantuk.

Setelah meneguk segelas susu, aku kembali berbaring dan mengusap-usap perutku. Aku jadi tersenyum. Calon anakku belum pernah melihat kami calon orang tuanya. Tapi ia tahu kalau ayahya tidak ada. Musik klasik yang sama dengan belaian tangan yang berbeda bisa diketahuinya. Ia mengenali belaian ayahnya.

Dan belaian sang ayah, sangat diketahui dengan pasti hingga anakku berusia 15 bulan. Sekalipun matanya sudah terpejam jika belaian ayahnya kugantikan, ia akan membuka matanya lagi. Besar, berat dan kehangatan tangan ayahnya memang berbeda dengan tanganku tapi aku yakin besar cinta kasih ayahnya tak berbeda dibanding besar dan cinta kasihku pada anakku.
(Icha Koraag, 15 Desember 2006)