Menerapkan disipilin pada remaja adalah proses lanjutan sejak usia anak-anak (Di bawah sepuluh tahun). Konsisten dan ketegasan adalah dua hal yang penting untuk menegakan disiplin. Pada dasarnya disiplin adalah mematuhi aturan yang sudah disepakati atau diberlakukan. Mengikuti semua aturan yang disepakati, maka aktifitas bisa berjalan menyenangkan. Sebaliknya jika ada aturan yang dilanggar maka ada sanksi yang haus diberikan.
Hari Minggu ini, saya harus menerapkan sanksi pada si Sulung karena melawan dan membohongi saya dan Papanya. Minggu siang sekitar pukul 12.00, saat selesai makan siang. Anak-anak masuk kamar, saya dan Papanya duduk di ruang keluarga. Tiba-tiba Si Sulung keluar dari kamarnya dan menemui saya dan Papanya. Kata Si Sulung: "Ma, Pa aku mau ke sekolah, mau lihat pertandingan basket". Papanya langsung menjawab: "Papa ikut!" Reaksi Si Sulung langsung menolak. Saya memotong perdebatan Si Sulung dan Papanya. Saya katakan. " Kakak tidak diijinkan. Pertama, info mendadak, kedua besok sekolah. Tapi Mama masih bisa ijinkan asal Papa dan Van ikut. Karena biar bagaimanapun kamu belum punya SIM.
Saya harus akui, saya salah dengan mengizinkan Si Sulung mengendarai motor ke sekolah padahal tidak punya SIM. Awalnya, saya tidak mengizinkan, bahkan saya marah ketika Papanya memfasilitasi si Sulung ke sekolah dengan motor saat masih SMP. Semua di mulai karena si sulung dua kali harus merelakan handphonenya berpindah tangan. Pertama dicopet, kedua diambil dengan tipu muslihat.
Di atas metromini 69, Blok M-Ciledug, Sulungku ditegur seorang laki-laki dengan ptongan polisi tapi berpakaian preman. Anakku ditanya, apakah naik dari blok M? Tadi di blok M ada tawuran, maka sekarang ada pemeriksaan. Sulungku menolak tapi tasnya diambil paksa lalu diperiksa. Pertama dikeluarkan dompet lalu HP yang diberikan ke sulungku. Singkat cerita tidak ditemukan senjata tajam, maka tas dikembalikan setelah dompet dan hp dimasukan kembali ke tas oleh pemeriksa. Tapi pada waktu yang bersamaa ada lelaki lain yang ikutan ngobrol sepanjang pemeriksaan. Keduanya lelaki itu turun berjarak sekitar 100 m dari tempat anakku turun. Anakku langsung memeriksa tas dan hpnya tidak ada, anakku berlari mengejar kedua orang tadi tapi sudah tidak ada.
Pulang dengan keadaan kesal, dan marah, Sulungku memelukku dan menceritakannya. Aku hanya mengatakan, berdoa semoga memang ada yang membutkan HPmu. Dan jangan pernah kamu kejar. Bersyukur kamu tidak apa-apa. Lain reaksi Papanya yang ikutan marah dan gemas, sehingga memutuskan memberikan motor. Namun sebelum itu (kejadian dicopet) Cukup lama Si sulung menceritakan ketidaknyamanan di atas metromini 69 karena ulah pengamen bertato. Pengamen kadang membaca puisi yang memaki-maki pemerintah atau menceritakan baru keluar penjara dan minta uang untuk makan. Dengan alasan lebih baik minta daripada mencuri/mencopet. Menghindari pengamen bertato, Sulungku sering terlambat pulang karena harus mengambil jalan berputar. Maka Si sulung seringkali memilih naik angkutan yang dua kali lebih jauh menuju rumah tapi jarang pengamen seperti itu.
Tapi kejadian hari Minggu ini, membuat saya marah besar. Kembali kepada keinginannya menonton pertandingan basket. Di hari biasa kami tidak mengizinkan Si Sulung naik motor sendiri. Maka untuk hari inipun kami tidak megizinkan. Tapi mengingat kami juga pernah sekolah dan menyukai olahraga, walau cuma menonton, Papanya berkenan mengizinkan dengan catatan Papa ikut. Sulungku menolak.
