Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Tuesday, November 28, 2006

KERIPIK JENGKOL GADO-GADO LONTONG

Kalimat judul di atas bukanlah penggalan pantun, kalau anda asli Betawi maka pasti anda paham dengan kalimat tersebut. “Keripik jengkol gado-gado lontong” adalah nama permainan anak-anak Betawi, itu tertulis dalam buku pelajaran Pendidikan Kesenian Jakarta terbitan Penerbit Yusdhistira.

Aku baru saja selesai mandi dan mengeringkan badan ketika mendengar ledakan tawa Bas, Van dan papanya di kamar. Aku yang mendengar, ikut tertawa soalnya tawa mereka terdengar gembira sekali. Ku percepat mengeringkan badan dan mengenakan daster lalu keluar kamar mandi dan menuju ke kemar tidur.

Permandangan yang kulihat memang mengundangku untuk ikut tertawa. Frisch duduk berhadapan dengan Bas di pisahkan meja belajar kecil yang bisa di lipat dan dipindahkan. Wajah Frisch masih tersenyum, bibirnya tertarik ke samping dan matanya nampak jenaka dengan binar-binar bahagia. Sebatang pinsil terselip ditelinganya. Sesekali Frisch menggeleng-gelengkan kepala atau menggelembungkan pipinya hingga tanmpak seperti balon.

Bastiaan yang duduk dihadapan papanya, tertawa sambil memegang perut. Matanya yang tidak terlalu besar makin menyipit karena tertawa. Sedangkan Van di tempat tidur berguling-guling sambil menghentakkan kakinya di kasur.

”Hey girang sekali, bagi-bagi dong sama mama!” Ujarku sambil mendekati Van dan menariknya dalam pelukanku.
”Ayo Van, cerita, mengapa semua tertawa?” tanyaku lagi sambil mencium tubuhnya.
”Ayo cerita Bas” Ku dengar Suara Frisch. Bas dan Van masih tetap tertawa. Lalu ku dengar Van berkata: ”Coba deh papa nyanyi lagi!”. Bastiaan ikut mendukung dan menunjuk ke arah papanya dengan sebelah tangan, sementara tangan satu masih di perut. Bas masih tertawa.

Frisch pun mulai melagukan ”Keripik jengkol, gado-gado lontong. Keripik bau makannya jangan banyak-banyak!” tawa Van dan Bas meledak lagi. Aku paham. Jika aku suka mengubah syair lagu untuk mendorong Bas dan Van melakukan sesuatu, seperti menggosok gigi maka Frisch suka mengganti syair lagu untuk jadi bahan tertawaan.

Bastiaan sedang belajar Kesenian Jakarta, salah satu yang dipelajari adalah jenis-jenis permaianan anak Jakarta. Sudah beberapa kali Frisch mengeluh dalam mengajarkan Bas mengenai pelajaran ini. Menurutnya seharusnya ini bukan pelajaran cukup sebagai pengetahuan artinya menurut Frisch tidak perlu ada uji kompetensi.

Aku mengambil buku Bas dan membaca sejenak.
”Ini permainan mama dulu, waktu mama kecil. Lagunya memang seperti itu” Ujarku
”Kok saya tidak tahu?” tanya Frisch.
”Kamu besarnya dimana?”
”Di Bogor” Jawab Frisch lugu
”Ya inikan permainan anak Jakarta, kalau kamu tidak tahu ya pantas saja” jawabku.
”Masa ada permainan seperti itu” kata Frisch lagi
”Buktinya ada di buku pelajaran Bas. Dulu kami memainkannya” Ujarku.
“Kalau gitu, kamu saja yang jelaskan” Ujar Frisch. Seraya berdiri dan menangkap Van yang sedang memainkan rambutku.

Ku minta Bas membacakan dengan keras materi pelajaran ”Keripik jengkol gado-gado lontong”. Setelah Bas selesai membacakan, aku menguji dengan beberapa pertanyaan yang menjadi kunci dari permainan tersebut.
Permainan keripik jengkol gado-gado lontong, bisa dimainkan paling sedikit oleh berapa orang? (Jawab, 3 orang )
Bagaimana posisi para pemain? (Jawab, Berdiri saling membelakangi dan kaki kiri di bengkokan)
Bagaimana posisi kaki para pemain seanjutnya?( Jawab: kaki yang sudah dibengkokkan saling berangkai atau berkait)
Setelah kaki pemain terangkai atau terkait apa lagi yang dilakukan? (Jawab, para pemain tersebut berlompat-lompat dan bertepuk tangan sambil menyanyikan keripik jengkol gado-gado lontong)
”Kapan permainan tersebut berakhir? (Jawab: Jika rangkaian kaki terlepas)

Usai menguji Bas dari terori permainan tersebut, aku mengajak Bas dan papanya untuk mempraktekan permainan tersebut. Van tidak diajak serta karena terlampau kecil. Ia cukup jadi penonton sambil tertawa-tawa.

