Buah Hatiku

Buah Hatiku
Van en Bas

Tuesday, November 07, 2006

MENGAPA KITA BERMULUT SATU?


Sekolah baru saja di mulai setelah libur Idul Fitri yang cukup lama. Semalam, aku mendampingi Bastiaan belajar. aku dan papanya Bas selalu secara bergantian dalam mendampingi Bas belajar. Selain untuk variasi suasana disesuaikan kondisi kami. Kalau aku terlalu lelah, daripada saat mendampingi jadi emosi lebih baik, papanya yang menemani. Begitu juga kalau Frisch lelah, aku yang akan menggantikan. Kalau kami berdua sama-sama lelah, kami sama-sama mendampingi dan menyertakan Vanessa, sehingga belajarnya agak santai.

Ini kami lakukan, karena kami sadar perlunya mendampingi anak belajar tapi juga sadar keterbatasan kami sebagai orang tua. Kami cuma manusia biasa yang mungkin saja menjadi khilaf kalau lelah atau emosi. Bas menurutku, anak yang lumayan mempunyai daya tangkap cepat dan daya ingat yang kuat. Kami tidak sering-sering belajar berempat, karena ada kalnya Bas memerlukan konsentrasi penuh. Misalnya jika ada uji kompentensi. Bila keadaan seperti itu, jika papanya yang mendampingi maka aku akan menemani Vanessa.

Sebetulnya belajar berempat sangat menyenangkan. Walau kami lelah tetap bisa lebih santai karena kerap di selingi ketawa terutama saat Bas membaca sesuatu dan Vanessa menginterupsi dengan celetukannya yang lugu. Seperti saat Bas membaca kata pantai. Saat Bas baru sampai pada suku kata ”pan”, Van sudah melanjutkan dengan ”ci”, Jelaslah aku dan papanya juga Bas tertawa ngakak. Karena kalimatnya menjadi ”Andi dan Nina merasakan pasir pada jemari kakinya di panci!”

Dua hari sebelum masuk sekolah aku mengulang kembali pelajaran sekolah sebelum libur, sekedar pemanasan. Ternyata Bas bisa menjawab dan menjelaskan dengan baik apa yang dia tahu dan dia ingat. Aku tidak terlalu khawatir dengan pelajarn matematika dan berhitung. Aku lebih memberi perhatian atau penekanan lebih pada pelajaran yang membutuhkan pemahaman bahasa. Seperti bahasa Indonesia, IPS, PPKN, IPA dan Penjaskes.

Pelajaran SD kelas satu, hampir semua mata pelajaran mempelajari hal yang sama. Jika Bahasa Indonesia awalnya mempelajari bunyi-bunyian huruf yang tentunya memerlukan alat bicara dalam hal ini mulut, maka pelajaran agama juga di mulai dengan satu tubuh banyak anggota dan di awali dengan kepala, dimana pada bagian wajah terdapat mulut.

Begitu juga pelajaran IPA yang di awali dengan mengenal tubuh. Lagi-lagi di awali bagian atas tubuh, yaitu kepala. Begitu banyak pelajaran yang dimulai dengan anggota tubuh dalam hal ini bagian kepala, saya memerlukan waktu tersendiri untuk mempelajari masing-masing supaya dapat menjelasan kepada Bas sesuai penekanan pada masing-masing mata pelajaran.

Semalam ketika mengulang pelajaran IPA, tentang panca indera yaitu mata, mulut, telinga, hidung dan lidah (mengecap) serta kegunaannya, terjadi percakapan berikut:
”Bas, mengapa kita bertelinga dua?” tanyaku
”Itu supaya kita bisa banyak mendengar” Jawab Bas
”Lalu mengapa kita bermulut satu?” tanyaku lagi
”Itu supaya kita tidak banyak biacara” jawab Bas.
Sesaat aku memanndang Bas lalu aku katakan: ”Tapi mengapa Bas lebih sering berbicara daripada mendengarkan?” tanyaku lagi. Sesaat ku lihat Bas diam dan memandangku. Bola matanya yang bulat dan hitam terbuka, bibir mungilnya jadi semakin lancip dan keningnya sedikit berkerut.

”Bas, Tuhan memberi kita telinga dua, seperti Bas bilang supaya kita banyak mendengar. Itu berartri Bas harus lebih banyak mendengar apa kata mama, kata papa, kata ibu guru juga ucapan-ucapan orang lain termasuk ucapan teman-teman Bas.” Aku diam memperhatikan reaksi Bas. Ia masih menatapku.
”Terus?” tanyanya
”Jadi mulut kita yang cuma satu ini, digunakan untuk tidak terlalu banyak bicara. Boleh bicara tapi yang perlu-perlu saja. Kalaupun Bas banyak mendengar tetap perlu berhati-hati. Artinya ada ucapan-ucapan tidak baik yang Bas dengar, akan menjadi baik kalau tidak Bas ucapan.” kataku menjelaskan.
”Mengapa?” tanyanya lagi
”Misalnya, ucapan-ucapan yang memaki. Terdengarnyakan tidak enak. Bas marah tidak kalau di bilang Bas jelek?” tanyaku
”Yah marah!” jawab Bas cepat
” Atau Bas bau, belum mandi1”
”Marah!” Bas makin kesal.
”Nah apa yang Bas dengar tidak enak baik ditelinga maupun di perasaan Bas, maka akan menjadi baik kalau Bas tidak membalas ucapan-ucapan seperti itu. Kalau kata papa, masuk kuping kiri...
”Keluar kuping kanan!” Sambung Bas cepat. Kali ini ia tertawa.
”Tapi kalau pelajaran?”
”Masuk kuping kanan, tutup kuping kiri, tutup mata dan simpan di otak! Jawab Bas cepat.

Sebagai ibu bekerja, mendampingi anak belajar menjadi semangat tersendiri, saat mengetahui, anak paham dengan apa yang kita ajari. Dari pelajaran yang sederhana bertelinga dua dan bermulut satu, sesungguhnya aku menarik pelajaran yang lebih penting.

Tuhan sudah memberikan pelajaran kehidupan yang nyata dari anggota tubuh kita. Bahwsannya banyak mendengar jauh lebih baik ketimbang banyak bicara. Sayang kita kerap salah mengartikan. Banyak bicara menjadi semacam kekuatan untuk menjadikan diri terkenal. Beranggapan dengan keras suara dan gencarnya bicara, sosok kita dikenal orang. Padahal semakin keras dan semakin gencar kita bicara jika yang disampaikan omong kosong, karena akan semakin banyak orang menutup telinganya.

Marilah kita mulai membatasi diri dalam berbicara terutama untuk hal-hl yang tidak berguna. Gunakanlah telinga kita untuk mendengar sebanyak-banyaknya. Biarlah apa yang kita dengar kita olah kembali sebelum kita sampaikan atau kita suarakan, dengan menggunakan hati dan akal pikir. Agar saat kita suarakan kembali, menjadi lebih bermanfaat. (Jakarta 8 November 2006)

1 comment:

penakayu said...

Salam Buat Van aand Bas Mbak :-)