Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Sunday, September 24, 2006

Anaku di Permalukan!




Orang tua mana yang bisa menerima jika anaknya dipermalukan? Jumat, 22 Sept , minggu lalu, sesaat sebelum aku makan siang, HP ku berbunyi dan nampak nama ”Papa Bas” di layar hp ku.
”Halo” Sapaku
”Sedang apa, ma?” tanya suamiku di seberang telephone
“Siap-siap mau makan siang, ada apa?” Ganti aku yang berbalik tanya.
“Saya cuma mau kasih tahu. Bastiaan dipermalukan di sekolah! Ujarnya dengan suara bergetar. Aku paham, suamiku berusaha menahan amarah.
”Sabar pa, cerita dulu dong!”
”Nanti saja di rumah!” dan suamiku mengakhiri pembicaraan.

Kini tinggal aku yang termangu, mana bisa aku konsentrasi bekerja kalau mengingat cerita suamiku tadi. “Bastiaan dipermalukan”. Oleh siapa dan mengapa?” tanyaku dalam hati. Tak sabar rasanya menanti jam pulang kerja.

Saat jam kerja usai, suamiku sudah menjemput. Kami sepakat singgah di warung soto untuk berbicara. Mulailah suamiku bercerita. Yang diceritakan terlebih dahulu bukan persoalan Bas tapi pergumulan suamiku yang tidak terima karena hukuman yang diterima Bas.

Ketika suamiku datang ke sekolah untuk mengantarkan seragam Tae Kwon Do karena setiap jumat Bas mengikut ekskul tersebut. Biasanya suamiku akan melihat Bas yang bersenda gurau dengan kawan-kawannya di lapangan sekolah. Karena di lapangan tidak nampak, suamiku berjalan ke kelas Bas dan disana ia melihat Bas sedang duduk dengan tangan bersidekap di dada.
”Halo Bas, kok tidak ke lapangan?” sapa suamiku
”Aku malu!” Jawab Bas sambil menundukkan kepalanya di meja.
”Malu kenapa Nak?” suamiku menjadi heran. Perlahan Bas melepaskan tangannya dari dada dan nampak sebuah tulisan yang dikalungkan di lehernya ”AKU ANAK MALAS. Kemalasan mengakibatkan kebodohan”

”Reaksi pertama membaca tulisan tersebut, saya membenarkan. Lalu saya katakan pada Bas. Sama seperti yang sering Papa dan mama katakan, kakak tidak boleh malas belajar! Cerita suamiku. Tapi betapa terpukulnya saya, ketika Bas dengan tegas mengatakan: Aku dikalungkan tulisan ini bukan karena aku malas belajar tapi tadi pagi aku terlambat datang ke sekolah!”

Sebelum suamiku melanjutkan ceritanya, aku yang merasa terpukul. Keterlambatan Bastiaan berkaitan dengan aku. Jumat pagi tadi aku ada ”Breakfast Meeting”. Karenanya aku ikut berangkat saat Bas di antar suamiku. Cuma karena aku teledor, aku lupa meletakkan kacamata dan HP sehingga ketika akan berangkat, jadi tertahan untuk mencari dua benda tersebut. Ahirnya dua benda tersebut tidak ketemu dan Bastiaan terlambat.

”Aku menyesal gara-gara aku, Bas dipermalukan! Ujarku penuh penyesalan.
”Itulah! Kemarahan saya atau ketidak terimaan saya Bas dipermalukan karena bukan kesalahan Bas!” Ujar Frisch dengan emosi.
”Iya tapi kan sekolah tidak tahu kalau Bas terlambat karena aku!” kataku lagi.
”Ma, apakah hukuman dengan mengalungkan tulisan semacam itu mendidik? Bas begitu shock, menurut kawan-kawan dan satpam dia tidak keluar kelas saat jam istirahat. Belum lagi menahan rasa karena kawan-kawan yang mengolok-oloknya.” Frisch masih emosi. Lalu dilanjutkan dengan suara bergetar kali ini mehahan tangis.
”Kamu tahu ma, demi anak-anak aku rela bangun sebelum pukul 5 pagi biarpun aku baru dari luar kota. Agar jangan terlambat...apakah sikap seperti ini over protecktive?”
”Entahlah, yang pasti mama menyesal, ini kesalahan mama” kataku dengan perasaan tidak enak.
”Ok. Tapi bukan itu masalahnya. Bas ini baru kelas satu, kalau dia sudah merasa tidak nyaman di sekolah, bagaimana dia mau terus bersekolah? Saya sangat bersyukur Bas tidak pernah mengeluh walau pukul 5 pagi sudah harus bangun. Tapi kalau sekolah memberi hukuman tidak mendidik justru membuat secara kejiwaan Bas terluka, saya merasa sangat sakit, ma!’ Ujar suamiku dengan penekanan kata pada sakit!

