Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Thursday, December 14, 2006

MUSIK KLASIK DAN BELAIAN SANG AYAH!


Dari banyak informasi yang kudapat, mengenalkan musik dan lagu sejak dini adalah sebuah usaha yang baik untuk mengoptimalkan fungsi otak anak. Orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya cerdas?

Sejak mengetahui ada sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam rahimku, aku dan suami kerap mencari dan membeli CD atau cassete musik klasik. Sebetulnya jauh lebih telaten suamiku dibanding diriku. Saat sudah lelah sepulang kerja, sehabis mandi dan makan biasanya aku sudah berbaring di tempat tidur.

Aku hamil anak pertama di usia yang sudah tidak muda lagi. Bahkan bisa dikatakan rawan, karena itu aku dan suami berusaha mengikuti semua ajaran yang baik dari pengalaman teman-teman atau petunjuk buku atau anjuran dokter. Soalnya kami menanti sudah 3 tahun. Di banding orang lain memang waktu penantian kami relatif belum terlampau lama. Namun demikian kami eksra hati-hati dalam menjaga kehamilan ini.

Mengetahui aku hamil tentu saja terasa sebagai sebuah mujizat. Rasanya, perasaan ini akan sama dengan perasaan para perempuan yang menjadi istri dan mengharapkan jadi ibu lalu tiba-tiba tahu, dirinya hamil. Sulit bagiku mengunkapkan secara persis apa yang kurasa.

Bila aku berbaring, suamiku akan mengkondisikan kamar senyaman mungkin. Dengan lampu kamar yang dibuat temaram dan keharuman aromateraphy, ia memutarkan musik klasik. Dan itu menjadi ritualku selama hamil saat menjelang tidur.

Aku sampai bisa menandakan gerakan-gerakan janin dalam rahimku jika sampai pada nada musik tertentu. Pada bagian-bagian tertentu gerakannya menjadi lebih banyak dan keras. Tapi pada bagian lain tenang bagai tak ada apa-apa. Mulanya aku berpikir hanya perasaanku.

Tapi lama-lama kami saling mengenal kebiasaan itu dan aku akan meminta suamiku untuk mengusap bagian-bagian dimana terasa dan nampak gerakan si janin dari luar perutku. Dengan minyak beraroma cendana, suamiku akan mengusap hingga akhirnya aku tertidur. Di samping menina bobokan aku, mungkin belaiannyapun terasa sampai ke janin.

Dan ini menjadi masalah ketika, suatu ketika suamiku bertugas keluar kota. Memang hanya dua malam tapi menjadi dua malam yang terasa sangat panjang. Aku ditemani adiku, mempersiapkan kamar seperti biasa di siapkan suamiku. Memutarkan musik yang sama. Minyak aromateraphy yang sama. Yang berbeda, aku mengusap sendiri permukaan perutku.

Alhasil sampai mendekati tengah malam, janin dalam rahimku terus bergerak tak mau diam. Ada kalanya terasa kalau si janin kesal, janin itu memposisikan yang sulit sehingga dengan posisi tidur miring, aku tak dapat bangun atau berbalik karena kalau aku berbalik, terasa sangat menusuk di bagian pinggang.

Aku berdoa, setengah menangis:
Tuhan, beritahu apa yang membuat janinku marah?

Kali ini, aku mengusap perutku sambil berbicara. Sambil mengusap permukaan perutku, diantara sedu dan sedan menahan airmata. Ku coba bersenandung menina bobokannya. Perlahan dalam senandungku kukatakan aku lelah. Besok aku harus bekerja karenanya kamu harus tidur supaya besok bisa menemaniku ke kantor.

Gerakannya masih terasa ketika telephone berbunyi. Ku lirik jam dinding, menunjukkan pukul 01.10. Ternyata suamiku yang menelephone hanya untuk bercerita tak bisa tidur karena memikirkanku.Aha..ini rupanya yang membuat janin dalam kandunganku tak mau tidur.

Setengah kesal, kuceritakan ”nakalnya” si janin. Ku minta suamiku berbicara dengan janin dalam rahimku. Kutempelkan sejenak telephone di perutku. Mungkin sekitar satu-dua menit. Lalu kukatakan pada suamiku agar berdoa dan jangan memikirkan kami. Usai menelephone, mataku sudah semakin berat. Tapi kali ini perutku terasa lapar.

Dengan menguatkan dan memaksakan diri, kubuat segelas susu coklat hangat. Mudah-mudahan cukup mengenyangkan. Dalam kondisi seperti ini, diantara ngantuk dan lapar maka aku memilih tidur untuk memuaskan rasa ngantuk.

Setelah meneguk segelas susu, aku kembali berbaring dan mengusap-usap perutku. Aku jadi tersenyum. Calon anakku belum pernah melihat kami calon orang tuanya. Tapi ia tahu kalau ayahya tidak ada. Musik klasik yang sama dengan belaian tangan yang berbeda bisa diketahuinya. Ia mengenali belaian ayahnya.

Dan belaian sang ayah, sangat diketahui dengan pasti hingga anakku berusia 15 bulan. Sekalipun matanya sudah terpejam jika belaian ayahnya kugantikan, ia akan membuka matanya lagi. Besar, berat dan kehangatan tangan ayahnya memang berbeda dengan tanganku tapi aku yakin besar cinta kasih ayahnya tak berbeda dibanding besar dan cinta kasihku pada anakku.
(Icha Koraag, 15 Desember 2006)

Tuesday, November 28, 2006

KERIPIK JENGKOL GADO-GADO LONTONG

Kalimat judul di atas bukanlah penggalan pantun, kalau anda asli Betawi maka pasti anda paham dengan kalimat tersebut. “Keripik jengkol gado-gado lontong” adalah nama permainan anak-anak Betawi, itu tertulis dalam buku pelajaran Pendidikan Kesenian Jakarta terbitan Penerbit Yusdhistira.

Aku baru saja selesai mandi dan mengeringkan badan ketika mendengar ledakan tawa Bas, Van dan papanya di kamar. Aku yang mendengar, ikut tertawa soalnya tawa mereka terdengar gembira sekali. Ku percepat mengeringkan badan dan mengenakan daster lalu keluar kamar mandi dan menuju ke kemar tidur.

Permandangan yang kulihat memang mengundangku untuk ikut tertawa. Frisch duduk berhadapan dengan Bas di pisahkan meja belajar kecil yang bisa di lipat dan dipindahkan. Wajah Frisch masih tersenyum, bibirnya tertarik ke samping dan matanya nampak jenaka dengan binar-binar bahagia. Sebatang pinsil terselip ditelinganya. Sesekali Frisch menggeleng-gelengkan kepala atau menggelembungkan pipinya hingga tanmpak seperti balon.

Bastiaan yang duduk dihadapan papanya, tertawa sambil memegang perut. Matanya yang tidak terlalu besar makin menyipit karena tertawa. Sedangkan Van di tempat tidur berguling-guling sambil menghentakkan kakinya di kasur.

”Hey girang sekali, bagi-bagi dong sama mama!” Ujarku sambil mendekati Van dan menariknya dalam pelukanku.
”Ayo Van, cerita, mengapa semua tertawa?” tanyaku lagi sambil mencium tubuhnya.
”Ayo cerita Bas” Ku dengar Suara Frisch. Bas dan Van masih tetap tertawa. Lalu ku dengar Van berkata: ”Coba deh papa nyanyi lagi!”. Bastiaan ikut mendukung dan menunjuk ke arah papanya dengan sebelah tangan, sementara tangan satu masih di perut. Bas masih tertawa.

Frisch pun mulai melagukan ”Keripik jengkol, gado-gado lontong. Keripik bau makannya jangan banyak-banyak!” tawa Van dan Bas meledak lagi. Aku paham. Jika aku suka mengubah syair lagu untuk mendorong Bas dan Van melakukan sesuatu, seperti menggosok gigi maka Frisch suka mengganti syair lagu untuk jadi bahan tertawaan.

