Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Tuesday, May 01, 2007

PUISI PERTAMA BAS & TROPHY PERTAMA VAN

Orang tua mana yang tak kan bangga menerima karya pertama dan piala pertama anaknya. Perasaan bahagia itulah yang kini tengah melingkupi aku dan suamiku, terutama aku. Aku ibunya! Soalnya aku tak bisa mengatas namakan perasaan suamiku. Walau aku yakin, suamiku juga sama bangga dan gembiranya seperti aku.

Minggu lalu Van menunjukkan piala pertamanya atas prestasi juara II lomba matematika dan Bas menunjukkan karya pertamanya berupa sebuah puisi. Sebelumnya Bas kerap pulang sekolah dengaa membawa gambar-gambar karyanya. Aku senang. Tapi karya puisinya menimbulkan perasaan yang berbeda padaku. Pokoknya perasaanku campur aduk, agak sulit menggambarkannya.

Aku tengah memasak ketika kedua anakku pulang sekolah. Bas berteriak memanggilku demikian juga Van dengan suara gembira. Tergesa-gesa aku meninggalkan dapur dan menyongsong keduanya.. Van masih sibuk melepas sepatu karena kedua tangannya memegang sebuah trophy.

“Halo, ada apa ini?” tanyaku sambil berlutut membantu melepas sepatu Van.
“Van dapat piala” ujar Bas sambil memelukku dari belakang.
“Iya, ini piala nya” Ujar Van sambil mengacungkan piala ke wajahku.
“Wow, piala apa itu?”
“Aku juara I love math “ujar Van
“Hebat kan ma?’ Tanya Bas
“Oh yah, itu hebat. Wah anak mama hebat betul!”ujarku lalu memluk dan mencium Van, kemudian memperlakukan sama pada Bas.
“Siapa yang kasih Van?” tanyaku lagi
“Ibu Sari, terus aku di cium” Jawab Van
“Siapa lagi yang dapat piala?” tanyaku
“Justin, dia nomor satu!” jawab Van.
“Coba mama lihat” pintaku.

Kemudian Van memberikan trophy itu. Ada perasaan yang menggedor-gedor dadaku. Ini prestasi pertama Van. Jujur, aku tak mentargetkan mereka harus menjadi juara, aku hanya memotivasi dan mendorong kedua anakku untuk menjadi yang terbaik. Kalau hasil akhirnya sebuah penghargaan itu kuanggap sebagai nilai lebih.

Sebenarnya beberapa hari sebelumnya, aku sudah mendengar informasi dari sekolah mengenai lomba ini. Waktu itu suamiku mengatakan, Van pasti juara. Tapi aku tak terlalu menggubris keyakinan suamiku. Aku cuma tahu, Van memang sudah mengenal angka, warna dan bentuk dengan baik. Tapi aku tak tahu matematika untuk “play group” seperti apa. Namun demikian, prestasi Van tetap saja sebuah kejutan manis buatku.

Tanpa setahuku, Bas memperhatikan sikapku terhadap Van. Lalu ia mendekatiku.
“Aku juga punya piala kan ma?” tanyanya. Aku tersentak dan langsung memeluk Bas. Tak ada sedikitpun keinginan memberikan perlakukan yang berbeda pada kedua anakku.
“Yah, bahkan Bas punya dua piala” kataku. Keduanya diperoleh Bas ketika masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Salah satunya sebagai juara II lomba Paduan Suara antar TK th 2005.
“Ma, aku buat puisi untuk mama loh!” tiba-tiba Bas mengejutkanku dengan pernyataannya.

Jujur, pernyataan ini lebih mengaduk-aduk perasaanku. Karena aku adalah orang yang gemar merangkai kata dan tak pernah membayangkan ada diantara anakku yang mengikuti jejakku. Terlalu pagi memang, menganggap Bas mewarisi minatku dalam merangkai kata. Namun berharap tentu tak ada salahnya.

“Maksud Bas?” tanyaku dengan penasaran
“Aku buat puisi untuk mama!” Ujarnya lagi.
“Mana?” tanyaku
“Masih di ibu guru, nanti kalau dikembalikan aku kasih lihat mama!” ujarnya dengan mata berbinar.