Permainan ini mudah, cuma menjadi tidak mudah jika aku dan Frisch yang sudah kelebihan berat badan harus mengaitkan kaki-kaki kami ke kaki Bas yang kecil. Tapi upaya kami akhirnya berhasil juga setelah memerlukan usaha dan kesabaran menahan rasa geli. kaki kami bertiga terkait. Mulailah kami melompat perlahan-lahan sambil bernyanyi ”Keripik jengkol gado-gado lontong” berulang-ulang tanpa ditambahkan” Keripik bau makannya jangan banyak-banyak!”

Tanpa sadar, aku telah mempraktekan pendidikan pada anak dengan metode Belajar sambil bermain. Bukan karena merasa sok pinter atau mencoba-coba biar kelihatan terdidik. Sungguh aku melakukannya karena memang harus dimainkan. Bas senang mempelajarinya dan tidak merasa tertekan dengan begitu aku dan papanya bisa berharap Bas bisa mengerjakan soal-soal pada uji kompetensinya dengan baik juga.

Permainan-permainan dalam buku pelajaran tersebut, adalah jenis-jenis permainan yang memang aku mainkan ketika kecil dulu. Aku merasa geli karena untuk generasi sekarang permainan itu harus dituliskan dalam teori yang dipelajari. Bukan jenis permainan sebagai ajang sosialisasi. Seiring berjalannya waktu, permainan anak-anak yang yang biasa dimainkn pada waktu bulan purnama kini tinggal menjadi catatan dalam pelajaran buku sekolah. (Icha Koraag. 29 Nov 2006)

Tuesday, November 07, 2006

MENGAPA KITA BERMULUT SATU?


Sekolah baru saja di mulai setelah libur Idul Fitri yang cukup lama. Semalam, aku mendampingi Bastiaan belajar. aku dan papanya Bas selalu secara bergantian dalam mendampingi Bas belajar. Selain untuk variasi suasana disesuaikan kondisi kami. Kalau aku terlalu lelah, daripada saat mendampingi jadi emosi lebih baik, papanya yang menemani. Begitu juga kalau Frisch lelah, aku yang akan menggantikan. Kalau kami berdua sama-sama lelah, kami sama-sama mendampingi dan menyertakan Vanessa, sehingga belajarnya agak santai.

Ini kami lakukan, karena kami sadar perlunya mendampingi anak belajar tapi juga sadar keterbatasan kami sebagai orang tua. Kami cuma manusia biasa yang mungkin saja menjadi khilaf kalau lelah atau emosi. Bas menurutku, anak yang lumayan mempunyai daya tangkap cepat dan daya ingat yang kuat. Kami tidak sering-sering belajar berempat, karena ada kalnya Bas memerlukan konsentrasi penuh. Misalnya jika ada uji kompentensi. Bila keadaan seperti itu, jika papanya yang mendampingi maka aku akan menemani Vanessa.

Sebetulnya belajar berempat sangat menyenangkan. Walau kami lelah tetap bisa lebih santai karena kerap di selingi ketawa terutama saat Bas membaca sesuatu dan Vanessa menginterupsi dengan celetukannya yang lugu. Seperti saat Bas membaca kata pantai. Saat Bas baru sampai pada suku kata ”pan”, Van sudah melanjutkan dengan ”ci”, Jelaslah aku dan papanya juga Bas tertawa ngakak. Karena kalimatnya menjadi ”Andi dan Nina merasakan pasir pada jemari kakinya di panci!”

Dua hari sebelum masuk sekolah aku mengulang kembali pelajaran sekolah sebelum libur, sekedar pemanasan. Ternyata Bas bisa menjawab dan menjelaskan dengan baik apa yang dia tahu dan dia ingat. Aku tidak terlalu khawatir dengan pelajarn matematika dan berhitung. Aku lebih memberi perhatian atau penekanan lebih pada pelajaran yang membutuhkan pemahaman bahasa. Seperti bahasa Indonesia, IPS, PPKN, IPA dan Penjaskes.