Bastiaan sedang belajar Kesenian Jakarta, salah satu yang dipelajari adalah jenis-jenis permaianan anak Jakarta. Sudah beberapa kali Frisch mengeluh dalam mengajarkan Bas mengenai pelajaran ini. Menurutnya seharusnya ini bukan pelajaran cukup sebagai pengetahuan artinya menurut Frisch tidak perlu ada uji kompetensi.

Aku mengambil buku Bas dan membaca sejenak.
”Ini permainan mama dulu, waktu mama kecil. Lagunya memang seperti itu” Ujarku
”Kok saya tidak tahu?” tanya Frisch.
”Kamu besarnya dimana?”
”Di Bogor” Jawab Frisch lugu
”Ya inikan permainan anak Jakarta, kalau kamu tidak tahu ya pantas saja” jawabku.
”Masa ada permainan seperti itu” kata Frisch lagi
”Buktinya ada di buku pelajaran Bas. Dulu kami memainkannya” Ujarku.
“Kalau gitu, kamu saja yang jelaskan” Ujar Frisch. Seraya berdiri dan menangkap Van yang sedang memainkan rambutku.

Ku minta Bas membacakan dengan keras materi pelajaran ”Keripik jengkol gado-gado lontong”. Setelah Bas selesai membacakan, aku menguji dengan beberapa pertanyaan yang menjadi kunci dari permainan tersebut.
Permainan keripik jengkol gado-gado lontong, bisa dimainkan paling sedikit oleh berapa orang? (Jawab, 3 orang )
Bagaimana posisi para pemain? (Jawab, Berdiri saling membelakangi dan kaki kiri di bengkokan)
Bagaimana posisi kaki para pemain seanjutnya?( Jawab: kaki yang sudah dibengkokkan saling berangkai atau berkait)
Setelah kaki pemain terangkai atau terkait apa lagi yang dilakukan? (Jawab, para pemain tersebut berlompat-lompat dan bertepuk tangan sambil menyanyikan keripik jengkol gado-gado lontong)
”Kapan permainan tersebut berakhir? (Jawab: Jika rangkaian kaki terlepas)

Usai menguji Bas dari terori permainan tersebut, aku mengajak Bas dan papanya untuk mempraktekan permainan tersebut. Van tidak diajak serta karena terlampau kecil. Ia cukup jadi penonton sambil tertawa-tawa.

Permainan ini mudah, cuma menjadi tidak mudah jika aku dan Frisch yang sudah kelebihan berat badan harus mengaitkan kaki-kaki kami ke kaki Bas yang kecil. Tapi upaya kami akhirnya berhasil juga setelah memerlukan usaha dan kesabaran menahan rasa geli. kaki kami bertiga terkait. Mulailah kami melompat perlahan-lahan sambil bernyanyi ”Keripik jengkol gado-gado lontong” berulang-ulang tanpa ditambahkan” Keripik bau makannya jangan banyak-banyak!”

Tanpa sadar, aku telah mempraktekan pendidikan pada anak dengan metode Belajar sambil bermain. Bukan karena merasa sok pinter atau mencoba-coba biar kelihatan terdidik. Sungguh aku melakukannya karena memang harus dimainkan. Bas senang mempelajarinya dan tidak merasa tertekan dengan begitu aku dan papanya bisa berharap Bas bisa mengerjakan soal-soal pada uji kompetensinya dengan baik juga.

Permainan-permainan dalam buku pelajaran tersebut, adalah jenis-jenis permainan yang memang aku mainkan ketika kecil dulu. Aku merasa geli karena untuk generasi sekarang permainan itu harus dituliskan dalam teori yang dipelajari. Bukan jenis permainan sebagai ajang sosialisasi. Seiring berjalannya waktu, permainan anak-anak yang yang biasa dimainkn pada waktu bulan purnama kini tinggal menjadi catatan dalam pelajaran buku sekolah. (Icha Koraag. 29 Nov 2006)

Tuesday, November 07, 2006

MENGAPA KITA BERMULUT SATU?


Sekolah baru saja di mulai setelah libur Idul Fitri yang cukup lama. Semalam, aku mendampingi Bastiaan belajar. aku dan papanya Bas selalu secara bergantian dalam mendampingi Bas belajar. Selain untuk variasi suasana disesuaikan kondisi kami. Kalau aku terlalu lelah, daripada saat mendampingi jadi emosi lebih baik, papanya yang menemani. Begitu juga kalau Frisch lelah, aku yang akan menggantikan. Kalau kami berdua sama-sama lelah, kami sama-sama mendampingi dan menyertakan Vanessa, sehingga belajarnya agak santai.

Ini kami lakukan, karena kami sadar perlunya mendampingi anak belajar tapi juga sadar keterbatasan kami sebagai orang tua. Kami cuma manusia biasa yang mungkin saja menjadi khilaf kalau lelah atau emosi. Bas menurutku, anak yang lumayan mempunyai daya tangkap cepat dan daya ingat yang kuat. Kami tidak sering-sering belajar berempat, karena ada kalnya Bas memerlukan konsentrasi penuh. Misalnya jika ada uji kompentensi. Bila keadaan seperti itu, jika papanya yang mendampingi maka aku akan menemani Vanessa.

Sebetulnya belajar berempat sangat menyenangkan. Walau kami lelah tetap bisa lebih santai karena kerap di selingi ketawa terutama saat Bas membaca sesuatu dan Vanessa menginterupsi dengan celetukannya yang lugu. Seperti saat Bas membaca kata pantai. Saat Bas baru sampai pada suku kata ”pan”, Van sudah melanjutkan dengan ”ci”, Jelaslah aku dan papanya juga Bas tertawa ngakak. Karena kalimatnya menjadi ”Andi dan Nina merasakan pasir pada jemari kakinya di panci!”

Dua hari sebelum masuk sekolah aku mengulang kembali pelajaran sekolah sebelum libur, sekedar pemanasan. Ternyata Bas bisa menjawab dan menjelaskan dengan baik apa yang dia tahu dan dia ingat. Aku tidak terlalu khawatir dengan pelajarn matematika dan berhitung. Aku lebih memberi perhatian atau penekanan lebih pada pelajaran yang membutuhkan pemahaman bahasa. Seperti bahasa Indonesia, IPS, PPKN, IPA dan Penjaskes.

Pelajaran SD kelas satu, hampir semua mata pelajaran mempelajari hal yang sama. Jika Bahasa Indonesia awalnya mempelajari bunyi-bunyian huruf yang tentunya memerlukan alat bicara dalam hal ini mulut, maka pelajaran agama juga di mulai dengan satu tubuh banyak anggota dan di awali dengan kepala, dimana pada bagian wajah terdapat mulut.

Begitu juga pelajaran IPA yang di awali dengan mengenal tubuh. Lagi-lagi di awali bagian atas tubuh, yaitu kepala. Begitu banyak pelajaran yang dimulai dengan anggota tubuh dalam hal ini bagian kepala, saya memerlukan waktu tersendiri untuk mempelajari masing-masing supaya dapat menjelasan kepada Bas sesuai penekanan pada masing-masing mata pelajaran.

Semalam ketika mengulang pelajaran IPA, tentang panca indera yaitu mata, mulut, telinga, hidung dan lidah (mengecap) serta kegunaannya, terjadi percakapan berikut:
”Bas, mengapa kita bertelinga dua?” tanyaku
”Itu supaya kita bisa banyak mendengar” Jawab Bas
”Lalu mengapa kita bermulut satu?” tanyaku lagi
”Itu supaya kita tidak banyak biacara” jawab Bas.
Sesaat aku memanndang Bas lalu aku katakan: ”Tapi mengapa Bas lebih sering berbicara daripada mendengarkan?” tanyaku lagi. Sesaat ku lihat Bas diam dan memandangku. Bola matanya yang bulat dan hitam terbuka, bibir mungilnya jadi semakin lancip dan keningnya sedikit berkerut.