Jujur sayapun terluka. Bahkan terluka 3 kali lebih banyak dari yang di rasa Bas dan Frisch. Pertama Ibu mana yang rela anaknya dipermalukan. Kedua aku punya andil atas keterlambatan Bas. Ketiga, betapa pedih ati ini mengetahui kecintaan Frisch pada Bas yang sangat luar biasa dan kini dihadapanku berusaha menahan airmata ketidakrelaan akan anaknya yang dipermalukan.
”lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku pelan
”Saya akan menemui guru piket tersebut atau kepala sekolah untuk memprotes” Jawab Frisch
”Tapi kalau hukuman itu sudah lama diterapkan dan tidak ada yang protes?” tanyaku
”Anak orang bukan urusan saya, tapi Bas tanggung jawab saya. Dan hukuman itu tidak mendidik. 3 hal mengapa saya tidak terma. Pertama, Bas baru kelas satu dan untuk ke sekolah Bas masih bergantung dengan orang lain dalam hal ini orang tuanya. Karena itu tegurlah orang tuanya. Kedua, ini keterlambatan Bas yang pertama. Ketiga, Bas terlambat tidak sampai 5 menit, apakah adil dia dipermaukan 4 jam?

Aku tidak berkomentar atas analisa Frisch karena aku membenarkan. Aku hanya berpesan, untuk menjaga pembicaraan denga pihak seolah tidak emosi dan tetap sopan, karena biar bagaimanapun Bas baru kelas satu, kami masih akan terus berhubungan dengan pihak sekolah selama Bas masih terdaftar sebagai murid.

Frisch mengatakan, justru karena hal tersebut, maka sebagai orang tua kita harus mengemukakan uneg-uneg agar jangan menjadi kenadala di kemudian hari, apalagi sampai mempengaruhi kegiatan belajar Bas di sekolah.

Selesai saling mencurahkan isi hati kamipun bergegas pulang. Seperti biasa saat mendengar suara motor suamiku, Bas dan Van langsung muncul di muka pintu. Tertawa dan bertepuk tangan sambil berkata ”Mama pulang....Papa pulang!” Hatiku sedang sakit sehingga agak sulit memunculkan senyum di wajah. Ku sembunykan wajahku di dada Van. Sementara Bas memeluk pinggangku.

Keduanya mengiring aku kekamar. Van pindah kepelukan papanya, akupun memeluk Bas. Dengan menguatkan hati kucoba memulai pembicaraan dengan Bas.
”Mama dengar dari papa, Kakak tadi di hukum ?”
”Iya. Di suruh pakai kalung tulisan ”Aku Anak Malas............
”Benar kakak malas?” tanyaku
”Eh...aku dikalungkan tulisan itu karena aku terlambat” Jawab Bas lagi
”Bagaimana teman-teman kakak?”
”Ya aku diledek-ledek tapi aku bilang kalau nanti kamu pakai kalung seperti ini, mau tidak aku ledek-ledek? Kalau tidak ya jangan meledek dong. Jadi tidak di ledek lagi.
”Kakak malu?” tanyaku. Kali ini Bas mengangguk. Aku memeluknya.
”Maafin mama kak, gara-gara mama kakak jadi terlambat dan di hukum!” kataku tanpa melepaskan pelukan. Bas hanya tertawa.

Aku tidak tahu apa yang dirasa Bas. Tapi berharap, ini tidak akan terulang dan hukuman yang diterima Bas tidak meninggalkan trauma. Dan aku mendukung rencana Frisch yang akan menemui guru piket dan pihak sekolah untuk memprotes. Hak kami sebagai orang tua untuk menyampiakan sesuatu yang dirasa kurang pada tempatnya.

Ini juga bentuk masukan kami, agar sekolah bisa memberikan sanksi yang lebih mendidik!
Sehingga pengalaman Bas tidak dialami anak lain dan kami turut menjaga kelangsungan proses belajar mengajar yang lebih kondusif. Semoga Bas, menjadi anak terakhir yang dipermalukan!” (Icha Koraag)

1 comment:

syneidesis_89 said...

Mba saya sangat terharu membaca tulisan ini:)

saya ingat kedua orangtua saya :')

very touching mba....

saya sangat mengerti apa yang Bas rasakan, dan saya terlebih merasakan mengapa Mba dan suami berbuat demikian.

Di satu sisi, memang Bas harus menerima konsekuensi atas sebuah kesalahan, kana tetapi seharusnya sang pemegang kebijakan lebih seharusnya memilki kebijakan yang benar2 bijak.

inilah dilema hukum dan peraturan kita, hanya melihat kesalahan, lalu diberi hukuman sebagai efek jera, dengan tujuan untuk mendidik agar lebih taat, tanpa melihat sisi lainnya yang lebih harus diutamakan. YAITU EFEK MENDIDIK, BUKAN EFEK JERA


salam saya untuk Bas ya mba:)