Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Tuesday, October 17, 2006

TIDAK MAU BERTELINGA PANJANG SEPERTI KELINCI



Semalam dalam doa, aku bertanya pada Tuhan, ”Mengapa berat sekali menjadi orang tua?” Tak ada satu bukupun yang bisa dengan tuntas dan lengkap menjabarkan bagaimana dan apa yang harus dihadapi ketika menjadi orang tua.

Menghadapi persoalan kecil seperti susah makan kadang mampu membuatu tertekan. Kalau aku mau santai tidak mempedulikan anak-anak, bisa saja aku bersikap cuek atau masa bodoh seperti sikap beberapa kawan. Tapi aku tidak bisa seperti itu. Menghadapi persoalan susah makan kelihatannya memang sepele. ”Nanti kalau lapar, juga minta makan!” Komentar seorang teman. Kenyataannya demikian dengan Bas dan Van. Karena Van masih minum susu, tak makan nasi, Van tak peduli karena masih bisa dikenyangkan dengan susu. Berbeda dengan Bas, jika tidak ditawari makan, malah akan bersukacita.

Ada juga seorang kakakku yang mengatakan ”Berikan saja yang mereka suka termasuk mie instan, daripada tidak makan!” Waduh, artikel yang membahas dampak negative mie instan banyak banget. Bagaimana nasib anak-anakku kalau kubiarkan menyantap mie instan?

Tapi aku sudah mempelajari kebiasaan-kebiasaan anak-anakku. Bukan masalah apa yang dimakan tapi lebih ditentukan bagaimana suasana waktu makan. Tapi kadangkala, jika sampai rumah, energiku sudah nyaris habis. Bukan semata lelah karena bekerja di kantor tapi macetnya jalanan saat pulang membuat kelelahan bertambah parah.

Dan konyol rasanya kalau harus emosi saat memberi makan anak-anak. Kadang dalam kepasrahan aku cuma bisa tertawa. Bagaiman tidak akan tertawa kalau Van atau Bas berkata: ”Kalau mama cape, tidur saja! Nanti aku jagain!” Padahal setiba di rumah sudah pasti cape namun masih ada beberapa kewajiban yang harus dijalani, salah satunya memberi mereka makan dan menemani belajar.

Aku termasuk orang yang kerap melakuan sharing dengan orang lain dalam menghadapi persoalan anak-anak. Termasuk dengan kakak, kawan atau rubrik konsultasi di media cetak/internet.

Bahkan sisa-sisa ilmu dan pengetahuan saat mengasuh rubrik gizi keluarga di radio Pesona FM dengan Pakar Gizi dan Kuliner Tuti Soenardi, masih melekat. Sayangnya teori-teori itu tak mudah diterapkan dalam kenyatan sehari-hari. Seperti juga ketika memberi makan pada Vanessa.

Baru melihat piring makannya tanpa tahu apa yang dihidangkan, Van sudah komentar ”Yah...makan!” Kadang dengan perasaan setengah kesal aku berkata: ”Ye, siapa yang mau kasih Van makan?” Lalu kuletakkan piringnya Van di atas meja.

Biasanya Bas yang jauh lebih peka akan mendekatiku:
”Aku mau makan, mama!” kata Bas sambil memeluk dan menciumku. Persaan kesalku agak berkurang.
”Mau makan apa, kak?” tanyaku
”Apa saja yang mama masak!” Jawaban Bas langsung menghilangkan rasa kesal ini dan lelahpun luluh. Bas sungguh pandai menghibur. Ini sebenarnya berdampak pada si Van karena otomatis Van akan mendekatiku dan ikut mencium. Lalu Van akan berkata” :Aku juga makan deh!” Seakan Van paham, kalau dia makan maka aku akan senang.

Saat memberi makan Bas dan Van, aku dan papanya harus sama-sama mendampingi. Karena kalau tidak, mereka asyik ngobrol atau bermain, makanan di mulut tidak di kunyah-kunyah. Frisch kadang mengeluh, sampai berapa lama lagi mendampingi anak-anak makan seperti ini. Biasanya aku akan tertawa dan berkata: ”Nanti kalau anak-anak sudah besar, merasa menyesal karena dulu tidak mendampingi. Mumpung sekarang waktunya ya enjoy saja !”

Dalam Surat keterangan lahir Bas dan Van ada foto mereka disertai tulisan ”Tataplah bayi anda, maka semua kelelahan akan sirna!” Pertama melihat foto dan tulisan itu aku sudah berkata ”Uh gombal banget!” Kenyataannya bangun tengah malam setiap se jam sekali karena harus menyusui adalah aktivitas yang sungguh melelahkan. Dan kelelahan itu tidak lenyap saat memandang foto bayi.

Namun yang pasti ada sukacita yang tak terukur dengan kelahiran anak-anak. Apakah keberadaan anak membuat kita lelah. Pasti! Kita ini manusia biasa kadang anak-anak juga kerap membut kita kesal. Tapi kekesalan dan kekelelahan yang diakibatkan kehadiran anak tidak mengurangi kegembiraan karena kita boleh menjadi orang tua.

Jadi kalau menghdapi anak susah makan, keep smiling lah! Yakin saja semua orng tua pasti melewati persoalan yang sama. Kalau para ibu yang lain bisa membesarkan anak-anaknya, pastinya Aku dan Frisch juga mampu. Kenyataannya persoalan anak susah makan adalah persoalan yang dihadapi banyak orang tua. Kelihatannya kuncinya cuma kesabaran. Mengganti menu dan rasa tidak jadi jaminan tapi membangun suasana makan yang menyenangkan bisa membantu. Salah satunya dengan cara bercerita.

”Hayo siapa yang tahu mengapa harus akan wortel?” tanyaku
”Supaya sehat!” Jawab Bas. Dan si Van pun ikut berkata
”Supaya sehat!” Ujar Van.
”Pinter, sehat apanya?’ tanyau lagi
”Tubuhnya!” jawab Bas. Kai ini Van hanya berkata ” He-eh!”

”Bas dan Van pernah melihat kelinci?”
”Pernah! jawab keduanya serempak
”Seperti yang dipelihara papi Bogor ya ma?” tany Bas
”Aku tahu!” ujar Van
”Betul!” Kataku. Papi Bogor adalah sebutan salah seorang kakaknya Frisch yang tingga di Bogor.

”Kelinci matanya besar, bulunya lebat karena makan wortel. Jadi kalau mau matanya bagus dan sehat seperti kelinci harus makan wortel” Ujarku bercerita
”Iya tapi aku tidak mau berteling panjang seperti kelinci” Ujar Bas
”Bisa saja, kalau dengar-dengaran apa yang mama dan papa katakan. Kalau tidak nanti telinganya ditarik mama atau papa, bisa jadi panjang seperti kelinci” kataku lagi.
Di luar dugaanku Vanessa berkata: ”Itu tidak baik mama! Tuhan akan marah kalau menyakiti anak! Ucapnya dengan wajah tak berdosa. Aku langsung tertawa ngakak tapi dalam hati aku tersentil.

Aku harus lebih menjaga mulutku dalam berbicara. Memberi anak-anak makan adalah memenuhi kebutuhan pertumbuhan fisik mereka tapi menyayangi mereka, memahami, memeluk dan mencium adalah upaya memenuhi kebutuhan mental mereka. Terpenuhi kebutuhan fisk dan mental yang memadai kuyakini akan menjadikan Bas dan Van bertumbuh dengan fisik dan jiwa yang sehat. (Icha koraag, 17 Oktober 2006)