”Bas, Tuhan memberi kita telinga dua, seperti Bas bilang supaya kita banyak mendengar. Itu berartri Bas harus lebih banyak mendengar apa kata mama, kata papa, kata ibu guru juga ucapan-ucapan orang lain termasuk ucapan teman-teman Bas.” Aku diam memperhatikan reaksi Bas. Ia masih menatapku.
”Terus?” tanyanya
”Jadi mulut kita yang cuma satu ini, digunakan untuk tidak terlalu banyak bicara. Boleh bicara tapi yang perlu-perlu saja. Kalaupun Bas banyak mendengar tetap perlu berhati-hati. Artinya ada ucapan-ucapan tidak baik yang Bas dengar, akan menjadi baik kalau tidak Bas ucapan.” kataku menjelaskan.
”Mengapa?” tanyanya lagi
”Misalnya, ucapan-ucapan yang memaki. Terdengarnyakan tidak enak. Bas marah tidak kalau di bilang Bas jelek?” tanyaku
”Yah marah!” jawab Bas cepat
” Atau Bas bau, belum mandi1”
”Marah!” Bas makin kesal.
”Nah apa yang Bas dengar tidak enak baik ditelinga maupun di perasaan Bas, maka akan menjadi baik kalau Bas tidak membalas ucapan-ucapan seperti itu. Kalau kata papa, masuk kuping kiri...
”Keluar kuping kanan!” Sambung Bas cepat. Kali ini ia tertawa.
”Tapi kalau pelajaran?”
”Masuk kuping kanan, tutup kuping kiri, tutup mata dan simpan di otak! Jawab Bas cepat.

Sebagai ibu bekerja, mendampingi anak belajar menjadi semangat tersendiri, saat mengetahui, anak paham dengan apa yang kita ajari. Dari pelajaran yang sederhana bertelinga dua dan bermulut satu, sesungguhnya aku menarik pelajaran yang lebih penting.

Tuhan sudah memberikan pelajaran kehidupan yang nyata dari anggota tubuh kita. Bahwsannya banyak mendengar jauh lebih baik ketimbang banyak bicara. Sayang kita kerap salah mengartikan. Banyak bicara menjadi semacam kekuatan untuk menjadikan diri terkenal. Beranggapan dengan keras suara dan gencarnya bicara, sosok kita dikenal orang. Padahal semakin keras dan semakin gencar kita bicara jika yang disampaikan omong kosong, karena akan semakin banyak orang menutup telinganya.

Marilah kita mulai membatasi diri dalam berbicara terutama untuk hal-hl yang tidak berguna. Gunakanlah telinga kita untuk mendengar sebanyak-banyaknya. Biarlah apa yang kita dengar kita olah kembali sebelum kita sampaikan atau kita suarakan, dengan menggunakan hati dan akal pikir. Agar saat kita suarakan kembali, menjadi lebih bermanfaat. (Jakarta 8 November 2006)

Tuesday, October 17, 2006

TIDAK MAU BERTELINGA PANJANG SEPERTI KELINCI



Semalam dalam doa, aku bertanya pada Tuhan, ”Mengapa berat sekali menjadi orang tua?” Tak ada satu bukupun yang bisa dengan tuntas dan lengkap menjabarkan bagaimana dan apa yang harus dihadapi ketika menjadi orang tua.

Menghadapi persoalan kecil seperti susah makan kadang mampu membuatu tertekan. Kalau aku mau santai tidak mempedulikan anak-anak, bisa saja aku bersikap cuek atau masa bodoh seperti sikap beberapa kawan. Tapi aku tidak bisa seperti itu. Menghadapi persoalan susah makan kelihatannya memang sepele. ”Nanti kalau lapar, juga minta makan!” Komentar seorang teman. Kenyataannya demikian dengan Bas dan Van. Karena Van masih minum susu, tak makan nasi, Van tak peduli karena masih bisa dikenyangkan dengan susu. Berbeda dengan Bas, jika tidak ditawari makan, malah akan bersukacita.

Ada juga seorang kakakku yang mengatakan ”Berikan saja yang mereka suka termasuk mie instan, daripada tidak makan!” Waduh, artikel yang membahas dampak negative mie instan banyak banget. Bagaimana nasib anak-anakku kalau kubiarkan menyantap mie instan?

Tapi aku sudah mempelajari kebiasaan-kebiasaan anak-anakku. Bukan masalah apa yang dimakan tapi lebih ditentukan bagaimana suasana waktu makan. Tapi kadangkala, jika sampai rumah, energiku sudah nyaris habis. Bukan semata lelah karena bekerja di kantor tapi macetnya jalanan saat pulang membuat kelelahan bertambah parah.

Dan konyol rasanya kalau harus emosi saat memberi makan anak-anak. Kadang dalam kepasrahan aku cuma bisa tertawa. Bagaiman tidak akan tertawa kalau Van atau Bas berkata: ”Kalau mama cape, tidur saja! Nanti aku jagain!” Padahal setiba di rumah sudah pasti cape namun masih ada beberapa kewajiban yang harus dijalani, salah satunya memberi mereka makan dan menemani belajar.

Aku termasuk orang yang kerap melakuan sharing dengan orang lain dalam menghadapi persoalan anak-anak. Termasuk dengan kakak, kawan atau rubrik konsultasi di media cetak/internet.

Bahkan sisa-sisa ilmu dan pengetahuan saat mengasuh rubrik gizi keluarga di radio Pesona FM dengan Pakar Gizi dan Kuliner Tuti Soenardi, masih melekat. Sayangnya teori-teori itu tak mudah diterapkan dalam kenyatan sehari-hari. Seperti juga ketika memberi makan pada Vanessa.

Baru melihat piring makannya tanpa tahu apa yang dihidangkan, Van sudah komentar ”Yah...makan!” Kadang dengan perasaan setengah kesal aku berkata: ”Ye, siapa yang mau kasih Van makan?” Lalu kuletakkan piringnya Van di atas meja.

Biasanya Bas yang jauh lebih peka akan mendekatiku:
”Aku mau makan, mama!” kata Bas sambil memeluk dan menciumku. Persaan kesalku agak berkurang.
”Mau makan apa, kak?” tanyaku
”Apa saja yang mama masak!” Jawaban Bas langsung menghilangkan rasa kesal ini dan lelahpun luluh. Bas sungguh pandai menghibur. Ini sebenarnya berdampak pada si Van karena otomatis Van akan mendekatiku dan ikut mencium. Lalu Van akan berkata” :Aku juga makan deh!” Seakan Van paham, kalau dia makan maka aku akan senang.

Saat memberi makan Bas dan Van, aku dan papanya harus sama-sama mendampingi. Karena kalau tidak, mereka asyik ngobrol atau bermain, makanan di mulut tidak di kunyah-kunyah. Frisch kadang mengeluh, sampai berapa lama lagi mendampingi anak-anak makan seperti ini. Biasanya aku akan tertawa dan berkata: ”Nanti kalau anak-anak sudah besar, merasa menyesal karena dulu tidak mendampingi. Mumpung sekarang waktunya ya enjoy saja !”

Dalam Surat keterangan lahir Bas dan Van ada foto mereka disertai tulisan ”Tataplah bayi anda, maka semua kelelahan akan sirna!” Pertama melihat foto dan tulisan itu aku sudah berkata ”Uh gombal banget!” Kenyataannya bangun tengah malam setiap se jam sekali karena harus menyusui adalah aktivitas yang sungguh melelahkan. Dan kelelahan itu tidak lenyap saat memandang foto bayi.

Namun yang pasti ada sukacita yang tak terukur dengan kelahiran anak-anak. Apakah keberadaan anak membuat kita lelah. Pasti! Kita ini manusia biasa kadang anak-anak juga kerap membut kita kesal. Tapi kekesalan dan kekelelahan yang diakibatkan kehadiran anak tidak mengurangi kegembiraan karena kita boleh menjadi orang tua.

Jadi kalau menghdapi anak susah makan, keep smiling lah! Yakin saja semua orng tua pasti melewati persoalan yang sama. Kalau para ibu yang lain bisa membesarkan anak-anaknya, pastinya Aku dan Frisch juga mampu. Kenyataannya persoalan anak susah makan adalah persoalan yang dihadapi banyak orang tua. Kelihatannya kuncinya cuma kesabaran. Mengganti menu dan rasa tidak jadi jaminan tapi membangun suasana makan yang menyenangkan bisa membantu. Salah satunya dengan cara bercerita.

