Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Monday, September 11, 2006

Pinsil dan Remote tv



Aku baru usai mandi ketika kulihat suamiku duduk di tepi tempat tidur sedang menginterogasi Bastiaan dan Vanessa. Wajahnya serius, begitu juga wajah kedua anakku. Aku mendekati mereka, sungguh aku ingin tertawa ngakak. Tapi waktunya tidak pas. Dengan menahan tawa dan rasa geli aku duduk di samping suami.

”Ada apa ini?” tanyaku. Bas dan Van langsung tersenyum. Keduanya memang mempunyai wajah jenaka. Tapi aku berusaha menjaga wibawa papanya, terpaksalah senyumnya di tahan dulu. Senyumpun langsung hilang dari wajah Bas dan Van.

”Ada apa Bas?” tanyaku perlahan.
“Aku tidak tidur siang, mama”. Jawab Bas
”Mengapa?”
“Aku main Play Station” Jawab Bas
“Ini hari apa?” tanyaku lagi
“Senin!”
“Besok hari apa?”
”Selasa”
”Kamu sekolah atau tidak?”
”Sekolah”
”Sudah belajar atau belum?”
”Belum”
”Kalau kamu seharian main play station lalu tidak tidur, kapan belajarnya?”
”Sekarang”.
”Kamu sudah makan?”
”Sudah”.
”Sekarang ambil, tasmu, keluarkan agenda!” Perintahku Bas bergegas ke meja belajar sedangan Van masih berdiri.
”Dan kamu Vanessa, tidur siang atau tidak?” tanyaku
”Tidur!” Jawabnya dengan melirik papanya
”Sudah makan apa belum?” tanyaku lagi
”Sudah” Kali ini Vanessa menatapku
”Jadi sekarang mau apa?” tanyaku lagi
”Mau main, tapi papa tu, gangguin aja!: kali ini Vanessa agak bersungut-sungut. Bibirnya maju dan matanya dikecilkan, melirik ke arah papanya. Yang dilirik, kulihat membelalakkan matanya.
”Papa gangguin kamu?” tanya Frisch. Kali ini Vanessa memperagakan kekesalannya.
“Iya sih. Tanganku di tarik-tarik, begini ni” Ujar Vanessa sambil memegang tangannya sendiri.
“Habis kamu bawa lari remote tvnya, papa kan perlu” Ujar Frisch.
“Tidak ada!’ kali ini Vanessa tertawa lalu berlari sambil membawa tas kresek yang pastinya berisi remote tv.

Aku dan Frisch bertukar pandang lalu tertawa. Bastiaan masuk dengan membawa tas sekolah dan buku agenda sekolah.
”Baca isi agendamu” perintah Frisch.
“Satu, pakai baju olah raga, dua bawa buku Arif edisis September, tiga, bawa buku sesuai jadual”. Baca Bas kuat-kuat.
“Sekarang baca, mata pelajaran untuk besok” Lanjut Frisch lagi.
”PPKN, Olahraga, PLKJ, Bahas Indonesia” Baca Bas lagi.
“Sekarang kamu masukan buku cetak dan buku tulisnya, lalu kembali ke sini” perintah Frisch lagi.

Ketika Bas sudah kembali ke meja belajar, kembali Frisch berujar.
“Sungguh tidak mudah menjadi orang tua”
“Mengapa?” tanyaku
“Rasa lelah seharian belum lagi berkurang, sudah harus berurusan dengan pelajaran anak”.
”Tugas ortu tidak kayak tugas kantor. Nine to five that’s all and clear. Jadi ortu 24 jam!” kataku santai
“Iya tapi lama-lama bisa stress juga loh”
“Ya enggak lah. wong yang jadi ortukan bukan cuma kita” Jawabku sambil tersenyum. Ku lanjutan lagi. “Ortu kita sukses loh, anaknya lebih banyak dan mampu menemani anak-anak bahkan mengantarkan sampai berumah tangga. Kita ini, anak cuma dua. Jadi easy going aja. biarkan semua mengalir seperti air. Sekarang memang kita berada pada masa menabur benih dan merawat. Nantikan ada masa menuai. La.....”kalimatku belum berhenti ketika pintu kamar terbuka lalu muncul Van yang berlari di kejar Bas.