Pelajaran SD kelas satu, hampir semua mata pelajaran mempelajari hal yang sama. Jika Bahasa Indonesia awalnya mempelajari bunyi-bunyian huruf yang tentunya memerlukan alat bicara dalam hal ini mulut, maka pelajaran agama juga di mulai dengan satu tubuh banyak anggota dan di awali dengan kepala, dimana pada bagian wajah terdapat mulut.

Begitu juga pelajaran IPA yang di awali dengan mengenal tubuh. Lagi-lagi di awali bagian atas tubuh, yaitu kepala. Begitu banyak pelajaran yang dimulai dengan anggota tubuh dalam hal ini bagian kepala, saya memerlukan waktu tersendiri untuk mempelajari masing-masing supaya dapat menjelasan kepada Bas sesuai penekanan pada masing-masing mata pelajaran.

Semalam ketika mengulang pelajaran IPA, tentang panca indera yaitu mata, mulut, telinga, hidung dan lidah (mengecap) serta kegunaannya, terjadi percakapan berikut:
”Bas, mengapa kita bertelinga dua?” tanyaku
”Itu supaya kita bisa banyak mendengar” Jawab Bas
”Lalu mengapa kita bermulut satu?” tanyaku lagi
”Itu supaya kita tidak banyak biacara” jawab Bas.
Sesaat aku memanndang Bas lalu aku katakan: ”Tapi mengapa Bas lebih sering berbicara daripada mendengarkan?” tanyaku lagi. Sesaat ku lihat Bas diam dan memandangku. Bola matanya yang bulat dan hitam terbuka, bibir mungilnya jadi semakin lancip dan keningnya sedikit berkerut.

”Bas, Tuhan memberi kita telinga dua, seperti Bas bilang supaya kita banyak mendengar. Itu berartri Bas harus lebih banyak mendengar apa kata mama, kata papa, kata ibu guru juga ucapan-ucapan orang lain termasuk ucapan teman-teman Bas.” Aku diam memperhatikan reaksi Bas. Ia masih menatapku.
”Terus?” tanyanya
”Jadi mulut kita yang cuma satu ini, digunakan untuk tidak terlalu banyak bicara. Boleh bicara tapi yang perlu-perlu saja. Kalaupun Bas banyak mendengar tetap perlu berhati-hati. Artinya ada ucapan-ucapan tidak baik yang Bas dengar, akan menjadi baik kalau tidak Bas ucapan.” kataku menjelaskan.
”Mengapa?” tanyanya lagi
”Misalnya, ucapan-ucapan yang memaki. Terdengarnyakan tidak enak. Bas marah tidak kalau di bilang Bas jelek?” tanyaku
”Yah marah!” jawab Bas cepat
” Atau Bas bau, belum mandi1”
”Marah!” Bas makin kesal.
”Nah apa yang Bas dengar tidak enak baik ditelinga maupun di perasaan Bas, maka akan menjadi baik kalau Bas tidak membalas ucapan-ucapan seperti itu. Kalau kata papa, masuk kuping kiri...
”Keluar kuping kanan!” Sambung Bas cepat. Kali ini ia tertawa.
”Tapi kalau pelajaran?”
”Masuk kuping kanan, tutup kuping kiri, tutup mata dan simpan di otak! Jawab Bas cepat.

Sebagai ibu bekerja, mendampingi anak belajar menjadi semangat tersendiri, saat mengetahui, anak paham dengan apa yang kita ajari. Dari pelajaran yang sederhana bertelinga dua dan bermulut satu, sesungguhnya aku menarik pelajaran yang lebih penting.

Tuhan sudah memberikan pelajaran kehidupan yang nyata dari anggota tubuh kita. Bahwsannya banyak mendengar jauh lebih baik ketimbang banyak bicara. Sayang kita kerap salah mengartikan. Banyak bicara menjadi semacam kekuatan untuk menjadikan diri terkenal. Beranggapan dengan keras suara dan gencarnya bicara, sosok kita dikenal orang. Padahal semakin keras dan semakin gencar kita bicara jika yang disampaikan omong kosong, karena akan semakin banyak orang menutup telinganya.

Marilah kita mulai membatasi diri dalam berbicara terutama untuk hal-hl yang tidak berguna. Gunakanlah telinga kita untuk mendengar sebanyak-banyaknya. Biarlah apa yang kita dengar kita olah kembali sebelum kita sampaikan atau kita suarakan, dengan menggunakan hati dan akal pikir. Agar saat kita suarakan kembali, menjadi lebih bermanfaat. (Jakarta 8 November 2006)