”Hayo siapa yang tahu mengapa harus akan wortel?” tanyaku
”Supaya sehat!” Jawab Bas. Dan si Van pun ikut berkata
”Supaya sehat!” Ujar Van.
”Pinter, sehat apanya?’ tanyau lagi
”Tubuhnya!” jawab Bas. Kai ini Van hanya berkata ” He-eh!”

”Bas dan Van pernah melihat kelinci?”
”Pernah! jawab keduanya serempak
”Seperti yang dipelihara papi Bogor ya ma?” tany Bas
”Aku tahu!” ujar Van
”Betul!” Kataku. Papi Bogor adalah sebutan salah seorang kakaknya Frisch yang tingga di Bogor.

”Kelinci matanya besar, bulunya lebat karena makan wortel. Jadi kalau mau matanya bagus dan sehat seperti kelinci harus makan wortel” Ujarku bercerita
”Iya tapi aku tidak mau berteling panjang seperti kelinci” Ujar Bas
”Bisa saja, kalau dengar-dengaran apa yang mama dan papa katakan. Kalau tidak nanti telinganya ditarik mama atau papa, bisa jadi panjang seperti kelinci” kataku lagi.
Di luar dugaanku Vanessa berkata: ”Itu tidak baik mama! Tuhan akan marah kalau menyakiti anak! Ucapnya dengan wajah tak berdosa. Aku langsung tertawa ngakak tapi dalam hati aku tersentil.

Aku harus lebih menjaga mulutku dalam berbicara. Memberi anak-anak makan adalah memenuhi kebutuhan pertumbuhan fisik mereka tapi menyayangi mereka, memahami, memeluk dan mencium adalah upaya memenuhi kebutuhan mental mereka. Terpenuhi kebutuhan fisk dan mental yang memadai kuyakini akan menjadikan Bas dan Van bertumbuh dengan fisik dan jiwa yang sehat. (Icha koraag, 17 Oktober 2006)

Thursday, September 28, 2006

ANAK MAMA DUA!





Seperti biasa kalau aku dan suamiku pulang kerja, Bas dan Van akan menyambut kami di muka pintu dengan teriakan Mama pulang…Papa pulang sambil bertepuk tangan lalu berlari dan memeluk aku dan suamiku secara bergantian. Ini adalah adegan yang selalu aku nantikan setiap hari. Jadi kalau aku sedang tugas keluar kota, hati ini terasa sepi, saat kembali ke hotel tidak ada yang menyambut.

Terakhir aku keluar kota, bulan lalu. Frisch mengabarkanku akan menjemput di Bandara bersama Bas dan Van. Senang luar biasa perasaanku. Penerbangan dengan pesawat dari Bandara Adisutjipto ke Bandara Soekarno-Hatta hanya sekitar 45 menit.

Di pesawat aku duduk bersama dua ibu-ibu atau tepatnya nenek-nenek. Dari pembicaraan mereka, bukan aku nguping tapi terdengar tanpa sengaja. Mereka adalah istri-istri dari pilot perusahaan penerbangan yang aku tumpangi. Tidak sengaja bertemu di pesawat. Mereka bernostalgia tentang kebijakan perusahaan penerbangan. Kelihatannya mereka menyesalkan berkurangnya fasilitas penerbangan yang kini mereka peroleh.

Dalam hati aku berkomentar, pantaslah perusahaan penerbangan ini merugi terus. Dulu mereka menikmati pernerbasngan gratis sampai ke luar negri.Tapi aku tidak mau ambil pusing. Aku tidak ingin harapanku bertemu dengan suami dan anak-anak tergantikan pemikiran mengenai kerugian perusahaan penerbangan ini.

Sesaat aku memjamkan mata, sambil membayangkan celoteh Bas dan Van. Wajah mereka yang jenaka dan kebiasaan mereka yang saling menggoda, membuatku tersenyum. Bas dan Van berjarak tiga tahun. Keseharian mereka seperti kucing dan tikus. Kalau tidak ada akan saling mencari tapi kalau ada akan bersmackdown. Mulanya sih bercanda tapi lama-lama akan menjadi pertengkaran.. Vanessa biar perempuan tapi perempuan yang tangguh. Tidak sedikitpun Van gentar dengan yang lebih besar termasuk pada Bastiaan.

Ini dampak dari kesalahan ajaran ku dan Frisch. Kami sangat menekankan pada Bastiaan, kalau Vanessa itu, adik dan perempuan jadi tidak boleh disakiti. Kami tidak menekankan hal tersebut pada Vanessa, alhasil, Bas kerap menjadi korbannya Vanessa.
Bukan mau membedakan jenis kelamin, biar bagaimanapun Bastiaan jauh lebih besar, sehingga maksud kami, Bas harus mengerti fungsi menjaga.

Yang terjadi, Vanessa sangat ringan tangan. Bukan dalam arti berbenah tapi dalam arti memukul. Mulanya pukulannya tidak terasa sakit tapi lama-kelamaan menyakitkan juga. Lagi-lagi ku akui, ini kesalahanku, menganggap pukulannya tidak sakit. Jadi kalau Bas protes biasanya aku akan mengatakan “Cuma dipukul adik saja masa sakit?”

Suatu ketika aku benar-benar dikejutkan lengkingan tangis Bas. Bergegas aku mendatangi keduanya di ruang tv. Bastiaan sedang menangis sambil memegang kepalanya dengan dua tangan. Vanessa berdiri bersender di dinding.

Yang kulakukan pertama adalah, mendekap Bas. Ini tindakan yang sangat manjur dalam setiap kejadian. Bas balas memelukku. Lalu keluarlah laporannya di sela-sela tangsinya. Setelah kuminta untuk menghentikan tangisnya, kuhapus air matanya dan kuminta Bas menceritakan kejadiannya. Hanya satu kalimat Kepalaku dipuku Van dengan remote!”

Pandanganku beralih ke Vanessa yang menatapku dengan mata besarnya. Geli rasanya melihat Van yang terlihat merasa bersalah. Ku panggil Van mendekat. Tangisnyapun pecah dalam pelukanku.

“Mengapa Van memukul kakak?” tanyaku sambil mencium kepalanya.
“Kakak nakal, Ma” Jawab Vanessa di sela-sela isak tangisnya. Bas memotong
“Kamu yang nakal, kamu yang pukul aku sih!” Seru Bas dari sampingku.
“Enggaaaaak” Jerit Van yang langsung dilengkapi “Kakak ganti tv nya, akukan lagi nonton!”

Aku langsung paham permasalahannya. Jadi Vanessa sedang menonton dan Bas mengganti chanelnya. Tapi aku tetap tidak membenarkan Vanessa memukul Bas.
“Mengapa Vanessa harus memukul? Van bisa bilang pada mamakan?”
“Aku kan….lagi nonton mama, Kakak langsung ganti. Aku jadi marah, mama”. Ujarnya perlahan.

“Jadi sekarangn kalian berdua mau apa?” Tanyaku. Kulihat keduanya bertukar pandang dengan wajah yang belum bersahabat. Dalam hati aku tertawa. Wajah mereka kusut, bibirnya cemberut dengan pandangan mata melirik.
“Sekarang dengarkan mama deh. Anak mama ada berapa?” tanyaku. Diam tidak ada yang menjawab. Kulanjutkan lagi : “Ok. Berarti mama tidak punya anak. Ya sudah mama mau pergi”. Kataku sambil berdiri. Vanessa memegang ujung dasterku. Lalu ku dengar Bas menjawab “ Dua”. Katanya.
“Apanya yang dua?” tanyaku mempertegas.
“Anak mama”.Katanya lagi
“Yang benar,?”
“Benar!” Jawab Bas. Kali ini dengan suara agak keras dan wajahnya sudah mulai ceria. Sementara Vanessa masih duduk dipangkuanku.
”Benar Van, anak mama dua?” tanyaku pada Vanessa. Yang hanya menjawab dengan mengangguk.
“Yang mana anak mama, nak?”tanyaku lagi
“Aku dan kakak Bas”. Jawab Van sambil menunjuk ke arah Bas.
“Nah kalau anak mama dua, mengapa berkelahi? Sudah bosen jadi anak mama? Mamakan selalu bilang. Anak mama ada dua harus selalu saling sayang”
“Dia sih pukul aku” potong Bas. Wajahnya kembali kusut
“Benar, Van?” tanyaku
“Enggak sih!; Jawab Van. Aku malah menjadi bingung!
“Sekarang begini saja. masih mau nonton tv? Kalau ya, silahkan nyalakan lagi dan mama tidak mau dengar ada yang berteriak atau menangis. Kalau masih ada yang berteriak, tvnya di matikan. Sampai seterusnya tidak boleh nonton tv lagi! Mengerti?” tanyaku pada Bas dan Van. Kali ini keduanya menjawab kompak “ Mengerti, mama!”