Rasanya aku ingin berteriak kegirangan tapi hanya air mata yang nyaris tumpah karena rasa haru. Suamiku tahu perasaanku, ia menggodaku sambil berkata berkata “Senang tuh, anaknya bikin puisi!”
“Oh jelas. Jelas mama senang banget!” kataku dengan tegas sambil tertawa. Aku tak perlu menyembunyikan rasa bahagia dan bangga itu.

Saat itu juga juga puji syukur dan terima kasih kunaikkan dalam doa kepada Dia yang memberikan kebahagiaan ini. Tuhan maha baik! Sungguh membahagiakan! Ingin rasanya kebahagiaan ini kuteriakan kepada dunia. Ini anak-anakku. Aku bangga dan sangat mencintai mereka.

Beberapa hari kemudian, saat pulang sekolah, Bas membawa puisi karyanya. Di tulis tangan di atas selembar karton biru dihiasi berbagai ornamen buatan tangan. Aku tak ingin menangis tapi rasa haru itu membuat anak sungai di mataku mengalir tak terasa, inilah karya Bas.

PUISI UNTUK MAMA

Kau sungguh cantik kau selalu menemaniku
Aku selalu menyayangimu
Adikku juga menyayangimu

Mamaku kau menyayangiku
Teman-temanku menyayangimu
Kau kembali dengan cepat
Kau selalu mengajakku jalan-jalan

Frisch Bastiaan Calvarie Monoarfa
Kelas I B
SD Lemuel II

Ketika kutuliskan puisi ini dan mengetik namanya dengan nama kesehariannya Bastiaan, Bas meralatnya dan menuliskan lengkap seperti yang tertera di atas. Ku biarkan Bas melakukan hal itu karena aku percaya itu juga menunjukkan kebanggaan Bas atas nama yang orang tuanya berikan.

Oh yah, kalimat pertama dalam puisi Bas, kupikir adalah ungkapan biasa yang dinyatakan setiap anak, begitu juga kalimat-kalimat selanjutnya. Namun pada kalimat “Kau selalu pulang cepat!” cukup menyesakkan dadaku. Pernyataan itu menunjukkan komitmenku untuk berusaha cepat pulang setelah bertugas di luar kota. Kalimat itu membuat aku tahu, Bas meyakini janjiku karena aku menepatinya.

Itulah yang membuat mengapa puisi itu sangat mengaduk-aduk perasaanku. Aku tahu, aku menuntut Bas menjadi “dewasa” melebihi usianya. Bila aku akan bertugas keluar kota, serangkaian pesan dan harapan selalu ku sampaikan padanya. Kadang ada perasaan bersalah yang sedikit mengusik hati ini. Tapi aku mencoba tegar dan meyakini, apa yang kulakukan adalah demi memberikan yang terbaik bagi kedua anakku.

Membaca puisi Bas, aku tahu harapanku terkabul. Aku tahu Bas memahami mengapa aku harus sering-sering pergi meninggalkannya. Keterbukaanku pada Bas adalah bagian dalam menjadikan Bas memahami tugasku sebagai orang tua dan tugas Bas sebagai anak.

Perjalananku sebagai orang tua masih panjang. Kadang aku meragukan kemampuanku dalam mendampingi kedua anakku. Mampukah aku? Sebagai manusia biasa sungguh aku memiliki kemampuan yang terbatas tapi aku percaya dengan mengandalkan kuasa dan kekuatanNya, aku takkan gagal. Kalaupun aku gagal, aku tahu Tuhan punya rencana lain untuk hidupku, hidup kedua anakku juga hidup keluargaku.

Lagi-lagi hanya berpasrah dan bersyukur yang menjadi kekuatanku dalam membimbing dan membesarkan kedua anakku. Semoga hari-hari mendatang mereka akan terus mengukir prestasi yang bermanfaat bagi banyak orang di dalam mengisi kehidupan. Karena bagiku jauh lebih berarti menjadi orang yang berharga bagi kepentingan banyak orang ketimbang berprestasi bagi diri sendiri.

Bas, Van, mama bangga pada kalian.!

Jakarta, 30 April 2007