Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Sunday, July 01, 2007

VANESSA KE DOKTER GIGI!

Minggu lalu aku membawa Vanessa ke dokter gigi. Kegemarannya makan permen dan coklat serta minum susu pada waktu tidur menyebabkan gigi Van rusak. Seharian dibuatnya aku tak bisa melakukan apa-apa karena obat yang kuberikan tak meringankan sakitnya. Setiap kali kutanya, "Apa yang sakit cantik?". Dengan setengah merengek Van menunjukan pipi kanannya sambil membuka mulut.

Aku memang melihat dua gigi graham bawah yang berlubang. Ku sentuh perlahan, Van makin mengaduh. "Sakitnya seperti apa?" tanya papanya. "Sakitnya pindah-pindah!' keluh Van sambil meringis. Aku menduga pasti sakitnya sangat menggigit dan cenut-cenut. Aku memberikan obat pereda rasa nyeri tapi tidak membantu.

Dengan manjanya Van mengatakan, "Kalau sakit bergini, enaknya digendong!" Aku tergelak-gelak dan ku katakan "Tidak ada kaitannya kaki dengan gigi". Soalnya berat badan Van suah cukup lumayan dan aku tak mampu lagi menggendongnya.

Jadi ku bujuk untuk berpelukan saja. Kami berbaring di tempat tidur dan berpelukan. Aku mengusap-ngusap punggungnya dan membisikan cerita-cerita, agar Van terlupa dengan sakitnya. Sesekali papanya menggoda dan membuatnya tertawa. Aku dan papanya membujuk dan mengatakan akan membawanya ke dokter gigi untuk disembuhkan. Untunglah Van anak yang berani jadi ia menyetujui ajakan ke dokter gigi. Akhirnya dengan masih tersedu-sedu Van tertidur.

Bertiga kami ke RS sakit. Jadual dokter gigi untuk anak-anak ada pada hari Sabtu. Sejak kemarin Bas menginap di rumah adik papanya. Jadi aku dan pasangan leluasa membawa Van ke dokter gigi.

Ini adalah kali pertama Van berkunjung ke dokter gigi. Aku agak khawatir karena menurut dugaanku, Van tidak takut karena Van tidak tahu akan di apakan saat di dokter gigi. Kami sempat menunggu karena pasien cukup banyak. Ketika nama Vanessa di panggil, Van dengan sigap menggandengkku masuk. Papanya menjauh karena memang takut dengan peralatan kedokteran khususnya dokter gigi.

Van dengan penuh rasa ingin tahu langsung naik ke kursi dan memperhatikan dengan serius peralatan kedokteran gigi di sekitarnya. Kursi besar berlengan dan diatasnya ada semacam lengan besi yang berisi peralatan serta lampu. Di sisi kiri Van ada gelas berisi air dan wadah untuk membuang air sisa kumur-kumur.

Melihat keberanian Van, aku jadi teringat beberapa tahun lalu ketika membawa kakaknya, Bas ke dokter gigi. Keberanian keduanya tak jauh berbeda. Aku tak menemukan kesulitan apa-apa membawa kedua anakku ke dokter gigi. Bahkan dokter gigi Bas dulu, seorang ibu yang mempunyai 3 anak semuanya perempuan. Jadi bu dokternya sangat menyukai Bas. Kebetulan bu dokter sudah pernah bertemu dengan Bas beberapa kali saat menemani sepupunya ke dokter yang sama.

Dari dua dokter gigi yang berbeda, aku menemukan kesamaan. Kedua dokter yang kebetulan dua-duanya perempuan, sangat ramah dan telaten saat menghadapi pasien anak-anak. Dokter gigi Bas bahkan memberikan Bas kacamata untuk dikenakan agar tak silau ketika lampu dinyalakan. Aku tersenyum geli karena Bas bergaya ala model, dengan tangan diletakkan dipinggang walau mulutnya membuka saat lampu dinyalakan.

Sedangkan Vanessa lain lagi. Van menceritakan sendiri apa yang dirasakan dan minta bu dokter menghilangkan sakitnya. Bahkan Van menambahkan tadi malam sudah berdoa minta Tuhan sembuhkan tapi belum sembuhnya. Bu dokter tersenyum dan menjawab dengan bahasa yang mudah dipahami Van.

Aku terbiasa bernyanyi saat menggosokkan gigi kedua anakku. Jadi suka kusenandungkan kuman-kuman yang gendut dan berwarna-warni itu harus pergi dari gigi. Saat Van mengatakan yang gendut warna orens dan hijau tak mau pergi, bu dokter agak bingung. Dengan cepat ku jelaskan. Bu dokter tertawa geli.

Saat pemeriksaan dilakukan, ditemukan beberapa gigi berlubang yang harus di tambal. Bersamaan alat bor bekerja pada gigi Van, papanya masuk. Papanya langsung keluar karena merasa linu dan ngeri. Aku sempat was-was takut Van akan berontak. Benar saja wajah Van berubah dan terdengar keluhan Van.

Bu dokter mengatakan kalau merasa sakit jangan bergerak tapi angkat tangan. Van bagaikan orang ditodong langsung mengangkat kedua tangannya ke atas. Bu dokter menghentikan dan membiarkan Van berkumur-kumur. lalu Bu dokter kembali bertanya, apakah bisa dilanjutkan? Van mengangguk dan meletakkan kembali kepalanya pada sandaran kursi.

Pada proses pengobatannya kembali Van merasa sakit. Akhirnya dari 3 gigi yang harus ditambal tapi baru dua, Van sudah minta dihentikan. Aku mengiyakan dan berjanji pada dokter untuk kembali secepatnya. Yang penting dua gigi yang menyebabkan Van merasa sakit sudah diatasi.

Bu dokter berpesan, agar sesudah minum susu harus kumur-kumur dengan air putih. Berhenti makan permen atau coklat sampai giginya sembuh dan kalau sudah sembuh makan permen atau coklat tidak boleh banyak-banyak serta harus tetap rajin menggosok gigi sesudah makan dan sebelum tidur.

Van memang baru berusia 4 tahun tapi ia menerima nasehat dokter dengan senang dan hal itu diterapkannya di rumah. Dengan kesadarannya sendiri Van tidak meminta permen atau coklat. Sesudah makan ia mengajakku gosok gigi dan sesudah minum susu walau tangeh malam, Van mau bangun untuk berkumur-kumur dengan iar putih.

Kini gigi Van sudah sembuh dan cerianya sudah kembali. Rumahku kembali ramai dengan suara centilnya. Vanessaku yang lucu memang sangat gemar bernyanyi. Suara yang riang selalu menjadi pendorong semangat hidupku. Walau kalau sedang rewel atau nakal aku kesal juga dibuatnya. Tapi terlepas dari semua itu ke dokter gigi bersama Van menjadi pengalaman yang menyenangkan. Anakku sudah mampu menyampaikan apa yang di rasakannya. Langkah awal bagiku untuk meneruskan keberaniannya mengeluarkan pendapatnya. (Icha Koraag,30 Juni 2007)