“Itu baru namanya anak baik. Mama selalu bilang, mama sayang anak baik. Sekarang, dua-dua sayang-sayangan!:” Perintahku pada Bas dan Van. Bas bertindak lebih dulu mendekati adiknya, memeluk dan berkata” Jangan pukul kakak lagi yah. Kakak sayang sama Vanes”. Sementara Vanes yang dipeluk cuma menganggukkan kepalanya.

“Sekarang peluk mama!” Pintaku sambil merentangkan kedua tangan. Bas dan Van sudah tertawa dan keduanya masuk dalam pelukanku. Kudekap erat keduanya, sambil , berdoa dalam hati: “Tuhan, mampukan aku membesarkan keduanya!”

Terdengar informasi dari pramugari, sesaat lagi pesawat akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Lamunanku buyar! Tapi hati ini senang karena ku tahu, ada suami dan kedua anakku yang menjemput. (Icha Koraag, 15 Sept 2006

Wednesday, September 27, 2006

PERTEMUAN DENGAN PIHAK SEKOLAH

Frisch dan extra joss-nya! (Bas adalah extra joss papanya. Melihat dan bercanda dengan Bas selalu menjadi penambah semangat walau lelah sehabis bekerja)


(Lanjutan: Anakku di permalukan!)


Reaksi suamiku yang tidak terima, lantaran Bas di hukum kelihatannya sudah dietahui pihak sekolah. Tadi pagi, sesudah mengantar Bas, suamiku langsung mendatangi kantor guru piket, untuk bertemu dengan guru piket hari Jumat minggu lalu.

Sebelum aku lanjutkan bercerita, baiknya aku jelaskan mengapa aku sebagai ibunya Bas tidak ikut menemui pihak sekolah. Ini hanya dari segi kepraktisan saja. Di rumah aku masih mengurus Vanessa. Jadi supaya efektif, sesaat sesudah mengantar Bas, suamiku langsung menghadap pihak sekolah, supaya persoalan tidak menjadi basi.

Guru piket hari Jumat, seorang ibu guru, ditemani kepala seklah SD keluar dengan membawa buku catatan daftar siswa yang terlambat. Suamiku menyampaikan protes keberatan atas hukuman yang diterima Bas karena terlambat waktu hari Jumat. Bas dihukum dengan cara dikalungkan tulisan ”AKU ANAK MALAS, Kemalasan adalah pangkal kebodohan!”

Hal- hal yang menjadi keberatan suamiku:
1. Bas baru kelas 1 SD. Dengan sendirinya masih bergantung pada orang lain untuk datang ke sekolah. Jadi seharusnya pihak seolah melakukan peneguran pada orang tua.
2. Bas baru pertama kali terlambat
3. Keterlambatan Bas tidak sampai 10 menit tapi harus menerima hukuman lebih dari 4 jam.

Reaksi pertama atau tanggapan guru piket.
1. Ini hukuman bukan baru diterapkan pertama kali
2. Bas terlambat, tapi orang tua tidak melapor
3. Ini hukuman mendidik karena di ambil dari kampenye Tantowi Yahya
Yang mengajak anak supaya terpacu rajin belajar.

Mendengar itu saya jadi tertawa ngakak. Tapi saya tidak menyela dan tetap membiarkan frisch bercerita.
”Lalu kamu bilang apa lagi?”
”Saya tertawa. Lalu saya katakan. Yang lain bukan anak saya. Kami baru pertama berkenalan dengan sekolah ini, Bas baru kelas 1 dan baru bersekolah 2 Bulan. Tidak pernah disosialisasikan jenis hukuman yang diterapkan pihak sekolah. Kami tidak tahu harus bersikap bagaimana kalau anak terlambat. Wong ini anak pertama”. Ujar suamiku.
”lalu, mereka menanggapi bagaimana?” tanyaku
”Kepala seolah yang menjawab. Bapak satu-satunya dari sekian banyak orang tua yang protes. Kami pihak sekolah terus terang senang. Karena berarti bapak punya perhatian pada anak dan mau berhubungan dengan pihak sekolah!” Begitu cerita suamiku.

Lagi-lagi aku tertawa, ini kepala sekolah yang aneh.
”Mereka itu latar belakangnya apa sih. Darimana mereka tahu, itu bentuk hukuman yang mendidik? Emangnya mereka sudah pernah survey?” tanyaku. Nah lu urusan pekerjaan jadi dibawa-bawa.
”Itulah yang saya sampaikan, saya tanya apa pihak sekolah sudah melakukan survey, bahwa penerapan hukuman seperti itu memotivasi anak jadi tidak malas? Bagi saya tidak ada korelasi keterlambatan dengan tulisan ”Aku anak malas!.................... eh lebih bodohnyalagi si guru piket nanya mengapa saya tidak protes sama Tantowi Yahya...........karena itu kampanyenya Tantowi.................

Sampai sini tawaku meledak. Guru piket tersebut rupanya gentar karena ada orang tua murid yang protes. Sehingga tidak mampu berpikir apa-apa. Selain itu pihak sekolah juga tidak tahu berhadapan dengan siapa. Sehingga berani berargumentasi dengan dasar yang tidak jelas.

Aku dan suamiku berlatar belakang komunikasi jurusan jurnalistik. Kami berdua sama-sama pernah bekerja sebagai reporter dan di lembaga survey. Bahkan sampai sekarang aku berkutat dengan data. Jadi kalau berbicara dengan dasar asumsi jelas kami merasa geli. Namun aku yakin, semua itu semata-mata arogansi pihak sekolah yang merasa berhak melakukan atau menerapkan aturan karena merasa sekolah yang lebih tahu. Dan reaksi pertama selalu merasa benar!

Ketika suamiku menghadap, tanpa bermaksud apa-apa hanya karena menggunakan motor, tentunya suamiku selalu mengenakan jacket. Kebetulan jacket tersebut ada lambang sebuah Surat kabar nasional. Menurut cerita suamiku, si guru piket sesumbar punya 10 saudara yang bekerja sebagai wartawan. Mulanya suamiku tidak sadar kemana arah si guru piket berbicara.
Ketika sadar suamiku hanya tertawa dalam hati lalu suamiku mengatakan lebih jauh.

”Niat saya menghadap ke sekolah adalah bentuk perhatian dan tanggung jawab saya sebagai orang tua. Karena itu saya juga meminta perhatian dan tanggung jawab pihak sekolah atas hukuman yang diterima Bas!’
”Tapi pak, tidak ada sedikitpun niat sekolah untuk mempermalukan siswa..
”Terlambat karena anak saya sudah merasa dipermalukan. Setiap persoalan tidak bisa digeneralisir, harus di lihat kasus per kasus. Bas baru kelas 1. Persoalannya akan berbeda jika Bas kelas 5 atau 6 dimana, Bas sudah lebih paham mengenai kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai siswa. Saya mengajukan keberatan karena hukuman ini tidak baik untuk siswa yang belum paham kesalahannya. Orang tua yang harus di tegur! Selain itu apakah proporsional keterlambatan tidak sampai 10 menit dihukum 4 jam?”

