Hari ini aku menjemput Van di sekolah. Jam pulang sekolah Van dan Bas berjarak sekitar satu jam, Van selesai belajar pukul 10.00 dan Bas pukul 11.00. Untuk kepraktisan aku memilih sekaligus menunggu Bas.
Seisi kelas Van membentuk barisan dan berjalan beriringan keluar kelas. Sampai ke halaman utama sekolah. Satu persatu murid di serahkan pada yang menjemput.
Setelah menerima Van, aku menggiring Van ke kantin sekolah untuk menunggu Bas. Van dengan cerewetnya mulai melaporkan kejadian di kelas.
“Ma, buku menggambarku dirobek!” Cerita Van sambil meminum teh manis yang ku bawa dari rumah.
“Sama siapa?” tanyaku heran
“Sama Justin” Jawab Van lagi
“Loh mengapa begitu? Ibu guru bilang apa?” tanyaku terkejut
“Ya ibu guru marah. Kata ibu guru, Justin tidak boleh begitu!’ Jawab Van
“Justin di pukul?” tanyaku ingin tahu
“Tidak sih, Cuma kata ibu guru Justin harus minta maaf sama aku” jawab Van
“Memang Van bikin apa sama Justin?” tanyaku
“Aku tidak bikin apa-apa, Justin memang nakal!” Vonis Van dengan penekanan pada kata Nakal.
“Besok mama tanya sama ibu guru yah!” ujarku. Van hanya mengangguk.
Merobek buku gambar adalah masalah kecil tapi bukan itu inti permasalahannya. Perbuatan merusak barang baik milik sendiri atau milik orang lain adalah perbuatan yang tidak baik. Perbuatan inilah yang harus mendapat perhatian. Sebagai orang tua, perlu melihat apa motivasi yang dilakukan si anak.
Aku jadi ingat, satu masa Bas pernah menjadi anak yang merusak. Bas kerap memukul-mukulkan mainnanya ke lantai hingga pecah. Akhirnya aku dan Frisch hanya memberikan mainan yang terbuat dari karet atau plastik sehingga tidak bisa pecah. Bukan harga barang yang kukhawatirkan tapi kekhwatiran Bas akan terluka karena pecahan barang tersebut.
Maka aku dan Frisch melakukan observasi, untuk melihat apa yang menyebabkan Bas merusak mainannya. Ternyata mulanya, Bas asik mendengar bunyi yang di timbulkan dari mainan yang dipukul-pukul ke lantai. Ia tertawa senang tapi makin lama ia memukulnya makin tak beraturan.
Frisch berinisiatif memberikan ember plastik mainan dan sendok plastik. Lalu Frisch juga membuatkan tambur dari kaleng biscuit yang di tutup dengan plastik dan diikat dengan kuat. Untuk pemukulnya Frisch membuatnya dari sendok plastik yang ujungnya di ikatkan gumpalan kain lalu di ikat dengan karet.
Maka terciptalah satu set perkusi buatan Frisch yang masih dilengkapi dengan panci kecil untuk memanaskan susu dan kotak-kotak susu. Kami tertawa tergelak-gelak ketika alat perkusi mulai di mainkan. Dan yang membuat kami senang, Bas bukan merusak tapi ia bereksperimen dengan mainannya untuk mendapatkan bunyi-bunyian.
Lain haknya dengan Vanessa, Van tidak melewati tahapan ini. Mungkin karena dengan sendirinya saat Van bisa berinteraksi dengan oarng lain, ada Bas sebagai kakaknya sekaligus teman mainnya. Pernah juga Van merobek buku atau mencoret buku Bas tapi itu bukan karena ingin merusak, sebaliknya karena Van ingin turut belajar.
Setelah aku memberikan buku menggambar, buku mewarnai dan crayon, Van tidak lagi mengganggu Bas. Van menikmati kegiatannya sendiri.
Aku percaya bila seorang anak merusak barang milik sendiri atau barang orang lain, ada hal lain yang menyebabkannya. Karena itu aku dan suamiku selalu merasa perlu lebih dulu melihat latar belakang si anak hingga motivasinya bisa di ketahui dan pada akhirnya bisa di carikan cara mengatasinya sehingga perbuatan merusak si anak bisa di minimalkan
.
Bagiku dan suami menjadi orang tua adalah hal baru. Setiap hari ada pelajaran baru yang kami pelajari. Mulai dari memahami peran kami sebagai penasehat maupun peran kami sebagai pelindung. Informasi dari orang tua, media ataupun berbagi pengalaman dari sesama kawan yang lebih dulu menjadi orang tua merupakan tambahan ilmu yang membuka wawasan kami.
Anak ibarat kertas putih, apa yang di tuliskan di atas kertas itu yang akan terjadi pada si anak. Siapa yang berhak menuliskan catatan di kertas itu adalah anak itu sendiri artinya ajaran, didikan dan pengalaman keseharian yang diterima anak dari orang-orang dilingkungan si anak akan terekam dan tercatat dalam kertas tersebut yang akan di aplikasikan si anak dalam prilakunya kelak.
Karena itu aku percaya yang akan di sampaikan pada si anak baik itu, peringatan, ajaran, anjuran, atau contoh perlu dilakukan dengan hati-hati karena anak mempunyai tahapan dalam petumbuhan dan perkembangannya sehingga kemampuan merekam di anak dalam tiap tahapan pertumbuhan dan perkembangannya pun tidak sama.
Aku menghindari, jangan sampai anak-anakku merekam hal benar dengan kemampuan yang terbatas hingga dipahami salah karena akan berdampak kurang baik dalam aktivitas selanjutnya. (Icha Koraag, 21 Feb 2007)
No comments:
Post a Comment