Van langsung melompat ke tempat tidur dan sembunyi dibelakangku. Frisch langsung menangkap Bastiaan. Bastiaan dengan wajah kusut berkata: ”Aduh papa, si Vanessa bandel banget. pinsilku di ambil” lapor Bas, masih dengan ekspresi kesal.

Van dipunggungku menyembunyikan wajah dan badannya. ”Ayo Van, kembalikan. Kakak itu mau belajar” kataku seraya duduk sehingga Vanessa terlihat jelas.vanessa bukannya duduk, ia malah menarik bantal dan menutup wajahnya.

’Bas ayo kita cari anak bandel!” Ajak Frisch dan melepaskan Bas dari pelukannya. Aku hanya bisa menyingkir karena selanjutnya sudah tahu. Perang bantal akan di mulai. Jerit dan tawa silih berganti, sampai kulihat ketiganya duduk kelelahan dengan wajah tertawa-tawa.

”Cukup, waktunya belajar!” Ujarku tenang.
”Tapi pensilku ma?” tanya Bas
”Makanya beli dong”. Jawabku sambil mengedipkan mata ke Frisch. Ini bahasa mungkin hanya kami berdua yang paham. Frisch kembali merangkul Bastiaan dan berkata: ”Yuk kita beli pensil” ajak Frisch
”Di mana?” tanya Bas
”Di tukang jual pensil dong” jawab Frisch.
“Pa, mama ikut ya. Mama juga mau beli remote tv” ujarku santai.
“Aku jual pensil dan remote tv, mau beli?” terdengar suara Vanessa. Kontan, Aku, Frisch dan Bas tertawa ngakak. Van pun ikut tertawa.
”Jadi ini penjualnya?” tanya Bas di sela-sela tawanya.
’Iya” jawab Van masih dengan tertawa.
”Berapa harganya?” tanya Frisch
”Dua ribu” jawab Van.
”Mahal amat, seribu aja yah?” tawar Frisch lalu Frisch mengulurkan tangannya seolah-olah memberikan uang dan Vanessa mengambil lalu menyerahkan pensil.
”Kembalinya dong!’ Tawar Frisch. Kali ini Van yang mengulurkan tangan setelah merogoh ke dalam tas kreseknya. Frisch langsung mengambil pensil dan mengajak Bas ke luar.
”Mama, beli remote?” tanya Van yang datang mendekatiku.
”Berapa harganya?”
”Dua ribu” jawab Van.
”Ok, mama bayar tapi sekarang cium mama dulu!” Ujarku sambil membentangkan kedua tangan. Vanessa datang masuk dalam pelukanku. Dan akhirnya persoalan pensil dan remote selesai, aku dapat ciuman lama dari Van. Ah hari yang menyenangkan! (Icha Koraag, 12 September 2006)

2 comments:

Anonymous said...

Hello Icha,
Saya baca di SP sampai tertawa-tawa. Saya membaca sambil membuat film dikepala sendiri bagaimana kurang lebih kejadian yang sebenarnya dengan kalian ber-empat.
Selamat saya ucapkan untuk kalian berdua sebagai orang tua.
Salam,
Audy (cig)

Anonymous said...

Bas & Van lucu2 sekali :)
Aku teringat pada kedua anakku ketika mereka masih kecil dulu. Sore itu aku baru pulang kantor dan si Kakak (laki-laki 4 th)menyambut dengan gembira : "Mama, nanti Kakak kalau udah besar mau jadi Pilot !". Adiknya (perempuan 2,5 th) tidak mau kalah gembira dan berseru : "Mama, nanti Ade mau jadi Kapal Terbang !". Sekarang mereka sudah menikah.
Nikmatilah baik-baik suasana semasa anak-anak masih kecil. Kejadian tiap hari adalah pengalaman baru bagi manusia-manusia kecil ini dan sangat menarik untuk melihat bagaimana mereka menyikapinya; saat-saat yang tidak akan pernah terulang lagi ...
Salam,
Cyntha