Menurut suamiku, pihak sekolah berjanji akan mengevaluasi bentuk hukuman dan mohon masukan dari orang tua kira-kira apa hukuman yang mendidik. Pihak sekolah berterima kasih atas pertemuan hari ini dan berjanji hukuman dengan mengalungkan tulisan seperti itu tidak akan diterapkan pada seluruh siswa kelas 1 dan 2. Dan akan dilihat kembali kesalahan yang bagaimana yang bisa dikenakan hukuman seperti itu. Misalnya tidak membuat PR atau lupa hafalan dll. Dan berapa lama anak menerima hukuman juga akan dipertimbangkan kembali.

Akhirnya aku lega, walau tidak mengikuti secara langsung pertemuan tersebut.
”Padahal masih banyak yang ingin saya sampaikan pada pihak seolah” ujar suamiku
”Apalagi?” tanyaku
” gara-gara hukuman yang tidak seharusnya diterima Bas, anak jadi menghujat orang tua!” Ujarnya sambil menghembuskan nafas.
”Maksud kamu?”
”Reaksi pertama Bas, waktu saya temui dikelas dan mempertanyakan hukuman itu, Bas berkata: Ini bukan kesalahan aku! Dan harus saya akui benar! Apa itu namanya bukan mengujat kita sebagai orang tua? Dan kedua hanya narapidana yang dikalungkan tulisan pada waktu diambil gambar dengan keterangan nama dan pasal KUHP yang dilanggar!” Kata Frisch sambil menerawang jauh.

Aku tidak bisa berkomentar untuk urusan menghujat orang tua karena memang bukan kesalahan Bas. Aku, ibunya yang bersalah. Keterlambatannya dipicu aku yang lupa meletakkan kacamata dan HP sehingga terlambat berangkat karena mencari kedua benda tersebut.

Sedangkan anggapan suamiku yang merasa hanya narapidana yang dikalungkan tulisan aku juga tidak mau berkomentar langsung. Tapi dalam hati aku berkata ”Terlalu dibesar-besarkan!” Untunglah tidak diucapkan pada waktu bertemu dengan pihak sekolah. Namun aku juga yakin, semua itu karena besarnya rasa sayang seorang Frisch pada Bastiaan. Diam-diam suamiku juga mempertanyakan padaku ”Apakah prilakunya bisa disebut over protektive?”

Terlepas dari semua itu, persoalan selesai sampai di sini. 2 hal yang bisa kupelajari dari kejadian ini. Pertama, sebagai orang tua, aku harus lebih sigap mempersiapkan agar Bas tidak terlambat, kedua komunikasi dengan sekolah perlu dibina agar sebagai orang tua tetap bisa mendapatkan informasi perkembangan anak dengan segala aturan yang diberlakukan pihak sekolah. Hmmmm habis bagaimana dong, menjadi orang tua yang punya anak duduk di SD kan pengalaman baru bagiku dan Frisch. Mudah-mudahan kami dapat terus belajar dan belajar.

Monday, September 25, 2006

Kisahku: Rambutku Kering, Aku Tidak Seksi


Kisahku: RAMBUTKU KERING, AKU TIDAK SEKSI


Vanessa sangat senang membasahkan kepalanya. Aku kerap marah karena aku mengkhawatirkan Van masuk angin. Selain itu, Van paling tidak bisa dengan baju atau celana yang basah. Jadi setiap kali Van membasahkan kepalanya, otomatis berarti Van akan ganti baju. Jadi terjawab sudah keherananku jika melihat banyaknya tumpukan baju yang di setrika. Jadi satu ketika, aku mempertanyakan pada Van apa yang dilakukannya.

”Van, mengapa selalu membasahkan rambut?”
’Karena rambutku kering” ujar Vanessa
”Loh, semua orang juga begitu, nak. Rambut basah hanya kalau sesudah mandi. Lama-lama akan kering juga” Ujarku menjelaskan.
”Tapi kalau rambutku kering aku tidak seksi. Kan papa juga selalu basahin rambutnya” Jawab Van dengan lugu. Pertama, aku sungguh terkejut dengan istlah yang digunakan Van. Kedua, sungguh aku tidak menyangka, kebiasaan Frisch membasahkan kepala di tiru Van.

Dua hal tadi memang bersumber dari papanya. Papanya memang tidak tahan dengan panas, sehingga jika cuaca panas, Frisch bisa berkali-kali ke kamar mandi membasahkan rambutnya. Untuk istilah seksi, Frisch pun kerapkali berkomentar saat Van selesai mandi ”Aduh wajahmu seksi sekali kalau rambutmu basah!”

Aku yakin Van tidak paham dengan ucapan papanya tapi papanya lupa, komentar itu sering dilontarkan hingga membekas dalam memori Van. Ujung-ujungnya aku yang ngomel lantaran Van sering membasahi kepala dan berganti baju.

Pernah dalam satu kesempatan berdiskusi dengan pakar psikologi perkembangan anak Dra. Surastuti Nurdadi, M.Si, beliau mengatakan sesuatu yang diingat seorang anak adalah hal yang terus menerus didengar atau dilihat.

Pernah suatu ketika, saya merasa jengkel ketika Bastiaan mempertanyakan mengapa ia, tidak boleh main play station di hari sekolah. Padahal aku sudah mnejelaskan panjang dan lebar alasannya.

”Ma, mengapa aku tidak boleh main play station?” tany Bas
”Karena besok bukan hari libur” Jawabku
”Iya, tapi sekarangkan aku sudah pulang sekolah”
”lalu?”
”Berarti aku boleh main play station” Simpul Bas
”Oh bukan begitu, nak. Hari sekolah, Bas harus belajar dan belajar!” Jawabku
”Aku kan sudah belajar, berati aku boleh main, please?” kali ini dengan suara memelas.
”Tidak nak. Beberapa kali mama dan papa ijinkan Bas bermain PS tapi Bas tidak tepat janji. Bas tidak tidur siang, Bas di suruh mandi selalu menjawah nanti, makan sayur masih protes. Mama dan papa bilang, kalau Bas dengar dan turuti apa yang mama dan papa bilang, maka mama dan papa ijinkan main PS di hari sekolah. Tapi Bas belum bisa, makanya mama dan papa tidak mengijinkan main PS kecuali besok hari libur” Jawabku menjelaskan.
”Apa sih masalahnya?” tanya Bas. Aku terkejut mendengar pertanyaannya. Panjang dan lebar aku menjelaskan lalu tiba-tiba Bas bertanya ”Apa masalahnya?”
”Maksud Bas?” tanyaku heran
”Mama dan papa selalu akhirnya bertanya seperti itu, jadi aku juga tanya?” Dalam hati aku ingin tertawa. Bas tidak tahu dengan apa yang diucapkannya. Dia mengatakan itu, karena ia kerapkali mendengarkan percakapanku dengan papanya dan salah satu kalimat yang mungkin sering di dengarnya adalah pertanyaan ”Jadi apa masalahnya?’

Memang banyak cara yang dilakukan anak dalam proses belajar. Salah satunya adalah lewat proses meniru. Dan pengajar yang utama dan pertama di tiru anak-anak adalah orang-orang terdekat mereka. Bisa jadi orang tua, pembantu, atau orang-orang yang berada satu rumah dan sehari-hari beraktivitas dengan anak tersebut.

Karena kerap ditiru, maka aku merasa perlu berprilaku yang baik agar Bas dan Van meniru yang baik. Namun keterbatasan sebagai manusia yang jauh dari sempurna, seringkali aku dan suami tidak sadar kalau ada peniru di sekeliling kita.

Demikian pula anak-anakku, karena tingkat pemahaman yang terbatas baru sampai pada tahap meniru, maka Bas dan Van tidak menyeleksi yang mana yang boleh/layak di tiru.
Menurut saya di sini ada unsur menghafal. Anak tanpa sadar menghafal apa yang di lihat dan di dengar. Dan itulah yang terjadi pada Bas dan Van. Mereka meniru, baik prilaku, perkataan maupun perbuatan.

Dari dua kejadian yang kualami, aku dan suamiku membuat kesepakatan untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan kata-kata jika bercakap-cakap dengan anak-anak, berprilaku dan bersikap. Karena kami punya 2 peniru kecil yang selalu siap mengejutkan kami dengan hasil tiruan mereka dari gaya bicara, gaya prilaku dan gaya bersikap kami.