Tawar menawar tidak berhasil dan Si sulung membatalkan niatnya dengan alasan, banyak tugas untuk hari Senin. Lalu ia sibuk di komputer menyelesaikan tugas. Karena printer sedang rusak, Sulungku mengajak adiknya untuk mencetak tugas di tempat fotocopi. Saya tidak memperhatikan apa yang dikenakan Si sulung. Nggak berapa lama si bungsu kembali sendiri. Saya tanya mana si kakak, dengan takut-takut adiknya menjawab, pergi nonton basket.
Saya marah sekali karena Si Sulung sudah membohongi kami (pergi tanpa ijin). Panjang-pendek saya ngomel ke Papanya. Papanya cuma jawab: Tunggu anaknya pulang. Singkat cerita Si Sulung pulang pukul 20.10. Langsung saya minta duduk. Saya langsung tanya maunya apa? Sudah berani melawan, membohongi orangtua dengan pergi diam-diam.
Reaksinya hanya diam dan memandang saya dengan tatapan marah. Saya katakan, dia tidak berhak marah tapi saya sebagai orangtua yang harus marah. Karena kami mengizinkan ia pergi asal dikawal Papanya. Alasan Papanya perlu ikut sudah dijelaskan panjang lebar. Pertama, info mendadak, kedua besok sekolah, ketiga \belum punya SIM, Keempat Tangerang adalah wilayah baru bagi kami. Tapi tawaran kami tidak ada yang diterima dan ia menjalani apa yang ia mau.
Kami jelaskan hidup itu bukan maunya sendiri. Dan diusianya yang baru 15 tahun, semua masih ada di bawah pengawasan dan tanggung jawab orangtua. Sulungku masih belum bisa menerima alasam-alasannya. Saya dan Papanya membiarkan. Tapi ia harus menerima sanksi.
Pertama. HP, harus diserahkan ke saya setiap pulang sekolah selama dua minggu. Ke sekolah kami izinkan bawa untuk komunikasi. Kedua, cuci piring setiap habis makan malam. Sanksi berlaku mulai hari Senin 10 Agustus 2015.
Bagaimana besok, ya saya cuma menunggu dan akan melihat. Bagi saya penolakan atau kemarahan Si Sulung adalah proses. Biar saja. Tapi saya tetap harus tegas dan mengendalikan, sebelum semua menjadi lepas kontrol. Ini adalah proses lanjutan penerapan disiplin. Semoga saya bisa menjalani dan melakukan dengan benar tanpa harus melukai perasaan si Sulung.
Hari Minggu ini, saya harus menerapkan sanksi pada si Sulung karena melawan dan membohongi saya dan Papanya. Minggu siang sekitar pukul 12.00, saat selesai makan siang. Anak-anak masuk kamar, saya dan Papanya duduk di ruang keluarga. Tiba-tiba Si Sulung keluar dari kamarnya dan menemui saya dan Papanya. Kata Si Sulung: "Ma, Pa aku mau ke sekolah, mau lihat pertandingan basket". Papanya langsung menjawab: "Papa ikut!" Reaksi Si Sulung langsung menolak. Saya memotong perdebatan Si Sulung dan Papanya. Saya katakan. " Kakak tidak diijinkan. Pertama, info mendadak, kedua besok sekolah. Tapi Mama masih bisa ijinkan asal Papa dan Van ikut. Karena biar bagaimanapun kamu belum punya SIM.
Saya harus akui, saya salah dengan mengizinkan Si Sulung mengendarai motor ke sekolah padahal tidak punya SIM. Awalnya, saya tidak mengizinkan, bahkan saya marah ketika Papanya memfasilitasi si Sulung ke sekolah dengan motor saat masih SMP. Semua di mulai karena si sulung dua kali harus merelakan handphonenya berpindah tangan. Pertama dicopet, kedua diambil dengan tipu muslihat.
Di atas metromini 69, Blok M-Ciledug, Sulungku ditegur seorang laki-laki dengan ptongan polisi tapi berpakaian preman. Anakku ditanya, apakah naik dari blok M? Tadi di blok M ada tawuran, maka sekarang ada pemeriksaan. Sulungku menolak tapi tasnya diambil paksa lalu diperiksa. Pertama dikeluarkan dompet lalu HP yang diberikan ke sulungku. Singkat cerita tidak ditemukan senjata tajam, maka tas dikembalikan setelah dompet dan hp dimasukan kembali ke tas oleh pemeriksa. Tapi pada waktu yang bersamaa ada lelaki lain yang ikutan ngobrol sepanjang pemeriksaan. Keduanya lelaki itu turun berjarak sekitar 100 m dari tempat anakku turun. Anakku langsung memeriksa tas dan hpnya tidak ada, anakku berlari mengejar kedua orang tadi tapi sudah tidak ada.