Di satu sisi kami percaya hal baik dalam keseharian kami juga akan di tiru, persoalannya kami belum tahu hal baik apa yang akan mereka tiru. Karena itu yang bisa kami lakukan adalah lebih berhati-hati. Dan selalu saling mengingatkan. Memang tidak mudah menjadi orang tua tapi kami tetap selalu bersyukur karena diberi kesempatan menjadi orang tua. (Icha koraag, 25 sept 2006)

Sunday, September 24, 2006

Anaku di Permalukan!




Orang tua mana yang bisa menerima jika anaknya dipermalukan? Jumat, 22 Sept , minggu lalu, sesaat sebelum aku makan siang, HP ku berbunyi dan nampak nama ”Papa Bas” di layar hp ku.
”Halo” Sapaku
”Sedang apa, ma?” tanya suamiku di seberang telephone
“Siap-siap mau makan siang, ada apa?” Ganti aku yang berbalik tanya.
“Saya cuma mau kasih tahu. Bastiaan dipermalukan di sekolah! Ujarnya dengan suara bergetar. Aku paham, suamiku berusaha menahan amarah.
”Sabar pa, cerita dulu dong!”
”Nanti saja di rumah!” dan suamiku mengakhiri pembicaraan.

Kini tinggal aku yang termangu, mana bisa aku konsentrasi bekerja kalau mengingat cerita suamiku tadi. “Bastiaan dipermalukan”. Oleh siapa dan mengapa?” tanyaku dalam hati. Tak sabar rasanya menanti jam pulang kerja.

Saat jam kerja usai, suamiku sudah menjemput. Kami sepakat singgah di warung soto untuk berbicara. Mulailah suamiku bercerita. Yang diceritakan terlebih dahulu bukan persoalan Bas tapi pergumulan suamiku yang tidak terima karena hukuman yang diterima Bas.

Ketika suamiku datang ke sekolah untuk mengantarkan seragam Tae Kwon Do karena setiap jumat Bas mengikut ekskul tersebut. Biasanya suamiku akan melihat Bas yang bersenda gurau dengan kawan-kawannya di lapangan sekolah. Karena di lapangan tidak nampak, suamiku berjalan ke kelas Bas dan disana ia melihat Bas sedang duduk dengan tangan bersidekap di dada.
”Halo Bas, kok tidak ke lapangan?” sapa suamiku
”Aku malu!” Jawab Bas sambil menundukkan kepalanya di meja.
”Malu kenapa Nak?” suamiku menjadi heran. Perlahan Bas melepaskan tangannya dari dada dan nampak sebuah tulisan yang dikalungkan di lehernya ”AKU ANAK MALAS. Kemalasan mengakibatkan kebodohan”

”Reaksi pertama membaca tulisan tersebut, saya membenarkan. Lalu saya katakan pada Bas. Sama seperti yang sering Papa dan mama katakan, kakak tidak boleh malas belajar! Cerita suamiku. Tapi betapa terpukulnya saya, ketika Bas dengan tegas mengatakan: Aku dikalungkan tulisan ini bukan karena aku malas belajar tapi tadi pagi aku terlambat datang ke sekolah!”

Sebelum suamiku melanjutkan ceritanya, aku yang merasa terpukul. Keterlambatan Bastiaan berkaitan dengan aku. Jumat pagi tadi aku ada ”Breakfast Meeting”. Karenanya aku ikut berangkat saat Bas di antar suamiku. Cuma karena aku teledor, aku lupa meletakkan kacamata dan HP sehingga ketika akan berangkat, jadi tertahan untuk mencari dua benda tersebut. Ahirnya dua benda tersebut tidak ketemu dan Bastiaan terlambat.

”Aku menyesal gara-gara aku, Bas dipermalukan! Ujarku penuh penyesalan.
”Itulah! Kemarahan saya atau ketidak terimaan saya Bas dipermalukan karena bukan kesalahan Bas!” Ujar Frisch dengan emosi.
”Iya tapi kan sekolah tidak tahu kalau Bas terlambat karena aku!” kataku lagi.
”Ma, apakah hukuman dengan mengalungkan tulisan semacam itu mendidik? Bas begitu shock, menurut kawan-kawan dan satpam dia tidak keluar kelas saat jam istirahat. Belum lagi menahan rasa karena kawan-kawan yang mengolok-oloknya.” Frisch masih emosi. Lalu dilanjutkan dengan suara bergetar kali ini mehahan tangis.
”Kamu tahu ma, demi anak-anak aku rela bangun sebelum pukul 5 pagi biarpun aku baru dari luar kota. Agar jangan terlambat...apakah sikap seperti ini over protecktive?”
”Entahlah, yang pasti mama menyesal, ini kesalahan mama” kataku dengan perasaan tidak enak.
”Ok. Tapi bukan itu masalahnya. Bas ini baru kelas satu, kalau dia sudah merasa tidak nyaman di sekolah, bagaimana dia mau terus bersekolah? Saya sangat bersyukur Bas tidak pernah mengeluh walau pukul 5 pagi sudah harus bangun. Tapi kalau sekolah memberi hukuman tidak mendidik justru membuat secara kejiwaan Bas terluka, saya merasa sangat sakit, ma!’ Ujar suamiku dengan penekanan kata pada sakit!

Jujur sayapun terluka. Bahkan terluka 3 kali lebih banyak dari yang di rasa Bas dan Frisch. Pertama Ibu mana yang rela anaknya dipermalukan. Kedua aku punya andil atas keterlambatan Bas. Ketiga, betapa pedih ati ini mengetahui kecintaan Frisch pada Bas yang sangat luar biasa dan kini dihadapanku berusaha menahan airmata ketidakrelaan akan anaknya yang dipermalukan.
”lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku pelan
”Saya akan menemui guru piket tersebut atau kepala sekolah untuk memprotes” Jawab Frisch
”Tapi kalau hukuman itu sudah lama diterapkan dan tidak ada yang protes?” tanyaku
”Anak orang bukan urusan saya, tapi Bas tanggung jawab saya. Dan hukuman itu tidak mendidik. 3 hal mengapa saya tidak terma. Pertama, Bas baru kelas satu dan untuk ke sekolah Bas masih bergantung dengan orang lain dalam hal ini orang tuanya. Karena itu tegurlah orang tuanya. Kedua, ini keterlambatan Bas yang pertama. Ketiga, Bas terlambat tidak sampai 5 menit, apakah adil dia dipermaukan 4 jam?

Aku tidak berkomentar atas analisa Frisch karena aku membenarkan. Aku hanya berpesan, untuk menjaga pembicaraan denga pihak seolah tidak emosi dan tetap sopan, karena biar bagaimanapun Bas baru kelas satu, kami masih akan terus berhubungan dengan pihak sekolah selama Bas masih terdaftar sebagai murid.

Frisch mengatakan, justru karena hal tersebut, maka sebagai orang tua kita harus mengemukakan uneg-uneg agar jangan menjadi kenadala di kemudian hari, apalagi sampai mempengaruhi kegiatan belajar Bas di sekolah.

Selesai saling mencurahkan isi hati kamipun bergegas pulang. Seperti biasa saat mendengar suara motor suamiku, Bas dan Van langsung muncul di muka pintu. Tertawa dan bertepuk tangan sambil berkata ”Mama pulang....Papa pulang!” Hatiku sedang sakit sehingga agak sulit memunculkan senyum di wajah. Ku sembunykan wajahku di dada Van. Sementara Bas memeluk pinggangku.

Keduanya mengiring aku kekamar. Van pindah kepelukan papanya, akupun memeluk Bas. Dengan menguatkan hati kucoba memulai pembicaraan dengan Bas.
”Mama dengar dari papa, Kakak tadi di hukum ?”
”Iya. Di suruh pakai kalung tulisan ”Aku Anak Malas............
”Benar kakak malas?” tanyaku
”Eh...aku dikalungkan tulisan itu karena aku terlambat” Jawab Bas lagi
”Bagaimana teman-teman kakak?”
”Ya aku diledek-ledek tapi aku bilang kalau nanti kamu pakai kalung seperti ini, mau tidak aku ledek-ledek? Kalau tidak ya jangan meledek dong. Jadi tidak di ledek lagi.
”Kakak malu?” tanyaku. Kali ini Bas mengangguk. Aku memeluknya.
”Maafin mama kak, gara-gara mama kakak jadi terlambat dan di hukum!” kataku tanpa melepaskan pelukan. Bas hanya tertawa.

Aku tidak tahu apa yang dirasa Bas. Tapi berharap, ini tidak akan terulang dan hukuman yang diterima Bas tidak meninggalkan trauma. Dan aku mendukung rencana Frisch yang akan menemui guru piket dan pihak sekolah untuk memprotes. Hak kami sebagai orang tua untuk menyampiakan sesuatu yang dirasa kurang pada tempatnya.

Ini juga bentuk masukan kami, agar sekolah bisa memberikan sanksi yang lebih mendidik!
Sehingga pengalaman Bas tidak dialami anak lain dan kami turut menjaga kelangsungan proses belajar mengajar yang lebih kondusif. Semoga Bas, menjadi anak terakhir yang dipermalukan!” (Icha Koraag)

Tuesday, September 19, 2006

Ibu Kartini bukan pahlawan!

Bas dengan pakaian Sulut!


Di sela-sela kesibukanku bekerja di sebuah lembaga penelitian sosial dan pasar, aku masih menyempatkan menulis. Baik itu cerpen, puisi atau artikel. Kegiatan menulis yang sudah kumulai sejak kelas tiga SD merupakan tempatku mencurahkan perasaan dan pemikiranku.

Seperti juga malam ini. Aku tengah asyik menulis ketika sulungku mendekat.
“Mama lagi apa?” Anak sulungku bertanya sambil memandangku. Bola matanya yang bulat dan jernih penuh rasa ingin tau.
“Sedang menulis, kakak sudah selesai membuat PR-nya?”
“Sudah. Ini ada surat dari sekolah” Ujarnya sambil mengulurkan undangan berbentuk kupu-kupu yang terbuat karton bekas kemasan air minuman.

“Coba mama baca, undangan apa sih?”
“Kartinian. Di sekolahku ada Kartinian!” Kali ini ia berkata dengan berapi-api dan terburu-buru, mungkin tak sabar ingin menyampaikan informasi. Anak sulungku waktu itu baru mau berusia lima tahun dan masih di TK .
“Kartinian…? Kartinian itu apa? “ Tanyaku. Ia diam sejenak seakan berpikir mencari kata untuk menjelaskan.
“Pokoknya mama baca deh. Mama sama papa datang dan duduk lihat aku Kartinian!” Ujarnya masih dengan nada yang terburu-buru.

“Ok. Tunggu, mama baca dulu yah” Di Undangan itu diinformasikan mengenai perayaan hari Kartini yang akan diisi dengan karnaval, tarian-tarian dan bazaar hasil karya murid-murid TK.
“Iyakan ma. Mama dan papa di undang?”
“Iya, tapi emangnya ada apa sih, sampai mama sama papa harus datang? tanyaku lagi
“Aku mau baca puisi” Jawabnya pelan.
“Baca puisi, kakak sudah bisa baca puisi?” tanyaku sambil menunjukan wajah heran.
“Iya, aku hebat kan, ma?” tanya Bas sambil mengerlingan matanya.
‘Wah, mama harus datang".
“Tapi aku pakai baju apa?”
“Memangnya harus pakai baju apa?”
“Baju daerah. Aku orang apa ma?
“Loh yah orang Indonesia dong.”
“Iya tapi orang apa. Fairuz orang Padang. Inez orang Jawa, aku orang Menado yah?” Geli benar perasaanku melihat ia bertanya.

“Iya, kakak orang Menado, jadi orang Gorontalo juga boleh!” Aku memang dari Menado dan suamiku dari Gorontalo.
“Jadi aku pakai baju apa?”
“Pakai baju anak raja!”
“Mana?”
“Besok pulang kerja mama bawa”
“Ok deh!” jawabnya sambil tersenyum
“Kak, Kartini itu siapa sih?”
“Kartini itu ya ibu Kartini” Jawabnya lalu dilanjutkan dengan bernyanyi
“Ibu kita Kartini, putri sejati. Putri Indonesia harum namanya. Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia…..

Aku ikut bernyanyi bersamanya dan setelah selesai kami sama-sama bertepuk tangan.
“Kakak tahu tidak, ibu Kartini itu seorang pahlawan?”
“Ya tidak dong, ma.
“Kok tidak?”
“Pahlawan itu jagoan kayak Kuga, Batman, Spaiderman dan Kapten Tsubasa. Jagoan itu laki-laki.. Ibu Kartini kan perempuan. Namanya saja Ibu Kartini! Kali ini dengan penekanan pada kata Ibu Kartini.
Waduh…bisa kacau kalau anakku beranggapan pahlawan itu hanya laki-laki.
“Pahlawan memang mirip dengan jagoan tapi tidak selalu laki-laki” Aku terdiam. Aku sedang berpikir bagaimana mencari kalimat sederhana yang mudah dipahami Bas. Aku jadi teringat jagoan perempuan dalam film yang pernah di tontonnya. 

“Jagoan itu laki-laki!” Katanya dengan tegas. Dalam hati aku menyetujui pendapatnya. Memang jagoan itu laki-laki karena kalau perempuan mustinya betina. Aku masih penasaran dengan pendapat anaku.
“Kak, ingat film Tom Rider?”
“Iya!”
“Itukan jagoannya perempuan”. Kulihat anakku berpikir.
“Iya!”
Jadi jagoan tidak harus selalu laki-laki dong?” Anakku diam sambil memainkan pistol-pistolan ditangannya. Ia nampak berpikir seerius.
“Tapi itu kan di film, Ma!”
“Batman, Spaiderman dan Kapten Tsubasha juga film!”
“Iya tapi…
“Mama, jagoan apa bukan?” potongku cepat.
“Iya, mama jagoan Van dan papa jagoan aku!” Pemahamannya agak lumayan, tapi tetap gender.
“Mama bukan jagoan kakak?”
“Mama kan perempuan, jadi jagoannya Van dan Papa jagoan aku!”
“Ibu Kartini Jagoan atau tidak?”
“Itu pahlawan!” Jawabnya
“Jadi pahlawan itu boleh perempuan atau tidak?”

Bastiaan diam sesaat, tampaknya ia berpikir. Akhirnya Bastiaan berkata: “Aku bingung!” Ucapnya dengan wajah yang lucu. Aku langsung memeluknya. Sambil berkata. Pahlawan itu bisa laki-laki dan bisa perempuan. Sama seperti jagoan. Jagoan bisa laki-laki dan juga bisa perempuan. Makanya Pahlawan itu bukan Cuma Ibu Kartini tapi ada juga Tjut Nyak Dien. Dan yang laki-laki ada Pangeran Diponegoro,
“Pangeran?”
“Iya, pangeran. Namanya Pangeran Diponegoro
“Kalau Raja ada atau tidak?”
“Ada tapi dulu disebutnya Sultan. Misalnya Sultan Hasanudin dari Makassar!”
“Pahlawan kita banyak?”
“Banyak, karena Negara kita besar”.
“Aku bisa jadi pahlawan tidak?”
“Bisa kalau kakak selalu berbuat baik dan membela yang lemah. Misalnya jagain Van. Bukan malah gangguin.”.
“Kalau aku jagain Van, aku pahlawan?”
“Ya, pahlawan Mama dan Papa!” Ucapku sambil mencium kepalanya.

Tidak mudah menjelaskan suatu konsep yang abstrak untuk anak-anak seusia anakku. Tapi aku selalu mencoba dan terus mencoba. Aku tidak ingin memaksaan suatu pemahaman, aku ingin anakku memahami hidup sebagimana adanya. .(Icha Koraag 18 April 2005).



Note: Aku menyiapkan pakaian daerah untuk Kartinian, Bas!