Pulang dengan keadaan kesal, dan marah, Sulungku memelukku dan menceritakannya. Aku hanya mengatakan, berdoa semoga memang ada yang membutkan HPmu. Dan jangan pernah kamu kejar. Bersyukur kamu tidak apa-apa. Lain reaksi Papanya yang ikutan marah dan gemas, sehingga memutuskan memberikan motor. Namun sebelum itu (kejadian dicopet) Cukup lama Si sulung menceritakan ketidaknyamanan di atas metromini 69 karena ulah pengamen bertato. Pengamen kadang membaca puisi yang memaki-maki pemerintah atau menceritakan baru keluar penjara dan minta uang untuk makan. Dengan alasan lebih baik minta daripada mencuri/mencopet. Menghindari pengamen bertato, Sulungku sering terlambat pulang karena harus mengambil jalan berputar. Maka Si sulung seringkali memilih naik angkutan yang dua kali lebih jauh menuju rumah tapi jarang pengamen seperti itu.
Tapi kejadian hari Minggu ini, membuat saya marah besar. Kembali kepada keinginannya menonton pertandingan basket. Di hari biasa kami tidak mengizinkan Si Sulung naik motor sendiri. Maka untuk hari inipun kami tidak megizinkan. Tapi mengingat kami juga pernah sekolah dan menyukai olahraga, walau cuma menonton, Papanya berkenan mengizinkan dengan catatan Papa ikut. Sulungku menolak.
Tawar menawar tidak berhasil dan Si sulung membatalkan niatnya dengan alasan, banyak tugas untuk hari Senin. Lalu ia sibuk di komputer menyelesaikan tugas. Karena printer sedang rusak, Sulungku mengajak adiknya untuk mencetak tugas di tempat fotocopi. Saya tidak memperhatikan apa yang dikenakan Si sulung. Nggak berapa lama si bungsu kembali sendiri. Saya tanya mana si kakak, dengan takut-takut adiknya menjawab, pergi nonton basket.
Saya marah sekali karena Si Sulung sudah membohongi kami (pergi tanpa ijin). Panjang-pendek saya ngomel ke Papanya. Papanya cuma jawab: Tunggu anaknya pulang. Singkat cerita Si Sulung pulang pukul 20.10. Langsung saya minta duduk. Saya langsung tanya maunya apa? Sudah berani melawan, membohongi orangtua dengan pergi diam-diam.
Reaksinya hanya diam dan memandang saya dengan tatapan marah. Saya katakan, dia tidak berhak marah tapi saya sebagai orangtua yang harus marah. Karena kami mengizinkan ia pergi asal dikawal Papanya. Alasan Papanya perlu ikut sudah dijelaskan panjang lebar. Pertama, info mendadak, kedua besok sekolah, ketiga \belum punya SIM, Keempat Tangerang adalah wilayah baru bagi kami. Tapi tawaran kami tidak ada yang diterima dan ia menjalani apa yang ia mau.
Kami jelaskan hidup itu bukan maunya sendiri. Dan diusianya yang baru 15 tahun, semua masih ada di bawah pengawasan dan tanggung jawab orangtua. Sulungku masih belum bisa menerima alasam-alasannya. Saya dan Papanya membiarkan. Tapi ia harus menerima sanksi.
Pertama. HP, harus diserahkan ke saya setiap pulang sekolah selama dua minggu. Ke sekolah kami izinkan bawa untuk komunikasi. Kedua, cuci piring setiap habis makan malam. Sanksi berlaku mulai hari Senin 10 Agustus 2015.
Bagaimana besok, ya saya cuma menunggu dan akan melihat. Bagi saya penolakan atau kemarahan Si Sulung adalah proses. Biar saja. Tapi saya tetap harus tegas dan mengendalikan, sebelum semua menjadi lepas kontrol. Ini adalah proses lanjutan penerapan disiplin. Semoga saya bisa menjalani dan melakukan dengan benar tanpa harus melukai perasaan si Sulung.